News   2025/10/10 11:26 WIB

Pemerintah Pangkas TKD Hingga Capai Rp200 Triliun, Relawan Prabowo Gibran: 'untuk Tangkal Penyelewengan yang Sudah Menjurus Merampok Uang Rakyat' 

Pemerintah Pangkas TKD Hingga Capai Rp200 Triliun, Relawan Prabowo Gibran: 'untuk Tangkal Penyelewengan yang Sudah Menjurus Merampok Uang Rakyat' 
Larshen Yunus, Ketua Umum (Ketum) Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN).

PEKANBARU - Dalam APBN 2025, pemerintah menetapkan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar sekitar Rp 919,8 triliun. Kementerian Keuangan mencatat, hingga Semester I 2025, realisasi penyalurannya baru Rp 400,6 triliun atau 43,5 persen dari pagu.

Relawan Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN) menilai, untuk 2026 pemerintah mengajukan penurunan alokasi TKD menjadi sekitar Rp 650 triliun, sebelum kemudian dalam pembahasan dengan DPR disepakati naik sedikit menjadi sekitar Rp 693 triliun.

Artinya, tetap ada penurunan lebih dari Rp 220 triliun dibanding tahun sebelumnya pemangkasan terbesar dalam satu dekade.

Pemerintah menyebut langkah itu sebagai bagian dari “penataan transfer berbasis kinerja”. Namun di mata daerah, pemangkasan tetaplah pemangkasan. Ruang fiskal yang sempit berarti ruang otonomi yang menyusut.

"Alasan pemotongan itu utamanya dulu karena banyak penyelewengan ya. Artinya, nggak semua uang yang dipakai, dipakai dengan betul. Jadi, itu yang membuat pusat agak agak gerah dan ingin mengoptimalkan," ungkap Larshen Yunus, Ketua Umum (Ketum) Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN), Jumat.

Larshen mengungkapkan alasan pemotongan TKD karena banyak penyelewengan atau ketidaksesuaian belanja di daerah. Hal itu yang membuat pemerintah pusat ingin penggunaan anggaran di daerah dioptimalkan agar lebih efektif dan bersih.

Tetapi Pasal 18, 23A, dan 23C UUD 1945 menegaskan bahwa hubungan keuangan pusat-daerah dijalankan atas asas keadilan dan keseimbangan.

Ketika pusat mengendalikan hampir seluruh instrumen fiskal, otonomi tinggal nama sebuah prosedur administratif tanpa makna substantif.

Otonomi daerah bukan hadiah, melainkan hak konstitusional. Ia lahir dari kesadaran bahwa pembangunan tidak dapat diseragamkan. 

Namun di tengah jargon “desentralisasi”, justru muncul paradoks fiskal: kewenangan daerah diakui, sumber dayanya dikunci.

Belasan gubernur dari Sumatera hingga Papua menemui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada awal Oktober 2025.

Mereka menyampaikan keberatan atas rencana pemotongan TKD 2026 yang dinilai tidak transparan dan berpotensi mengganggu pelayanan dasar.

Beberapa di antaranya mengingatkan bahwa gaji ASN, tunjangan kinerja, dan program sosial bergantung pada transfer pusat.

Hubungan pusat-daerah pun kembali menyerupai pola patron klien: pusat memberi, daerah menunggu. Padahal semangat otonomi adalah kemitraan bukan ketergantungan.

Dalam bahasa hukum tata negara, ini bentuk sentralisasi baru: penguasaan daerah melalui instrumen anggaran, bukan instruksi.

Dalam negara hukum, keadilan fiskal adalah wujud dari keadilan distributif. Pajak dan penerimaan negara harus dibagi secara proporsional antara pusat dan daerah.

Prinsip ini menjadi roh UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat-Daerah (UU HKPD) yang menegaskan perlunya memperhitungkan kebutuhan fiskal, kapasitas fiskal, dan kinerja layanan publik dalam menetapkan TKD.

Namun kenyataannya, kesenjangan fiskal masih melebar. Daerah dengan PAD tinggi Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur masih bisa bernapas. Namun Aceh, Riau, Maluku, NTT, dan Papua Barat yang hidup dari transfer pusat terengah-engah.

Ketika TKD dipotong, yang paling terpukul bukan pejabat, melainkan pelayan publik: guru honorer yang menunggu TPP, bidan puskesmas yang bergantung pada DAK kesehatan, hingga aparat desa yang gajinya tertunda.

Pemangkasan tanpa parameter objektif adalah bentuk ketidakadilan konstitusional. Negara boleh berhemat, tetapi tak boleh menghemat keadilan.

Pasal 23A UUD 1945 menyebut bahwa pajak dan pungutan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bila kebijakan fiskal justru memperlebar kesenjangan, maka negara telah menyimpang dari amanat itu.

Kementerian Keuangan memperkenalkan istilah baru: transfer berbasis kinerja. Konsepnya, daerah dengan tata kelola baik akan mendapat insentif; yang dinilai buruk akan menerima lebih sedikit.

Secara teoretis, pendekatan ini terlihat rasional. Namun, dalam praktik, penilaian kinerja sering tidak sinkron dengan realitas di lapangan.

Indikator diambil dari data kementerian teknis yang belum tentu merefleksikan kondisi sosial ekonomi di daerah.

Dalam kacamata hukum tata negara, kondisi ini menciptakan dominasi fiskal: pusat menggunakan kebijakan keuangan untuk mengatur perilaku politik daerah.

Padahal Pasal 18 UUD 1945 menjamin devolusi kekuasaan, bukan subordinasi. Otonomi tanpa kemampuan mengelola fiskal hanyalah ilusi desentralisasi.

Lebih ironis lagi, ketika TKD dipangkas, belanja kementerian/lembaga di daerah justru meningkat.

Menurut pernyataan Menkeu dalam rapat dengan DPR (September 2025), alokasi program pusat melalui K/L naik dari sekitar Rp 900 triliun menjadi Rp 1.300 triliun.

Pemerintah menyebutnya sebagai “penguatan peran K/L dalam pembangunan daerah”, namun bagi banyak kepala daerah, hal itu terasa sebagai pengambilalihan ruang kebijakan.

Proyek-proyek jalan, jembatan, dan irigasi dirancang dari atas tanpa selalu selaras dengan rencana pembangunan daerah.

Kita kembali ke pola lama: pusat menentukan, daerah melaksanakan. Bedanya, dulu memakai komando; kini memakai anggaran. 

Dari sisi hukum, kebijakan fiskal yang mengubah alokasi TKD secara signifikan seharusnya tetap melalui mekanisme transparan dan konsultatif.

UU HKPD menegaskan bahwa setiap kebijakan transfer wajib memperhatikan keadilan dan pemerataan.

Pemotongan tanpa dialog dengan pemerintah daerah dapat bertentangan dengan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), terutama asas transparansi dan partisipasi.

Secara praktis, efeknya nyata. Banyak daerah menunda program sosial, memangkas belanja pegawai, atau menunda pembayaran tunjangan ASN.

Sebagian bahkan menerapkan pemotongan TPP 2-5 persen untuk efisiensi, sebagaimana dilakukan Provinsi Banten melalui APBD-P 2025.

Sementara itu, aturan nasional dalam PP 94/2021 tentang Disiplin PNS memang memungkinkan pemotongan tunjangan kinerja (Tukin) sebesar 25 persen selama 6, 9, atau 12 bulan sebagai sanksi disiplin.

Namun bila pemotongan dilakukan karena tekanan fiskal, bukan pelanggaran disiplin, itu bukan penegakan aturan melainkan tanda krisis keadilan fiskal.

Otonomi daerah tidak cukup dijaga dengan pidato. Ia memerlukan daya fiskal sebagai jantungnya.

Pemangkasan TKD tanpa dialog memotong urat nadi kemandirian daerah. Lebih dari itu, ia mengikis kepercayaan antara pusat dan daerah kepercayaan yang dibangun dengan perjuangan sejak reformasi.

Kita pernah belajar dari masa lalu: ketika semua kebijakan dan anggaran dari pusat, yang lahir bukan efisiensi melainkan alienasi.

Rakyat di pinggiran merasa menjadi penonton pembangunan yang dibiayai oleh pajaknya sendiri. Kini, sejarah itu mulai terulang dalam bentuk yang lebih lembut, tapi lebih berbahaya.

Pemangkasan TKD seharusnya tidak dilihat sebagai efisiensi keuangan belaka, melainkan sebagai peringatan bahwa hubungan keuangan pusat-daerah perlu dibenahi. Ada dua langkah yang mendesak.

Pertama, redefinisi konsep kinerja. Kinerja daerah bukan semata serapan anggaran, melainkan kualitas layanan publik dan dampak sosial.

Daerah yang berinovasi harus mendapat insentif, bukan sekadar yang memiliki PAD tinggi.

Kedua, penguatan forum dialog fiskal. Kebijakan TKD perlu dibahas secara partisipatif antara pemerintah pusat, DPR, dan asosiasi pemerintah daerah (Apkasi, Apeksi, ADPSI).

Tanpa dialog, hubungan keuangan akan selalu menjadi monolog dari pusat ke daerah.

Pemangkasan TKD adalah ujian bagi komitmen kita pada konstitusi. Pasal 18 UUD 1945 tidak hanya menyebut kata “otonomi”, tetapi menegaskan bahwa kekuasaan tidak boleh terpusat.

Otonomi adalah mekanisme pembagian kekuasaan horizontal untuk mencegah kesewenang-wenangan pusat.

Jika pusat bisa memotong dana tanpa dasar objektif dan tanpa dialog, maka mekanisme checks and balances antar tingkat pemerintahan hilang. Negara hukum kita kehilangan pagar keadilan.

Legitimasi tidak lahir dari besar anggaran, melainkan dari cara negara mengelolanya dengan adil.

Pemangkasan TKD bukan sekadar soal angka, melainkan soal kepercayaan. Ketika pusat tak percaya daerah, dan daerah tak lagi percaya pada pusat, yang terjadi bukan efisiensi, melainkan keretakan konstitusional.

Kita perlu mengingat kembali jiwa reformasi: bahwa negara kuat bukan karena semuanya dikendalikan dari pusat, melainkan karena daerah-daerahnya berdaya.

Otonomi adalah cara menjaga persatuan melalui keadilan. Dan negara yang mengikis keadilan daerah pada akhirnya akan kehilangan keadilan untuk dirinya sendiri.

Meski demkian, Larshen Yunus menilai adanya pemotonga tidak lantas diartikan efisiensi Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau APBN sama dengan pemotongan dana transfer daerah.

Dia menyatakan, efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah pusat akan dialokasikan lagi ke kabupaten seluruh Indonesia dalam bentuk program seperti revitalisasi sekolah, Makan Bergizi Gratis (MBG), dan lain-lain.

“Efisiensi jangan diartikan potong transfer daerah. Ada yang langsung dan ada yang tidak langsung. Contohnya MBG adanya di desa-desa, MBG ada di kabupaten-kabupaten. Yang diturunkan ke daerah-daerah itu 1 tahun ini Rp171 triliun, yang akan masuk ke desa-desa tahun depan kita anggarkan Rp335 triliun, itu masuk ke semua desa,” ujarnya.

Pemerintah memangkas dana transfer pusat ke daerah (TKD) hingga tahun anggaran 2026, Larshen mengaku memang kebijakan itu bakal makin memberatkan pemerintah daerah.

"Pemangkasan transfer dari pusat itu akan berdampak terhadap ketahanan fiskal daerah. Sebab ada sekitar 60-70 persen daerah masih mengandalkan transfer dari pusat." 

"Bahkan ada daerah yang 80-90 persen APBD pendapatan mengandalkan dari transfer ke daerah," kata dia.

"Pemotongan transfer dari pusat justru akan berdampak terhadap pelayanan publik di daerah."

"Ketika pemerintah pusat melakukan efisiensi, misal kemarin dengan Inpres 1 Tahun 2025, itu pasti berpengaruh terhadap kondisi keuangan daerah. Yang itu berimplikasi terhadap kinerja belanja terutama pembangunan, lebih khusus lagi pelayanan publik dan belanja modal," ungkapnya.

Larshen mengingatkan dampak pemangkasan anggaran sebetulnya sudah terlihat 6 bulan terakhir. Banyak pemerintah daerah kesulitan mengalokasikan duit untuk belanja modal dan barang.

Tetapi Ia mengusulkan jika transfer dipangkas, daerah bisa naikkan pajak.

"Meningkatkan PAD dengan cara apa? Dengan cara paling gampang enggak perlu orang pintar, menaikkan pajak. Nah saya kira itu yang akan menimbulkan persoalan di banyak daerah," kata Larshen.

Mau tidak mau, kata Larshen, pemerintah daerah harus berinovasi untuk meningkatkan pendapatan mereka.

"Belanja yang tidak berkaitan dengan urusan publik harus dipangkas," kata dia.

Larshen memperkirakan, menaikkan pajak akan menjadi opsi utama pemerintah daerah. Sebab pajak dan retribusi ini menjadi kewenangan penuh pemerintah daerah.

Menaikkan PBB-P2, dinilai sebagai salah satu cara mudah meraup duit tambahan.

"Kami lihat kepanikan serupa terjadi di tahun depan, bahkan kepanikanya mulai dari sekarang. Karena pemerintah daerah sudah mengetahui desain transfer ke daerah. Tentu mulai dari sekarang mereka mulai memutar otak, bagaimana bisa mendapatkan PAD, terutama dari pajak dan retribusi daerah," kata Larshen.

Jangan lantas kebijakan menaikkan pajak jadi berpotensi memicu protes dan demo.

"Artinya untuk mengantisipasi itu, kepala daerah harus betul-betul menerapkan tahapan paling prinsip dalam perencanaan yaitu partisipasi publik," harapnya.

Menurutnya, desentralisasi fiskal masih jalan di tempat. Banyak pemda belum kreatif mengoptimalkan PAD. Makanya satu sisi birokrat kita juga tidak kreatif, tidak inovatif dan cenderung menormalisasi pendekatan fiskal yang tidak berkeadilan. 

"Saya kira dalam hal ini pemerintah bisa satu sisi mengajak pemerintah daerah untuk mendorong pembahasan penerapan dari pajak-pajak yang berkeadilan," tutupnya. (*)

Tags : transfer ke daerah, pemangkasan anggaran, kepala daerah, News,