WATI, yang diperankan aktris Claresta Taufan, meringis kesakitan ketika perutnya dipijit untuk kesekian kalinya demi memperoleh keturunan. Sementara suaminya selalu marah saat diminta periksa kesuburan ke dokter.
Dalam semesta lain, Claresta menjadi Sartika yang terpaksa bekerja di "kopi pangku" demi menghidupi anaknya sebagai ibu tunggal dengan beragam dinamikanya.
Kisah dua perempuan yang diperankan Claresta itu muncul dalam film The Period of Her dan Pangku, keduanya tayang pertama kali tahun 2025.
Dua film itu diputar di Jogja-Netpac Asian Film Festival yang berlangsung sejak 29 November hingga 6 Desember 2025.
Film mengenai isu perempuan memang acap kali muncul dalam perhelatan film yang kini berusia 20 tahun ini.
"Festival kan fungsinya untuk melihat kondisi dari perspektif yang beragam. Sekaligus menjadi momen reflektif dari berbagai kejadian yang memantik kemanusiaan dan krisis," kata Direktur JAFF, Ifa Isfanyah, Sabtu (29/11).
"Isu perempuan menjadi salah satu yang selalu mendapat tempat, termasuk juga bertumbuhnya para sutradara perempuan," ujar Ifa.
Praditha Blifa, salah satu sutradara yang ikut membesut film The Period of Her, menyebut film sebagai medium yang efektif untuk menyuarakan isu-isu inklusif tentang kelompok marginal, termasuk perempuan.
"Film bisa menyentuh titik empati manusia, sehingga kita saling terinspirasi dari karakter-karakter yang ada dengan lebih luas. Karena bukan hanya di kota, tapi bisa masuk ke daerah," ujar Ditha.
Reza Rahadian, sutradara film Pangku berkata bahwa isu perempuan merupakan salah satu isu yang perlu terus disuarakan.
"Kita berkembang secara teknologi dan lain-lain, tapi masih ada isu yang sangat penting yang masih seputar hal yang sama dan itu terjadi sampai hari ini," ujarnya.
Loeloe Hendra Komara, sutradara film Tale of the Land yang tahun lalu juga diputar di JAFF, menyebut persoalan perempuan kini kian terbuka dan tidak lagi dibatasi dalam penyampaiannya.
Film terbaru Loeloe yang tengah digagas, bertajuk A Life Full of Holes, bercerita tentang buruh migran perempuan. Film ini memperoleh tiga penghargaan pada JAFF Future Project tahun ini.
Jauh sebelum Pangku, The Period of Her, dan Tale of The Land, sutradara Usmar Ismail pernah melahirkan film yang mengangkat isu perempuan, berjudul Asrama Dara (1958), yang versi restorasi filmnya juga diputar di JAFF.
Isu yang diangkat oleh Usmar berkaitan tentang stigma perempuan yang keluar tengah malam, cara berpakaian, persoalan jodoh, diskriminasi, hingga hubungan asmara.
Berbagai isu terkait perempuan dalam film-film itu terdengar sama. Pertanyaannya, apakah situasi perempuan di Indonesia saat ini telah bertransfigurasi seperti tema JAFF tahun ini?
Direktur JAFF, Ifa Isfansyah, menyebut film yang diputar sepanjang perhelatan festival ini berdasarkan kurasi yang ketat. Dari hampir 900 film yang masuk, tim panel menyaringnya menjadi hanya 227 film—dari 43 negara.
Mengacu pada jumlah film terpilih itu, sebanyak 60 sutradara perempuan lintas Asia terlibat di balik layarnya. Sutradara perempuan dari Indonesia tercatat 18 orang yang film diputar di JAFF 2025.
Judul film- film itu, antara lain The Period of Her yang merupakan omnibus empat film pendek dari empat sutradara perempuan yakni Praditha Blifa, Erlina Rakhmawati, Sarah Adillah, dan Linda Ariani.
Film lainnya adalah Judheg, disutradarai oleh Misya Latief.
Ada pula sejumlah film pendek dari sutradara "yang siap bersinar" seperti Laut Memendam Luka milik Mariam Gesti Pratiwi, So I Pray dari Amy Rahmaditha, Gokill milik Amanda Iswan, Potret dari Galih Ola, dan Pulasara dari Lailatul Mukjizah.
"Tentu kualitas dan kurasi," kata Ifa soal bagaimana sejumlah film bisa lolos untuk tayang di JAFF 2025.
"Tapi kemudian kami petakan lagi, dari mana saja, mana laki dan mana perempuan. Memang tidak bisa menjaga untuk seimbang, tapi itu masuk dalam radar kami. Karena kami JAFF selalu mendukung inklusivitas," ujar Ifa.
Festival film, baik di dalam negeri maupun luar negeri, membuka peluang suara perempuan didengar lewat film, kata sutradara Praditha Blifa berkata. Masuknya isu perempuan dalam festival film disebutnya sangat dibutuhkan.
"Bicara tentang perempuan perlu kolaborasi sangat kuat. Perlu bergandengan bersama, termasuk dengan masyarakat juga. Kalau masyarakat tidak juga mendukung, itu akan sangat sulit," ujar Ditha.
Menurut Ditha, mengangkat isu perempuan ke layar lebar terkadang menjadi beban bagi sutradara perempuan. Dua film pendek Ditha tentang perempuan, yaitu Kala Nanti (2024) dan Ngiring Belasungkawa (2019) lolos kurasi JAFF tahun 2021 dan 2024.
"Ada rasa takut dan kekhawatiran yang besar. Akan diterima enggak ya? Apakah akan dicekal? Atau aku akan dianggap berbeda karena membawa suara yang tidak sesuai masyarakat dengan budaya patriarki yang mengakar kuat?" tutur Ditha.
Film terbarunya, berjudul Romansa Keparat, yang menjadi bagian omnibus The Period of Her bersama tiga sutradara perempuan lain memupus kecemasannya. "Ternyata saat bersama ini makin terasa kuat ceritanya," kata Ditha.
Ideologi ibuisme yang dipropagandakan oleh Orde Baru telah diserap ke berbagai tingkat masyarakat, menurut sineas Dag Yngvesson, dalam sebuah diskusi panel di JAFF 2025.
Akibatnya, kata Yngvesson, saat ingin menyuarakan pengalaman menghadapi ketidakadilan, perempuan harus menghadapi ketakutan dan kekhawatiran. Situasi ini disebutnya berpotensi menghambat kontribusi perempuan di berbagai bidang, termasuk film.
Dalam bukunya berjudul Archipelagic Cinema: Screening Southeast Asian Modernity, Yngvesson menulis bagaimana pada masa lalu, para sutradara perempuan seperti Ratna Asmara, Sofia W.D, dan Roostijati menapaki jenjang dari aktris hingga kemudian menjadi sutradara.
Pengamat film, Fala Pratika, menilai budaya patriarki berpengaruh pada sudut pandang dalam bercerita mengenai perempuan.
"Pada dekade-dekade sebelumnya, peran perempuan selalu disematkan antara sebagai istri atau sebagai ibu. Perempuan harus melekat pada entitas tertentu untuk menjadi perempuan,"ujar Fala.
Namun belakangan, Fala melihat penuturan pengalaman perempuan lewat layar lebar "semakin progresif" dan "memperlihat daya tanpa menginduk pada entitas tertentu".
Menurutnya, ini tak bisa dilepaskan dari jumlah perempuan dalam industri film yang terus bertumbuh—baik sebagai produser, sutradara, penulis skenario, penyunting gambar, hingga pengarah sinematografi.
Sutradara perempuan di Indonesia selama tahun 2010 hingga 2020 berjumlah 124 orang, menurut riset yang dikerjakan Sazkia Noor Anggraini, Rahayu Harjanthi, dan Tito Imanda, yang terbit dalam buku Menuju Kesetaraan Gender Perfilman Indonesia.
Angka tersebut setara 11% dari total sutradara film di Indonesia.
Sutradara Loeloe Hendra Komara, yang juga menjadi pengajar di Jogja Film Academy, menyebut jumlah perempuan yang duduk di bangku sutradara saat ini terus bertambah.
Meski tak bisa dipungkiri, kata dia, peningkatan jumlah tersebut tak sebanding dengan para lelaki yang menjadi sutradara.
"Tapi untuk bidang kreatifnya, seperti penulis skenario dan beberapa hal lain, perempuan itu cukup banyak saat ini dan sangat berkontribusi menghasilkan cerita yang lebih inklusif," ujar Loeloe.
Bisakah film Indonesia berkisah tentang perempuan tanpa 'male gaze'?
Reza Rahadian, aktor yang kini juga berkarier sebagai sutradara, menyebut dirinya menemukan berbagai isu perempuan saat menjalankan riset untuk filmnya yang berjudul Pangku. Pengalaman pribadinya sebagai anak yang diasuh oleh ibu tunggal juga turut masuk di dalam membangun cerita film tersebut.
"Penting sekali di awal itu film ini mau bahas tentang siapa, cerita apa yang ingin diangkat, sampai sudut pandang siapa cerita ini ingin dituturkan," ujar Reza.
Ia mengakui, semula dia tidak memikirkan potensi masuknya sudut pandang pria (kerap disebut dengan istilah male gaze) ketika bertutur tentang sosok Sartika. Namun riset yang dilakukannya bersama tim membantu meningkatkan kesadaran terkait hal ini.
"Betul, kreatornya laki-laki, penulis skenarionya laki-laki, tapi ketika kami membuat film ini, kami berusaha sejujur mungkin ini adalah tentang seorang perempuan yang sedang dihadapkan dengan persoalan kehidupan," ujar Reza.
"Setop dulu di situ, saya kasih titik di situ supaya enggak bercabang ke mana-mana.
"Karena ruang-ruang itu dalam sinema kalau saya tidak mampu menahan ego, saya juga akan terjebak untuk lebih eksploitatif, lebih dramatis, karena ruangnya ada," tuturnya.
Hal senada juga disebut Loeloe Hendra Komara. Dua film panjangnya yakni Tale of The Land (2024) dan Sah! Katanya (2025) bercerita tentang pengalaman perempuan. Film teranyar yang sedang digarapnya, yakni A Life Full of Holes, juga lagi bertutur tentang perempuan.
Bagi Loeloe, dikelilingi para perempuan yang lebih banyak berperan dalam urusan rumah tangga hingga finansial memberinya perspektif tersendiri.
"Perempuan itu sosok yang kuat dalam kehidupan. Saya menempatkan mereka di film saya juga demikian. Mungkin karena itu juga yang saya lihat sejak kecil," kata Loeloe.
Namun mengingat film adalah kerja kolektif, Loeloe berkata, dia rutin berbincang dengan pengarah kamera agar mengambil gambar tokoh perempuan dengan sudut pandang perempuan dan tidak mengobyektifikasi perempuan.
Untuk penulisan skenario, Loeloe juga selalu berdiskusi dengan istri dan tim yang juga diisi oleh perempuan untuk memberi masukan agar naskahnya tidak terjebak dalam male gaze.
Praditha Blifa yang turut menjadi asisten sutradara untuk film Yuni (2021) dan Before, Now & Then (2022) berkata, jika sineas hendak mengangkat kisah perempuan, maka mereka harus melihat dari sudut pandang perempuan pula.
"Jadi walaupun laki-laki yang membuatnya, mereka tidak akan menciptakan kesan male gaze," ujar Ditha.
Masih maraknya tren male gaze dalam film tentang perempuan, menurut Ditha, dipicu minimnya keterlibatan perempuan dalam proses pembuatan film.
"Bahaya sekali bicara perempuan tapi tidak melibatkan perempuan itu sendiri dalam timnya, misal penulis, periset, atau bagian kreatifnya," kata Ditha.
Fala Pratika, yang juga membuat film The Other Daughter (2024), menyebut penonton saat ini yang makin kritis membawa perubahan tersendiri bagi industri film.
"Jadi, ketika laki-laki saat ini membuat film tentang perempuan kemudian banyak hal yang mereka pertimbangkan karena penonton sangat kritis dalam melihat film," kata Fala.
Bahkan dalam sejumlah film horor beberapa tahun ini, perempuan kini bisa menjadi agensi tidak hanya menjadi korban obyektifikasi atau demonisasi.
Film drama, kata Fala, juga kini membentuk resiliensi baru dan menjadi cara perlawanan yang subtil dan tidak melulu konfrontatif karena muncul dari pengalaman perempuan yang diceritakan oleh perempuan juga.
Menurut Fala, hal semacam ini harus terus diberi ruang. Pemahaman mengenai male gaze ini juga harus diingatkan agar perempuan tidak lagi menjadi obyek dalam film.
Ditha bercerita, sepanjang bekerja di Forka Films, ruang aman dalam produksi film sangat terjaga. Ia menunjukkan ada barcode yang bisa dipindai sebagai sarana pelaporan dan aduan jika ada kekerasan yang terjadi selama proses film berlangsung.
Kekerasan disebutnya bisa dalam berbagai hal, baik seksual, fisik, verbal, hingga menjamin ide dan gagasan bisa disampaikan tanpa rasa takut.
"Candaan seksis juga sekarang hampir enggak ada, karena kesadarannya juga tumbuh," kata Ditha.
Loeloe juga menerapkan hal yang sama ketika proses produksi berjalan. Ia mengklaim telah membuka ruang aduan yang aman dan memberi sanksi bagi tim yang melakukan kekerasan.
Ruang aman, bagi Loeloe, juga terkait dengan ritme dan waktu kerja. Ia sangat memperhatikan agar tim tidak kerja melewati waktu yang telah disepakati.
Fala memberi masukan terkait ruang aman bagi perempuan ini.
"Dominasi laki-laki itu sayangnya juga mempengaruhi bagaimana kemudian perempuan-perempuan dalam film untuk bisa fit in mengubah menjadi maskulin. Ini justru kontraproduktif dengan apa yang sedang diupayakan," ucap Fala.
"Menjadi perempuan untuk bekerja dan berkarya bahkan di masa sekarang pun banyak pertimbangan yang malah menimbulkan rasa minder, ketidakpercayaan diri, bahkan merasa tidak pantas karena adanya nilai patriarki itu," tuturnya.
"Untuk itu, ruang aman ini perlu juga menjamin perempuan tetap menjadi dirinya," kata Fala.
'Arsip film menjaga sejarah bangsa'
Pada masa awal lahirnya sinema, keberadaan perempuan di balik layar seakan disisihkan. Tidak hanya di Indonesia, bahkan pada lanskap dunia.
Nama Alice Guy Blaché jarang disebut. Film buatannya La Fee aux Choux tayang pada 1896, tepat setahun setelah Lumiere bersaudara mengembangkan proyektor kamera dan memutar film pertamanya.
Di Indonesia, nama Ratna Asmara juga urung terdengar. Ketika bicara film Indonesia, maka tokoh di balik layar yang selalu digaungkan adalah Usmar Ismail, Asrul Sani, Sjumandjaya, atau Teguh Karya.
Padahal Ratna berkiprah sebagai sutradara sejak awal 1950-an. Filmnya, Sedap Malam (1950) diduga sebagai film pertama yang mengangkat isu perempuan dalam bingkai seks komersial.
Selain menyutradarai film Sedap Malam, Ratna memimpin pembuatan film Musim Bunga di Selabintana (1951) dan Dokter Samsi (1952). Film Nelayan, yang diputar pada 1953, juga dia sutradarai. Di film ini, Ratna juga menulis skenario dan produsernya.
Pada 1954, dia memimpin pembuatan film berjudul Dewi dan Pemilihan Umum.
Tema yang diangkat Ratna bisa dibilang cukup kontroversial saat itu. Arsip filmnya pun cukup sulit ditemukan. Salah satu yang berhasil dilacak dan kemudian direstorasi oleh Kelas Liarsip adalah film Dokter Samsi. Film restorasi ini juga muncul di JAFF beberapa tahun lalu.
Tahun ini, JAFF kembali memunculkan film restorasi bertajuk Asrama Dara (1958) milik Usmar Ismail yang juga bercerita tentang perempuan. Sebelumnya, Usmar cukup dikenal dengan Tiga Dara (1956) yang juga bercerita tentang isu perempuan dengan cara yang ringan melalui musikal.
Kalau ditelusuri lebih jauh, film yang mengangkat isu perempuan bertumbuh perlahan pada masa itu dengan bungkusnya masing-masing, apalagi saat beralih ke Orde Baru.
Asrul Sani, misalnya, melalui film Apa yang Kau Tjari, Palupi? (1969) atau Kemelut Hidup (1978) menampilkan diskriminasi perempuan dan beban berlapis perempuan yang berujung pada prostitusi.
Pada sejumlah film Orde Baru, prostitusi dan dunia malam sejalan dengan ideologi Ibuisme digambarkan menjadi dampak dari perempuan yang memilih mandiri dan keluar dari rumah. Asrul sekilas bermain juga dengan hal ini, tapi saat dipahami mendalam, film ini justru menyinggung beban berlapis pada perempuan akibat kemiskinan dan persoalan sosial lainnya.
Banyak film yang bertutur tentang perempuan maupun diproduksi sutradara perempuan Indonesia pada masa lampau kini tak lagi diketahui jejaknya. Hal ini menunjukkan pengarsipan film yang belum mumpuni, menurut Direktur JAFF, Ifa Isfansyah.
Ifa menyampaikan manifesto pengarsipan film ketika membuka rangkaian JAFF 2025.
"Apa gunanya film ditonton lima juta orang hari ini jika 10 tahun lagi hilang tanpa jejak? Film adalah cara sebuah bangsa memandang dirinya sendiri. Ia menyimpan suara, bahasa, kegelisahan, dan harapan dari generasi tertentu," ujar Ifa di atas panggung pembukaan JAFF di hadapan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon.
"Negara yang tidak memiliki arsip film bukan hanya negara yang kehilangan sejarah, tapi negara yang tidak percaya bahwa masa depannya layak dibentuk dengan ingatan yang benar."
Ifa meminta pemerintah memberikan perhatian pada pengelolaan arsip film ini. Ia kemudian menuturkan film Opera Jawa (2005) yang diputar sebagai pembuka pada JAFF 2025 ini harus diambil dari Prancis yang menyimpan arsipnya.
Direktur Program JAFF Alexander Matius juga menambahkan, restorasi film seperti Asrama Dara juga sebagai upaya untuk memelihara ingatan. "Karena sepertinya di beberapa tahun belakangan ingatan selalu menjadi konteks yang sangat penting di Indonesia."
Ia juga menekankan sejarah itu bukan hanya milik satu kelompok tertentu saja sehingga harus dilihat dari berbagai sisi dan sumber. Film merupakan satu wahananya dalam mencatat sejarah.
Sebab, film merupakan penanda zaman yang memotret sejarah pada masa itu sehingga jika dibiarkan hilang, maka sejarah yang ditilik dari berbagai sudut pandang juga akan tergerus.
Salah satunya sejarah mengenai perempuan yang juga mencoba bertransfigurasi untuk menemukan bentuk terbaiknya dalam pusaran gelombang persoalan yang masih serupa di tiap dekadenya. (*)
Tags : JAFF 2025, Pembukaan JAFF 2025, Isu Perempuan, JAFF 2025 Tampilkan Isu Perempuan, Hiburan, Perempuan, Film,