JAKARTA - Pengamat energi menilai sikap Presiden Joko Widodo yang maju-mundur soal kebijakan pembatasan pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi menunjukkan Presiden Jokowi tidak ingin citranya kian buruk di akhir masa jabatan dan di tengah situasi politik yang disebut kurang menguntungkannya.
Setidaknya tercatat sudah dua kali Presiden Jokowi menganulir pernyataan para menterinya—Luhut Binsar Panjaitan dan Bahlil Lahadalia—dalam rentang waktu hanya beberapa bulan saja.
Presiden berkata kebijakan ini masih dalam proses sosialisasi dan belum ada keputusan, meskipun dia mengakui BBM subsidi yang tak tepat sasaran telah menguras APBN sehingga harus diefisiensi.
Dalam perkembangan terbaru, salah satu skema pembatasan pembelian BBM subsidi yang dirancang Kementerian Energi dan Sumber Daya Minereal (ESDM), nantinya Pertalite hanya bisa digunakan untuk kendaraan roda empat di bawah 1.400 cc dan motor di bawah 250 cc.
Apakah cara itu tepat dan efektif membuat BBM subsidi jadi lebih tepat sasaran?
'Yang pasti akan menambah beban hidup, apalagi gaji enggak naik'
Rencana pemerintah yang bakal membatasi pembelian BBM bersubsidi pada 1 Oktober mendatang membuat sejumlah warga gusar.
Di media sosial mulai muncul suara-suara penolakan yang menganggap keputusan tersebut hanya menyusahkan masyarakat di tengah banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.
Budi, seorang warga Jakarta, termasuk di antaranya. Dia bilang jika kebijakan ini diberlakukan, maka beban keuangan keluarganya sudah pasti bertambah.
"Sementara gaji naiknya enggak besar, enggak seimbang lah kenaikan [upah] kelas menengah kayak saya ini dengan tuntutan atau pengeluaran yang harus dibayar kalau [harga] BBM naik," ucapnya.
Pekerja kantoran di Jakarta ini mengatakan sehari-hari mengendarai mobil pribadi—baik untuk keperluan pekerjaan maupun keluarga. Karenanya salah satu pengeluaran terbesarnya adalah bensin.
Jika biasanya dalam sehari dia merogoh kocek Rp50.000 untuk membeli Pertalite, maka sebulan menghabiskan Rp1,5 juta.
Namun kalau kebijakan pembatasan pembelian betul-betul diberlakukan, pengeluarannya bisa membengkak hingga dua kali lipat.
"Kebetulan mobil saya itu 2.000 cc, jadi kalau diterapkan [pembatasan pembelian BBM subsidi] harusnya kena," sambungnya.
Itu mengapa bapak dua anak ini mengaku agak sedikit khawatir. Sebab bertambahnya beban pengeluaran rumah tangga sudah terbayang, mulai dari harian sampai bulanan.
Demi menekan pengeluaran, dia mulai mencari alternatif untuk menggunakan transportasi publik kalau sampai kebijakan 1 Oktober itu berlaku.
"Mungkin akan ganti ke transportasi umum kayak kereta atau ojek ya.. konsekuensinya waktu perjalanan makin lama. Tapi akan banyak penyesuaian lah sepertinya."
Dan yang bikin dia tambah was-was, pembatasan pembelian BBM subsidi ini bakal merembet ke kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya.
"Efeknya pasti enggak cuma ke biaya bensin, tapi yang saya khwatirkan ke harga-harga sih... sembako atau ongkos angkot jangan-jangan ikut-ikutan naik."
Wacana pembatasan pembelian BBM subsidi sebetulnya sudah diembuskan Menko Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan pada Juli lalu.
Dia mengatakan pemerintah akan membatasi pembelian BBM subsidi per 17 Agustus 2024. Alasannya pemerintah sedang melakukan efisiensi untuk meningkatkan penerimaan negara.
Luhut juga bilang, pengaturan ini juga bertujuan agar penyaluran BBM subsidi lebih tepat sasaran.
"Kita berharap 17 Agustus ini kita sudah bisa mulai, di mana orang yang tidak berhak dapat subsidi ini akan bisa kita kurangi," ucap Luhut dalam unggahan di akun Instagram miliknya pada 9 Juli 2024.
Ia kemudian membeberkan rencana pemerintah untuk mendorong penggunaan bioetanol sebagai pengganti bensin.
Menurutnya, hal ini akan mengurangi impor minyak yang disebutnya cukup membebani anggaran negara.
Selain itu, klaimnya, bioetanol juga bisa mengurangi polusi udara.
Tapi selang beberapa hari saja pernyataan Luhut tersebut dibantah Presiden Jokowi.
Kata Presiden, sampai pertengahan Juli pemerintah belum ada pemikiran untuk melaksanakan kebijakan itu. Ia juga belum menggelar rapat kabinet dalam rangka membahas usulan yang dimaksud.
"Enggak, enggak, enggak. Belum ada pemikiran ke sana," ujar Jokowi dalam sesi keterangan pers di Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada 16 Juli 2024.
Selang sebulan, wacana pembatasan pembelian BBM subsidi kembali digaungkan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia. Dia bilang pemerintah akan membatasi pembelian BBM subsidi mulai 1 Oktober 2024.
"Ya memang ada rencana begitu," ujar Bahlil.
Bahlil kemudian menuturkan aturan soal pembatasan BBM subsidi akan dicantumkan dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM. Namun Permen tersebut masih harus disosialisasikan kepada masyarakat.
Kebijakan ini, sambungnya, diambil lantaran penyaluran BBM subsidi belum tepat sasaran. Dia mencontohkan masih ada mobil-mobil mewah yang menggunakan bensin subsidi.
Padahal seharusnya digunakan oleh kelompok masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah.
"Kalau kita kaya, kita masih menerima BBM bersubsidi, apa kata dunia bos?" tandasnya.
Hanya saja, lagi-lagi pernyataan Bahlil dianulir Presiden Jokowi.
Ditemui usai peresmian gedung baru di RSUP dr. Sardjito, pada Rabu (28/08), Presiden mengatakan: "Belum ada keputusan dan belum ada rapat".
"Saya kira kita masih dalam proses sosialisasi, kita akan melihat di lapangan seperti apa," tambah Jokowi.
Di berbagai kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani kerap menyatakan penyaluran BBM subsidi selama ini tidak tepat sasaran. Untuk BBM jenis Solar saja 89% dinikmati dunia usaha, dan hanya 1% dinikmati kalangan rumah tangga.
Namun dari yang dinikmati rumah tangga itu ternyata 95% dinikmati rumah tangga mampu dan hanya 5% yang dinikmati rumah tangga miskin seperti petani dan nelayan.
Adapun untuk BBM bersubsidi jenis Pertalite, 86% digunakan kalangan rumah tangga dan 14% dinikmati kalangan dunia usaha.
Tapi, dari porsi rumah tangga itu 80% dinikmati oleh rumah tangga mampu dan hanya 20% dinikmati oleh rumah tangga miskin.
Karena itulah Sri Mulyani sudah pernah meminta PT Pertamina untuk mengendalikan konsumsi BBM subsidi agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak mengalami tekanan.
Mengapa pemerintah galau?
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai sikap maju-mundur pemerintah dalam memutuskan pembatasan pembelian BBM subsidi ini tak bisa dilepaskan dari kekhawatiran Presiden Jokowi atas sejumlah hal.
Mulai dari potensi terjadinya kenaikan inflasi dan menurunnya daya beli masyarakat—sehingga bisa menimbulkan warisan kebijakan yang tidak baik bagi pemerintahan Jokowi, kata Fahmy.
Selain itu, menurutnya, ada faktor situasi politik yang disebutnya tidak menguntungkan Presiden jelang masa akhir kepemimpinannya.
"Dugaan saja barangkali akan menurunkan rating pemerintahan Jokowi, mungkin itu yang ditakutkan sehingga enggak menyetujui upaya pembatasan," ujar Fahmy Radhi, Jumat (30/08).
"Apalagi situasi politik sedang panas, mulai ada protes atau serangan terhadap Jokowi, ditambah anak bungsunya naik privat jet, makin memperburuk citranya di akhir kekuasaannya."
Padahal, menurut Fahmy, kebijakan pembatasan pembelian BBM subsidi "sudah sangat mendesak"—jika bersandar pada data yang ada
Berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan, sebutnya, anggaran negara semestinya bisa diselamatkan hingga Rp90 triliun jika BBM subsidi tepat sasaran.
"Jadi ini [pembatasan pembelian BBM subsidi] sudah sangat mendesak diterapkan," tegasnya.
Sayangnya hingga saat ini pemerintah masih tarik ulur.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, mengatakan "pemerintah masih mengkaji penerapan kebijakan pembatasan pembelian BBM subsidi per 1 Oktober 2024".
Kendati demikian, ESDM sebetulnya telah menyiapkan skema pembatasan di mana penggunaan BBM bersubsidi jenis Pertalite hanya bisa digunakan untuk mobil di bawah 1.400 cc motor di bawah 250 cc.
Rancangan regulasi ini klaimnya sedang disosialisasikan dan akan dimasukkan dalam revisi Perpres nomor 191 tahun 2014.
Tapi selama peraturannya belum terbit, maka Pertalite tetap tersedia di seluruh SPBU Pertamina.
Pjs Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari, juga memastikan penyaluran Pertalite terus dilakukan sesuai penugasan yang diberikan Pemerintah.
Tidak ada rencana menghentikan distribusi Pertalite pada 1 September 2024, katanya.
"Masyarakat tidak perlu termakan berita hoax. Pertalite akan terus kami salurkan sesuai kuota yang ditetapkan Pemerintah," jelas Heppy.
Pertamina Patra Niaga, sambungnya, juga terus mendukung upaya-upaya pemerintah agar subsidi tepat sasaran dengan melakukan pendataan pengguna BBM Subsidi melalui pendaftaran QR Code di situs Pertamina.
"Wilayah pendaftaran QR Code Pertalite dilakukan secara bertahap dan hanya khusus untuk kendaraan roda empat," kata Heppy.
Saat ini, lanjutnya, pendaftaran QR Code Pertalite difokuskan di wilayah Jawa, Madura, Bali dan sebagian wilayah lain seperti Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, Maluku Utara, Gorontalo, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Aceh, Bangka Belitung, Bengkulu dan Kabupaten Timika.
"Diharapkan tahap 1 bisa tercapai 100% pada akhir September 2024. Sisanya akan dilakukan tahap kedua rencana paling cepat bulan Oktober- November 2024," jelas Heppy.
Adapun jumlah pendaftar yang terverifikasi dan telah mendapat QR Code saat ini mencapai 3,9 juta.
Heppy kemudian menjelaskan bahwa dokumen yang perlu dipersiapkan untuk mendaftar adalah foto KTP, foto diri, foto STNK (tampak depan dan belakang), foto kendaraan tampak keseluruhan, foto kendaraan tampak depan nomor polisi dan foto KIR bagi kendaraan pengguna KIR.
Untuk seluruh dokumen agar dipastikan terbaca dengan jelas dan dikirim dalam format foto (jpg). Selain itu, agar memastikan foto yang diunggah jelas tidak pecah dengan resolusi tinggi agar memudahkan proses verifikasi.
"Bagi masyarakat pengguna Pertalite yang belum melakukan pendaftaran, diharapkan segera melakukannya untuk memastikan akses subsidi BBM yang tepat sasaran," imbau Heppy.
Apakah skema mobil di atas 1.400 cc dan motor di atas 250 cc tak boleh pakai BBM subsidi tepat sasaran?
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai skema tersebut "akan susah diterapkan" lantaran bakal merepotkan petugas SPBU.
Menurut dia, sembari menunggu keputusan final dan mekanisme pengaturan yang lebih tepat, pemerintah bisa saja menerapkan ketentuan: "hanya kendaraan roda dua dan angkutan umum—baik orang maupun barang—yang boleh menggunakan BBM subsidi".
Di luar dari kriteria itu, maka harus memakai BBM non-subsidi. Cara ini, sebutnya, lebih sederhana dan mudah diaplikasikan.
"Mobil pribadi harus migrasi atau pindah ke Pertamax yang selisih harganya Rp3.000."
"Dan saya yakin enggak akan terjadi inflasi atau menurunkan daya beli, karena ini menyasar konsumen yang memang tidak berhak."
Namun begitu jika pemerintah tetap berkukuh pada skema yang ada, Fahmy berharap agar sosialisasi digencarkan dan segera teken dalam keputusan resmi.
Jangan justru membuat gaduh di masyarakat. Sebab persepsi yang muncul yakni pada 1 Oktober mendatang akan ada kenaikan harga BBM.
"Padahal kan tidak ada kenaikan. Jadi saya lihat ini Bahlil ngomong saja tapi enggak serius. Kalau belum memutuskan mekanisme, belum sosialisasi, belum ubah aturan ya hanya omon-omon."
f.Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah akan membatasi pembelian BBM subsidi per 17 Agustus 2024. Alasannya pemerintah sedang melakukan efisiensi untuk meningkatkan penerimaan negara.
F.Petugas membawa poster di badannnya saat sosialisasi subsidi tepat pertalite di SPBU Coco Mata Air Padang, Sumatera Barat, Kamis (1/8/2024).
Tags : minyak gas, Ekonomi, Aplikasi, Energi, Inflasi, Pekerjaan, Indonesia, Kemiskinan, Biaya hidup,