JAKARTA - Rencana pemerintah Indonesia untuk mengonversi energi dari gas LPG subsidi tiga kilogram ke kompor listrik dinilai mustahil diterapkan secara nasional selama keandalan pasokan listrik di Indonesia belum kuat.
Ini karena infrastruktur kelistrikan yang mumpuni hanya ada di Pulau Jawa dan Bali, menurut pengamat.
Kritikan serupa juga datang dari anggota Komisi VII DPR, Sartono. Kata dia, program konversi ini harus diperhitungkan dengan matang agar tidak membebani masyarakat.
Menjawab hal itu, Kementerian ESDM memastikan masyarakat tidak akan dikenakan beban jika berpindah dari gas LPG ke kompor listrik. Pemerintah justru mengklaim, masyarakat bisa lebih menghemat biaya masak hingga 10%-15%.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal mengurangi konsumsi gas LPG tiga kilogram dan menggantinya dengan kompor listrik secara bertahap.
Untuk tahap awal, pemerintah sedang melakukan uji coba di beberapa kota seperti Solo, Jawa Tengah; Denpasar, Bali; dan Sumatera yang masing-masing diberikan ke 1000 rumah tangga dengan kapasitas daya listrik antara 450-900 VA.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan dari uji coba itu pemerintah ingin mengetahui apakah biaya yang dikeluarkan masyarakat dengan kompor listrik lebih besar atau lebih kecil.
Kemudian juga yang ingin kita tahu kecepatan masaknya apakah sama dengan gas LPG?" ujar Dadan Kusdiana dirilis BBC News Indonesia, Minggu (18/09).
Dalam uji coba ini, rumah tangga yang memiliki kompor listrik dipasangi jaringan baru yang khusus dipakai untuk memasak. Kompor itu pun diklaim bisa mencatat konsumsi listrik yang terpakai.
Jika uji coba pertama ini berjalan mulus, kata Dadan, maka uji coba yang lebih besar akan dilakukan untuk 300.000 rumah tangga dan tidak menutup kemungkinan bakal dijadikan program nasional.
"Ya kita semua sedang menyiapkan teknisnya dulu. Sambil di tengah jalan kita lihat keekonomiannya, kemudian baru dari sisi regulasi. Berjalannya kan beriringan. Yang pasti itu masyarakat tidak akan menambah biaya untuk bahan bakarnya."
"Misalkan kita sudah survei sebulan habis berapa tabung untuk memasak, kita sudah ada angkanya."
Konversi LPG ke kompor listrik: pemerintah tidak berbisnis
Dadan Kusdiana menjelaskan, alasan konversi ini sebetulnya didasari atas besarnya beban pemerintah mengimpor gas LPG tiga kilogram.
Pada Januari 2022, Presiden Jokowi menyebut anggaran untuk impor LPG mencapai Rp80-an triliun.
Selain itu penyalurannya juga tidak tepat sasaran. Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya membeberkan gas LPG subsidi ini 68% dinikmati oleh rumah tangga mampu.
"Subsidi ini memang kewajiban pemeritah, tapi harga (LPG) makin meningkat, jumlah konsumsinya juga naik. Kita akan mulai geser, kebetulan kalau pakai kompor listrik lebih nyaman, tidak ada asap. Dapur lebih bersih," imbuh Dadan.
"Dan pemerintah tidak berbisnis ya dalam hal ini."
Namun demikian, dia belum bisa memastikan berapa anggaran yang bisa dihemat kalau konversi ini diberlakukan. Yang pasti, pemerintah berniat menyetop impor LPG pada tahun 2030.
Konversi tidak bisa diberlakukan di seluruh Indonesia
Pakar energi yang juga Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan besarnya anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk impor LPG di tengah persoalan tidak tepat sasaran dinilai sebagai alasan klasik.
Sejak kebijakan konversi energi dari minyak tanah ke LPG pada tahun 2007, persoalan itu tidak diselesaikan hingga sekarang.
"Karena distribusinya terbuka, tidak diatur. Maka rumah tangga yang tidak miskin dan usaha yang tidak kecil juga bisa menggunakan. Ditambah disparitas LPG subsidi dan tidak subsidi yang besar, maka konsumsi LPG subsidi lebih besar," ucap Fabby Tumiwa.
Persoalan tersebut, sambungnya, sesungguhnya bisa diselesaikan dengan membuat sistem distribusi tertutup. Di mana rumah tangga dengan kategori miskin dan masuk Data Terpadu Kesejahetraan Sosial di Kementerian Sosial lah yang boleh membeli LPG subsidi.
"Di luar data itu tidak boleh. Sistem seperti itu kan mungkin diterapkan. Buktinya pemerintah bisa bagi-bagi BLT untuk orang miskin."
"Itu kan tinggal diintegrasikan saja dengan sistem BLT sekarang mekanismenya. Apalagi dengan digitalisasi akan lebih mudah. Tapi itu tidak pernah dilakukan."
Itu mengapa, kebijakan konversi untuk mengatasi persoalan tadi dinilai tidak tepat.
Kalaupun pemerintah memaksakan ingin menerapkan kebijakan konversi agar tepat sasaran, maka targetnya harus rumah tangga miskin berdaya listrik 450 sampai 900 VA.
Syarat lain, beban tarif pemakaian kompor listriknya ditanggung atau disubsidi pemerintah.
"Saran saya daya listrik mereka dinaikan jadi 2.200 VA atau 3.300 VA untuk amannya. Karena satu tungku kompor listrik itu dayanya 1.000 watt. Dengan begitu masyarakat mendapat jaminan daya naik dapat tarif subsidi."
Hanya saja Fabby mengingatkan bahwa program konversi ini mustahil diterapkan secara nasional selama keandalan pasokan listrik di Indonesia belum kuat.
Sepanjang pengamatannya, infrastruktur kelistrikan yang mumpuni hanya ada di Pulau Jawa dan Bali.
"Kalau masak pakai kompor listrik yang harus dipastikan adalah keandalan pasokan listriknya, jangan sampai lagi masak kompor mati."
Seperti apa respons masyarakat?
Seorang ibu rumah tangga di Jakarta Timur, Khusnul, mengatakan bakal menolak berpindah dari gas LPG tiga kilogram ke kompor listrik.
Keluarga yang tinggal di rumah kontrakan dengan daya listrik 900 VA ini mengaku tak sanggup mengeluarkan ongkos lebih besar lagi di tengah kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan BBM.
Setiap bulan, katanya, biaya untuk listrik sekitar Rp500.000.
"Kayaknya saya nggak mau deh, dengan daya 900 VA mau bayar listrik berapa pakai kompor listrik?" ungkapnya.
"Ini saja harga sewa kontrakan mau naik lagi..."
Anggota Komisi VII DPR, Sartono, juga mewanti-wanti pemerintah agar cermat menghitung beban masyarakat jika beralih ke kompor listrik. Pasalnya selain kompor, masyarakat juga harus mengeluarkan uang untuk membeli alat masak yang sesuai.
"Kalau pakai kompor listrik kan panci atau wajannya juga khusus. Itu diperhitungkan yang matang sebelum dikonversi."
Sartono juga mengingatkan pemerintah agar membuat kajian yang mendalam sebelum benar-benar menjadikan uji coba ini sebagai kebijakan nasional.
Jika tidak maka komisi VII DPR, klaimnya, akan menolak.
"Kalau ujug-ujug jadi kebijakan, saya akan tolak". (*)
Tags : Konversi Gas LPG, Kompor Listrik, Pemerintah Berencana Konversi Gas LPG,