Bisnis   2024/09/29 16:35 WIB

Pemerintah Berencana Seragamkan Kemasan Rokok yang Masih Mengundang Pro-Kontra Disejumlah Kalangan

Pemerintah Berencana Seragamkan Kemasan Rokok yang Masih Mengundang Pro-Kontra Disejumlah Kalangan
Ilustrasi petani dan pekerja daun tembakau.

KESEHATAN - Rencana Kementerian Kesehatan menyeragamkan kemasan rokok ditentang keras sejumlah pihak, termasuk serikat pekerja dan asosiasi produsen rokok serta kementerian lainnya.

Kerugian ekonomi dari kebijakan ini disebut bisa menyentuh ratusan triliun rupiah. Namun, biaya kesehatan karena rokok pun terhitung tak kalah besar. Bagaimana duduk perkaranya?

Kementerian Kesehatan tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), yang utamanya bakal mengatur standardisasi kemasan rokok konvensional dan elektronik.

Mudahnya, melalui peraturan ini, seluruh kemasan rokok konvensional dan elektronik yang dijual di pasaran bakal memiliki bentuk, ukuran, desain, dan warna seragam.

Serikat pekerja khawatir kebijakan ini, plus sejumlah pembatasan lain, akan membuat penjualan dan produksi rokok menurun sehingga muncul risiko pemecatan.

Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) menyebut kebijakan ini melanggar hak merek pengusaha dan hak konsumen, serta bakal memicu maraknya peredaran rokok ilegal.

Kementerian Perindustrian, Perdagangan, dan Keuangan masing-masing pun telah menyuarakan kegelisahannya, termasuk soal dampak negatif ke industri dalam negeri dan perdagangan internasional, serta tantangan dari sisi pengawasan di lapangan.

Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan penyeragaman kemasan rokok bisa menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp182,2 triliun.

Namun, sebuah riset yang didukung Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) pada 2019 menunjukkan biaya kesehatan dan hilangnya produktivitas akibat penyakit terkait rokok menghasilkan beban ekonomi senilai Rp184,36 triliun hingga Rp410,76 triliun.

Rofiqoh Nur Ashriany telah jadi perokok aktif sejak 2013, ketika ia berusia 19 tahun.

Saat itu, ia sedang kuliah komunikasi semester kedua. Tugas-tugas mulai menumpuk, sehingga ia jadi rajin bergadang untuk mengejar tenggat pengumpulan. Agar tetap terjaga, ia lantas berkawan dengan rokok dan kopi.

Awalnya, Rofiqoh bisa menghabiskan sebungkus keretek dengan merek berembel-embel “mild” dalam tiga hari. Tak butuh waktu lama sebelum ia kecanduan. Seingatnya, saat kuliah semester ketiga, konsumsi rokoknya telah mencapai dua bungkus per hari.

“Pokoknya pas tangan enggak tahu mau ngapain, ya udah, jadinya ngerokok,” katanya.

Rofiqoh paling banyak merokok saat “nongkrong” dan “nugas”.

Paling parah saat ia mengerjakan skripsi. Tiga hari jelang tenggat, ia mengaku tidak tidur dan hanya berkutat dengan laptop sambil merokok.

“Waktu itu, sehari bisa lima bungkus,” ujar Rofiqoh.

Sejak lulus kuliah dan mulai bekerja, frekuensi merokoknya memang berkurang jadi “hanya” sebungkus sehari. Namun, itu karena Rofiqoh hanya bisa merokok di jam istirahat dan setelah pulang kantor.

Pengecualian ada saat awal pandemi Covid-19, ketika ia bekerja jarak jauh dari rumah. Saat itu, ia kembali ke mode dua bungkus sehari.

Rofiqoh paham betul merokok tidak baik untuk kesehatan. Namun, ia telanjur kecanduan dan merasa rokok sudah jadi “kebutuhan”.

Apalagi, sekalinya ketemu satu merek rokok yang pas, susah baginya untuk berhenti atau sekadar pindah ke lain hati.

Sejak 2016 atau 2017, Rofiqoh mulai mengonsumsi satu merek keretek tertentu, juga dengan embel-embel “mild”. Dan, hingga kini, ia tak pernah berpaling lagi.

“Perokok tuh begitu, loyal sama satu produk,” katanya.

Karena itu, saat mendengar rencana pemerintah menyeragamkan bentuk dan desain kemasan rokok untuk menekan jumlah perokok di Indonesia, Rofiqoh sontak berkata, “Enggak ngaruh.”

“Enggak akan ada perubahan menurut gue,” kata Rofiqoh.

“Ini tuh masih Indonesia. Maksudnya, kesadaran orang buat tidak merokok itu masih kecil.”
Bagaimana detail rencana kebijakannya?

Kementerian Kesehatan kini sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik.

Ia adalah turunan dari Peraturan Pemerintah No. 28/2024 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 17/2023 tentang kesehatan.

RPMK ini utamanya bakal mengatur standardisasi kemasan rokok konvensional dan elektronik, termasuk dalam hal bentuk dan desain, penggunaan gambar dan tulisan, serta larangan pencantuman informasi menyesatkan di kemasan.

“Kemasan produk tembakau dilarang menambahkan gambar dan atau tulisan dalam bentuk apa pun selain yang ditetapkan dalam peraturan menteri ini,” begitu bunyi salah satu ayat di RPMK tersebut, yang bisa ditemukan di situs Kementerian Kesehatan.

Mudahnya, bila peraturan ini terbit, seluruh kemasan rokok konvensional dan elektronik yang dijual di pasaran bakal memiliki bentuk, ukuran, desain, dan warna seragam.

Walhasil, yang membedakan satu produk dengan produk lainnya hanya nama merek rokok dan produsen serta kode produksinya, yang juga mesti dicantumkan dengan bentuk dan ukuran huruf seragam.

Dengan begitu, perusahaan rokok tidak lagi bisa menggunakan identitas mereknya yang khas di kemasan seperti logo, warna, dan juga tipografi.

Yang bakal ditonjolkan di kemasan adalah peringatan kesehatan dengan “gambar seram”, yang wajib berukuran 50% dari luas permukaan kemasan rokok konvensional dan elektronik.

Ketentuan ukuran 50% ini telah diatur dalam PP No. 28/2024 yang terbit Juli lalu.

Sebelum PP itu terbit, pemerintah hanya mewajibkan produsen rokok konvensional untuk menggunakan peringatan kesehatan bergambar, dengan ukuran 40% dari luas permukaan kemasan.

Keputusan memperbesar ukuran peringatan kesehatan bergambar di kemasan rokok diambil setelah membandingkan penerapan kebijakan serupa di negara-negara lain, utamanya yang tergabung di ASEAN dan G20, kata Benget Saragih, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau di Kementerian Kesehatan.

Vietnam dan Filipina, misalnya, kini mewajibkan “gambar seram” berukuran 50% dari kemasan rokok. Sementara itu Singapura, Thailand, India, Australia, dan Kanada mewajibkan ukuran 75% atau lebih.

“[Peringatan kesehatan bergambar] dievaluasi dan dapat dilakukan perubahan paling lambat 24 bulan sekali,” seperti tertulis di RPMK tentang pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik.

Produsen rokok konvensional dan elektronik pun disebut wajib mencantumkan sejumlah informasi di kemasan, termasuk bahwa produk terkait mengandung nikotin yang “sangat adiktif” serta ia tidak boleh dijual kepada orang berusia di bawah 21 tahun dan perempuan hamil.

Spesifik untuk rokok konvensional, akan ada pula pernyataan “tidak ada batas aman” dalam mengonsumsinya dan bahwa ia “mengandung 7000+ zat kimia berbahaya serta 83+ zat penyebab kanker”.

Di luar itu, RPMK ini melarang penggunaan keterangan atau kata-kata yang “menyesatkan”, termasuk yang menciptakan kesan keliru bahwa produk rokok tertentu memberi manfaat untuk kesehatan.

“Pada setiap kemasan produk tembakau dan rokok elektronik dilarang mencantumkan kata ‘light’, ‘ultra light’, ‘mild’, ‘extra mild’, ‘low tar’, ‘slim’, ‘special’, ‘full flavor’, ‘premium’, atau kata lain yang mengindikasikan kualitas, superioritas, rasa aman, pencitraan, kepribadian, atau kata-kata dengan arti yang sama,” seperti tertulis di RPMK itu.

Beladenta Amalia, peneliti sekaligus project lead untuk pengendalian tembakau di Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), mengatakan kemasan rokok memang kerap menyesatkan konsumen, entah melalui penggunaan kata-kata atau gambar tertentu.

Sejumlah produk rokok, misalnya, dipromosikan memiliki cita rasa buah tertentu seperti mangga dan nanas, dan bahkan menampilkan gambar buah terkait di kemasannya.

“Jadinya misleading,” kata Beladenta.

“Kita tidak ingin konsumen berpikir bahwa ada merek rokok yang lebih aman, lebih sehat, lebih enak, atau lebih menarik, terutama bagi kalangan muda.”

Rencana standardisasi kemasan rokok yang diatur dalam RPMK ini melengkapi sejumlah pengetatan terkait penjualan rokok yang sebelumnya tertuang dalam PP No. 28/2024.

PP tersebut melarang penjualan rokok secara eceran, kecuali untuk cerutu dan rokok elektronik.

Penjual rokok konvensional dan elektronik pun tidak boleh menempatkan produknya “pada area sekitar pintu masuk dan keluar atau pada tempat yang sering dilalui”, serta dilarang berjualan dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak.

Lebih lanjut, rokok konvensional dan elektronik tidak boleh dijual di situs web, aplikasi elektronik komersial, dan media sosial.

Namun, larangan untuk situs web dan aplikasi “dikecualikan jika terdapat verifikasi umur”.

Seperti tertulis di PP dan RPMK, segala kebijakan “pengamanan” terkait rokok tersebut bertujuan menurunkan prevalensi perokok, mencegah bertambahnya perokok pemula, serta menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat merokok.

Merujuk data Global Adult Tobacco Survey (GATS), jumlah orang dewasa Indonesia yang mengonsumsi tembakau—utamanya dengan merokok—meningkat dari 61,4 juta orang pada 2011 menjadi 70,2 juta pada 2021.

Temuan ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga di dunia setelah India dan China.

Sementara itu, hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) yang dijalankan Kementerian Kesehatan menunjukkan ada sekitar 70 juta perokok aktif di Indonesia per 2023.

Perokok aktif terbanyak disebut berasal dari kelompok usia 15-19 tahun dengan proporsi 56,5%. Sementara itu, yang kedua terbesar adalah kelompok usia 10-14 tahun dengan persentase 18,4%.

Siti Nadia Tarmizi, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, menekankan ada kenaikan jumlah perokok anak baru dalam beberapa tahun terakhir.

Di kelompok usia 13-15 tahun, prevalensinya meningkat dari 18,3% pada 2016 menjadi 19,2% pada 2019, merujuk data terakhir Global Youth Tobacco Survey (GYTS).

Tak hanya rokok konvensional, rokok elektronik pun belakangan disebut berhasil membuat anak-anak dan remaja kecanduan.

Data GATS menunjukkan prevalensi pengguna rokok elektronik naik 10 kali lipat dari 0,3% pada 2019 menjadi 3% pada 2021.

Karena itu, kata Siti, pemerintah berusaha menerapkan kebijakan yang tepat untuk mencegah bertambahnya jumlah perokok konvensional dan elektronik, terutama dari kelompok anak-anak dan remaja.

“Jadi kita tidak menghalangi orang dewasa merokok, tapi merokok diatur tempatnya dan juga dilakukan standardisasi [kemasan],” kata Siti pada BBC News Indonesia, Rabu (25/09).

“Yang kita cegah adalah bertambahnya perokok pada anak-anak dan remaja.”

Jessica Suhandra dan Amanda Kusumo adalah dua ibu dengan pendekatan berbeda dalam membesarkan anak masing-masing.

Jessica, 32 tahun, adalah ibu beranak dua di Tangerang. Anak sulungnya laki-laki, kini berusia lima tahun. Anak keduanya perempuan, baru berumur tiga bulan.

Sebisa mungkin, Jessica berusaha mencegah anak-anaknya terpapar asap rokok di ruang publik.

Di toko listrik yang dikelolanya bersama suami, bila ada kenalan yang berkunjung lalu mengobrol sambil merokok, si tamu pun bakal diminta menjauh agar anaknya tak jadi perokok pasif.

“Jangan sampai konyol, anak kita terpapar tapi bukan dari orang tuanya. Padahal, orang tuanya enggak merokok,” kata Jessica.

Sejak dini, anak laki-lakinya pun telah diberi wejangan bahwa rokok dapat merusak paru-paru dan membawa segudang penyakit.

Dengan begitu, harapannya si anak tidak akan mudah terpengaruh lingkungan atau terbawa rasa penasaran untuk merokok saat beranjak remaja dan dewasa nantinya.

“Minimal kita kasih bekal dulu, dengan harapan saat udah gede dia akan bawa bekal itu,” kata Jessica.

Di sisi lain ada Amanda, perempuan berusia 41 tahun dan pekerja swasta di Jakarta Selatan yang juga beranak dua. Anak sulungnya laki-laki, kini berusia 16 tahun dan belum lama masuk SMA. Anak keduanya perempuan, baru berumur empat bulan.

Amanda sendiri adalah perokok. Sebelum kelahiran anak keduanya, ia biasa merokok di rumah sehingga anak sulungnya pun sudah hafal kebiasaan sang ibu.

Saat anaknya mau masuk SMA, Amanda mengajaknya bicara empat mata.

Amanda paham betul masa SMA adalah saat yang krusial. Anaknya telah remaja dan mungkin akan terdorong mencoba berbagai hal karena penasaran, salah satunya merokok. Karena itu, ia coba memberikan wejangan.

“Kalau mau merokok, mendingan merokok di rumah di depan mami. Enggak apa-apa, daripada merokok di luar dengan pakai seragam sekolah,” kata Amanda pada anaknya.

Ke depannya, bila si anak telah dewasa dan bisa mencari uang sendiri, Amanda pun cenderung menyerahkan kepada anaknya bila ingin merokok atau tidak.

Baginya, itu adalah pilihan pribadi. Bila anaknya memilih jadi perokok, tidak apa, tapi tanggung risikonya sendiri, kata Amanda.

Meski memiliki pendekatan berbeda dalam membesarkan anak, Jessica dan Amanda sepakat soal satu hal.

Saat ditanya soal rencana pemerintah menerapkan standardisasi kemasan rokok untuk menekan jumlah perokok, mereka sama-sama menjawab: “Enggak ngaruh.”

Keduanya pun merasa “gambar seram” di kemasan rokok tak akan berdampak banyak.

“Ditakuti dengan gambar, menurut saya enggak ngaruh,” kata Jessica.

“Apalagi, remaja kan udah punya pemikiran sendiri.”

“Saya perokok. Saya melihat kemasan kayak gitu juga mikirnya, ‘Ah, cuma gambar,’” kata Amanda.

Soal kebijakan lainnya, seperti larangan menjual rokok eceran dan berdagang rokok 200 meter dari sekolah, Jessica dan Amanda merasa itu aturan yang baik, tapi mereka sama-sama meragukan penerapan, pengawasan, dan penindakannya di lapangan.

Dan, lagi-lagi, keduanya sepakat bahwa cara paling efektif untuk menurunkan jumlah perokok dan mencegah munculnya perokok anak-anak dan remaja adalah menaikkan secara signifikan harga rokok.

“Misalnya tadinya sebungkus Rp35.000, sekarang jadi Rp99.000. Nah, itu kan orang mikir-mikir juga ya, apalagi yang duitnya pas-pasan,” kata Jessica.

“Kayak di Singapura, satu bungkus rokok aja Rp150.000. Buat saya, uang Rp150.000 mending buat beli popok anak,” kata Amanda.

Inco Hary Perdana, dosen periklanan di Universitas Multimedia Nusantara, menilai penyeragaman kemasan rokok tidak akan berdampak pada para perokok lama yang memang telah loyal dengan merek favoritnya masing-masing.

Namun, menurutnya kebijakan ini bisa jadi berpengaruh bagi mereka yang baru mau mencoba merokok atau para perokok pemula.

Inco bilang, saat rokok kehilangan identitas mereknya seperti logo, warna, dan tipografi, ia seakan jadi komoditas massal seperti beras atau gula di warung-warung yang dijual tanpa pembeda.

Imbasnya, mereka yang baru mau mencoba merokok disebut bakal kebingungan menentukan pilihan. Mereka tak tahu rasa produk mana yang cocok bagi mereka, dan tak ada identitas merek yang bisa membantu mengerucutkan pilihan.

“Jadi artinya sebenarnya nanti perangnya itu tidak lagi dengan brand quality, brand equity. Perangnya itu perang harga,” kata Inco, seraya menambahkan wajar bila produsen rokok "ngamuk" karena mereka telah puluhan tahun membangun identitas merek produknya.

Beladenta Amalia, peneliti sekaligus project lead untuk pengendalian tembakau di CISDI, mengatakan kebijakan penyeragaman kemasan rokok memang bisa jadi lebih banyak berdampak pada perokok pemula.

Karena itu, agar pengendalian tembakau dapat berjalan efektif, ia bilang kebijakan penyeragaman kemasan rokok “tidak bisa berdiri sendiri”.

Kebijakan ini disebut mesti berjalan beriringan dengan kebijakan lainnya, termasuk larangan penjualan rokok eceran, larangan berdagang 200 meter dari sekolah, serta kenaikan cukai dan harga jual rokok di pasaran.

Sejumlah studi yang dilakukan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menunjukkan faktor harga sangat berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk merokok.

Hasil studi pada 2020, misalnya, menjelaskan bahwa semakin mahal harga rokok, semakin kecil peluang anak untuk merokok.

Dari sana, PKJS UI, CISDI, dan Komite Nasional Pengendalian Tembakau mempertanyakan keputusan pemerintah yang membatalkan kenaikan cukai rokok untuk 2025.

“Salah satu sasaran utama kebijakan cukai rokok ini adalah mengurangi akses generasi muda dan masyarakat prasejahtera terhadap rokok,” kata Beladenta.

“Tanpa kenaikan tarif cukai yang signifikan, kelompok rentan, termasuk generasi muda, akan semakin mudah mengakses produk ini dan memperburuk krisis kesehatan masyarakat yang ada.”

Tak lama setelah Kementerian Kesehatan mengadakan sesi dengar pendapat umum di awal September untuk RPMK yang mengatur standardisasi kemasan rokok, reaksi keras muncul dari berbagai pihak, termasuk serikat pekerja dan asosiasi produsen rokok, kementerian lain, dan juga ekonom.

Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) di Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), yang kini menaungi lebih dari 151.000 pekerja di industri rokok, dengan tegas menolak apa yang disebut sebagai “aturan-aturan ekstrem” dalam RPMK tersebut.

Dalam pernyataan tertulisnya yang disampaikan saat sesi dengar pendapat umum Kementerian Kesehatan, perwakilan FSP RTMM mengatakan RPMK tersebut “tidak mempertimbangkan kepentingan tenaga kerja”.

Dihubungi terpisah, Waljid Budi Lestarianto selaku ketua FSP RTMM Daerah Istimewa Yogyakarta mengatakan segala pembatasan pemerintah terhadap industri rokok bakal membawa efek domino yang ujung-ujungnya mengorbankan pekerja.

Ia bilang, saat penjualan rokok menurun, produksi pun turun sehingga muncul risiko PHK bagi para pekerja.

“Yang mengecewakan buat kami sebenarnya kan yang legal ini kok pengaturannya jadi luar biasa seperti ini, tapi kemudian yang ilegal justru terkesan kayak ada pembiaran. Jadi, penegakan hukumnya itu masih setengah-setengah,” kata Waljid.

“Maka kami khawatir justru nanti penurunan tingkat konsumsi merokok ini bukan karena orang berhenti merokok, tapi konsumsinya berganti kepada yang ilegal.”

Benny Wachjudi, ketua umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), pun mengatakan “tidak setuju sama sekali” dengan rencana standardisasi kemasan rokok.

Senada dengan Waljid, Benny bilang kebijakan ini akan memicu maraknya peredaran rokok ilegal.

“Sekarang saja rokok ilegal banyak yang kemasannya dimirip-miripkan dengan rokok yang legal, walaupun itu masih ada pembedanya yang jelas,” kata Benny pada BBC News Indonesia.

“Nanti kalau sudah seragam kan sudah enggak kelihatan lagi [bedanya]. Yang legal malah ya senang saja.”

Benny menegaskan, kebijakan ini tak hanya melanggar hak konsumen untuk memahami barang apa yang akan dibeli, tapi juga hak kekayaan intelektual yang dilindungi undang-undang, utamanya yang terkait merek.

Hak merek adalah hak eksklusif bagi pemilik merek terdaftar untuk menggunakan merek tersebut dalam perdagangan barang dan jasa.

Belum lagi, kata Benny, industri rokok adalah industri yang melibatkan jutaan pekerja dari hulu ke hilir dan telah menyumbang ratusan triliun rupiah tiap tahunnya ke kas negara dalam bentuk cukai.

Sepanjang 2023, cukai hasil tembakau yang diterima pemerintah menyentuh Rp213,48 triliun, turun 2,35% dibanding tahun sebelumnya.

“Jadi kita masih tergantung [dengan industri rokok],” kata Benny.

“Kalaupun mau diatur secara ketat, ya mungkin dengan gradual ya sehingga bisa lebih ada transisi yang cukup panjang.”

Merrijantij Punguan Pintaria, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, mengatakan penyeragaman kemasan rokok tak serta merta bisa menurunkan prevalensi perokok dan, justru, bisa memicu peredaran rokok ilegal.

Ia pun menekankan pentingnya mencari keseimbangan antara aspek kesehatan dan perekonomian masyarakat.

“Kami semua sepakat untuk menciptakan masyarakat yang sehat, tetapi kita juga harus mempertimbangkan keberadaan lebih dari 1.300 industri yang mempekerjakan sekitar 537.000 orang,” kata Merrijantij.

Angga Handian Putra, Negosiator Perdagangan Ahli Madya Kementerian Perdagangan, bilang kebijakan ini bisa memengaruhi perdagangan internasional dan mengganggu hak-hak pedagang.

Sementara itu Askolani, Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, mengatakan kebijakan ini bisa menyulitkan pengawasan karena sulit “membedakan rokok dan jenisnya”.

Tauhid Ahmad, ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), bahkan memperkirakan kebijakan penyeragaman kemasan rokok bisa menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp182,2 triliun.

“Dampak ekonominya dengan kemasan polos tentu saja ini bukan hanya bagi para industri rokok, tapi juga industri kemasan untuk kertas, kemudian tembakau, cengkeh, termasuk yang lain juga terdampak,” kata Tauhid dalam sebuah diskusi pada 23 September lalu.

Lebih lanjut, menurutnya konsumen akan terdorong untuk beralih ke produk rokok ilegal yang lebih murah.

Imbasnya, permintaan atas produk legal bisa turun 42,09% dan penerimaan negara bakal berkurang Rp95,6 triliun.

Siti Nadia Tarmizi, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, menepis kekhawatiran soal maraknya rokok ilegal akibat penerapan standardisasi kemasan.

Ia memberi contoh Australia, yang menerapkan kebijakan serupa sejak Desember 2012.

“Tidak ada peningkatan rokok ilegal di Australia. Bukti dengan jelas menunjukkan bahwa konsumsi rokok ‘putih murah’ ilegal secara konsisten tetap kecil atau bahkan menurun setelah penerapan kemasan standar,” kata Siti pada BBC News Indonesia.

“Dan, ini kan kalau ilegal adalah ranah penegak hukum ya.”

Sementara itu Beladenta Amalia, peneliti sekaligus project lead untuk pengendalian tembakau di CISDI, bilang orang-orang kerap “salah kaprah” saat mendiskusikan kebijakan pembatasan terhadap industri rokok, utamanya dengan membenturkan aspek kesehatan dan ekonomi.

“Semestinya ekonomi dan kesehatan itu tidak dibenturkan karena keduanya tidak berseberangan, tapi justru saling dukung,” ujarnya.

“Kesehatan adalah investasi ekonomi jangka panjang untuk memastikan produktivitas manusia tetap tinggi dan bisa menjalankan roda ekonomi. Juga, ekonomi penting bagi kesehatan karena jika masyarakat miskin, tentu sulit untuk mencapai status kesehatan yang baik.”

Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada 2021 menemukan bahwa rumah tangga perokok di Indonesia umumnya mengalokasikan 11% dari pengeluaran bulanannya untuk rokok dan produk tembakau lain.

Proporsi tersebut lebih besar dibanding alokasi belanja beras sebesar 9,7% atau daging sebesar 6,5%.

Padahal, menurut berbagai penelitian, kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko timbulnya sejumlah penyakit kronis, termasuk kanker serta gangguan paru-paru dan kardiovaskular.

Sebuah riset yang didukung CISDI pada 2019 menunjukkan biaya kesehatan dan hilangnya produktivitas akibat penyakit terkait rokok menghasilkan beban ekonomi senilai Rp184,36 triliun hingga Rp410,76 triliun.

Angka ini lebih besar dibanding temuan INDEF soal dampak ekonomi dari penerapan kebijakan standardisasi kemasan rokok, yang disebut bisa menyentuh Rp182,2 triliun.

“Jadi, lagi-lagi, menurut kami kalau masyarakat sehat, produktif, roda ekonomi akan berjalan, kualitas SDM kita juga akan semakin baik," kata Beladenta.
‘Jangan mulai merokok’

Meski berstatus perokok berat, Rofiqoh Nur Ashriany mengatakan kesehatannya kini relatif terjaga.

Sesekali ia mengalami radang tenggorokan, terutama saat kurang beristirahat dan tubuhnya tidak fit.

Ia pun mudah megap-megap saat berolahraga atau sekadar naik tangga.

Di luar itu, Rofiqoh merasa baik-baik saja.

Namun, itu tak berarti ia menafikan dampak buruk yang bisa dibawa rokok pada tubuhnya.

“Gue tahu itu enggak bagus, tapi ya mau gimana? Itu udah jadi adiksi, udah jadi kebutuhan,” kata Rofiqoh, yang menyisihkan lebih dari Rp1 juta sebulan untuk membeli rokok.

“Gue memilih kayak gini. Ya udah. Gue tahu risikonya.”

Baginya, merokok adalah pilihan pribadi. Karena itu, ia pun tak pernah mengajak orang lain jadi perokok seperti dirinya.

Bahkan, bila seseorang bilang ingin mencoba merokok, Rofiqoh akan menyarankan sebaliknya.

“Gue akan bilang, ‘Jangan.’”

“Gue bakal ngomong gitu, sambil ngerokok di depan dia". (*)

Tags : kemasan rokok, pemerintah seragamkan kemasan rokok, bisnis, merokok, masyarakat, gaya hidup, kesehatan,