JAKARTA - Pemerintah Indonesia sedang mendiskusikan untuk menempatkan ratusan pengungsi Rohingya di lokasi khusus menyusul adanya suara "penolakan dari sejumlah masyarakat Aceh" yang mengaku terganggu dengan keberadaan mereka.
Baru-baru ini, ada dua kapal yang mengangkut 231 warga Rohingya terdampar di Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie.
Perwakilan UNHCR di Indonesia mengatakan pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah Indonesia soal penentuan lokasi khusus itu, namun yang ingin ditekankan adalah pengungsi juga memiliki hak asasi manusia dan selayaknya bisa saling menolong.
Ratusan orang Rohingya kembali terdampar di Aceh dalam dua hari berturut-turut.
Rombongan pertama tiba di Pesisir Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, pada Minggu 25 Desember 2022. Kapal yang mengangkut 57 pengungsi Rohingya itu diduga bocor dan rusak lalu terbawa angin ke perairan Aceh.
Keesokan harinya atau Senin 26 Desember 2022, sebuah kapal yang berisi setidaknya 174 orang sampai di pesisir Desa Ujung Pie, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie.
Sekretaris Daerah Kabupaten Pidie, Idhami, berkata saat mengetahui ketibaan para pengungsi ini pihaknya langsung berkoordinasi dengan bupati dan kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Sesuai arahan kepala daerah, para pengungsi ditempatkan sementara di gedung sekolah SMP Negeri 2 Muara Tiga.
"Belum bisa dipastikan berapa lama di sini karena minggu depan sudah dipakai untuk kegiatan belajar anak-anak. Tapi sementara ditampung di sini, nanti akan koordinasi dengan UNHCR dan BPBD," ujar Idhami seperti dirilis BBC News Indonesia, Selasa (27/12).
Dari hasil pemeriksaan petugas kesehatan puskesmas, ada 34 orang yang sakit. Ketika ditemukan, mereka dalam kondisi lemah.
Untuk urusan kebutuhan pokok seperti makanan, Idhami berkata pihaknya sudah mendirikan dapur umum sementara. Adapun pakaian dan alas tidur disiapkan oleh dinas sosial setempat.
Seorang pengungsi Rohingya berusia 14 tahun, Umar Faruq, menuturkan kapal yang mereka tumpangi berangkat dari Bangladesh. Mereka mengarungi lautan sekitar satu bulan lebih.
Somusa Khatu, pengungsi Rohingya berusia 23 tahun, juga mengatakan berada di lautan lepas selama 42 hari.
Di tengah perjalanan, mesin kapal rusak. Selama 10 hari mereka tidak makanan karena tidak lagi tersedia persediaan.
"Di kapal ada 26 orang meninggal, tujuh di antaranya perempuan," ujar Somusa Khatu, Selasa (27/12).
Baik Umar Faruq dan Somusa Khatu berkata kehidupan mereka di negara asal yaitu Myanmar porak poranda. Rumah habis dibakar, sehingga mereka kabur ke Bangladesh dan ditempatkan di kamp pengungsian.
"Kami harap pemerintah Indonesia akan memberikan akses pendidikan, karena saya ingin mencapai pendidikan yang lebih tinggi," ucap Umar Faruq.
Belum diketahui jelas ke mana negara tujuan mereka, tapi Malaysia telah menjadi tujuan umum bagi para pengungsi yang tiba dengan perahu. Pasalnya beberapa kali pengungsi Rohingya mencoba kabur untuk bisa ke sana.
Pada Senin (26/12) lalu misalnya, sebanyak 28 pengungsi Rohingya gagal berangkat ke Malaysia setelah tertangkap oleh Satuan Polisi Air Polres Tanjungbalai dari wilayah perairan Asahan, Sumatera Utara.
Seluruh pengungsi itu merupakan kelompok yang dilaporkan kabur dari tempat penampungan di Lhokseumawe, Aceh. Rencananya mereka akan berangkat dengan kapal nelayan untuk ditarik ke daerah perairan Malaysia.
Catatan lembaga PBB untuk urusan pengungsi atau UNHCR, hingga September 2021 jumlah pengungsi dari Myanmar yang mayoritas etnis Rohingya di Indonesia mencapai 707 orang.
Tapi sejumlah warga Aceh mengaku terganggu dengan kehadiran mereka. Beni Murdani yang tinggal di Lhokseumawe mengatakan, mereka resah karena beberapa kali para pengungsi membuat ulah.
"Karena mereka menganggp mereka dapat musibah, jadi bisa seenaknya. Seolah-olah ini tempat mereka. Contoh, mereka mencuri kelapa warga tanpa meminta," tutur Beni.
Persoalan lain, pernah ada seorang perempuan setempat "yang dilecehkan oleh pengungsi Rohingya".
Kemudian dalam beberapa kasus pengungsi ketahuan kabur, warga setempat dituduh ikut terlibat dalam aksi pelarian tersebut.
"Ketika ada yang kabur, yang celaka masyarakat Aceh dibilang ada masyarakat Aceh yang mencoba membawa lari atau dalang mereka kabur, kan aneh," klaimnya.
"Kehadiran mereka membawa kecemasan bagi kami," sambungnya.
Itu mengapa dia menuntut pemerintah agar menempatkan para pengungsi di luar Aceh.
"Di Aceh ada yang masih ketat Islamnya, hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam jelas tidak boleh. Mereka datang disatukan laki-laki dan perempuan, itu kan bertentangan dengan syariat Islam di Aceh."
Asisten Deputi Koordinasi Penanganan Kejahatan Transnasional dan Kejahatan Luar Biasa di Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Bambang Pristiwanto, mengatakan pemerintah memahami kegusaran sejumlah masyarakat Aceh yang keberatan dengan keberadaan pengungsi Rohingya.
Karena itulah pemerintah, klaimnya, sedang mendiskusikan dan berkoordinasi dengan UNHCR maupun organisasi IOM untuk menempatkan pengungsi Rohingya di lokasi khusus.
"Sedang dipikirkan, dikomunikasikan, dikoordinasikan dan ditindaklanjuti pemerintah Indonesia dan IOM-UNHCR," kata Bambang Pristiwanto.
Sementara itu perwakilan dari UNHCR, Muhammad Rafqi, menuturkan soal penentuan lokasi pihaknya menyerahkan keputusan kepada pemerintah Indonesia.
"Untuk penempatan pengungsi Rohingya ke depan, kami akan komunikasikan dengan pemda dan menghormati pemerintah pusat sesuai Perpres 125 tahun 2016," imbuh Rafqi.
"Di manapun ditempatkan baik di Aceh atau di luar Aceh, UNHCR siap membantu pemerintah."
Sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi 1951) dan Protocol Relating to the Status of Refugees (Protokol 1967), sehingga Indonesia sesungguhnya tidak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi yang masuk.
Walakin, Indonesia bersedia menjadi negara yang menampung sementara para pengungsi luar negeri dengan alasan kemanusiaan. (*)
Tags : Pengungsi Rohingya, Pemerintah Siapkan Lokasi Khusus Pengungsi, Pengungsi dan pencari suaka, Myanmar,