"Pemerintah keluarkan kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat [Tapera] melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024."
Kebijakan iuran Tabungan Perumahan Rakyat [Tapera] "tidak masuk akal" untuk menyediakan hunian rakyat yang terjangkau selama pemerintah tidak melakukan intervensi apapun terhadap penguasaan tanah, harga tanah, dan pengembangan kawasan baru.
"Kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat [Tapera] yang ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 jadi simpang siur."
"Kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2024 itu mewajibkan pekerja untuk menjadi peserta Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat [BP Tapera]. Konsekuensinya, pekerja dengan gaji di atas UMR akan dipungut iuran sebanyak 3% dari gaji," kata H. Darmawi Wardhana ZalikAris SE Ak, Koordinator Indonesian Corruption Investigation [ICI] menilai melalui siaran pers nya, tadi Minggu (2/6/2024) ini.
Menurutnya, kebijakan iuran Tapera harus dibatalkan sebab niatnya hanya demi mengutip uang rakyat yang rentan diselewengkan seperti pada program jaminan sosial di Asabri, Jiwasraya, serta Taspen.
Akan tetapi Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, mengatakan program iuran Tapera tidak akan ditunda dan akan tetap berjalan pada tahun 2027.
Komisioner Badan Pengelola [BP] Tapera, Heru Pudyo Nugroho, mengeklaim Tapera penting diimplementasikan untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog yang dilaporkan mencapai 9,95 juta anggota keluarga.
Tapera dikritik warganet
Kehadiran kebijakan teranyar pemerintah yakni Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat menuai polemik.
Di media sosial X, warganet menyebut kebijakan ini hanya memberatkan pekerja karena lagi-lagi gaji mereka harus dipotong sebesar 2,5%-3% di luar pajak penghasilan.
"Bayangin aja, ada karyawan gajinya Rp10 juta, lalu dipotong pajak penghasilan atau biasa disebut dengan PPh 21sebesar 2%, BPJS kesehatan 1%, BPJS Ketenagakerjaan 2%, jaminan hari tua 1%, terus bakal nambah Tapera 2,5%," sebut akun @ribkadel.
"Belum apa-apa sudah kepotong 8,5% alias Rp850.000 ditambah anggaplah Rp500.000 sebagai potongan PPN belanja kalian. Tiap bulan sudah kerja sampai nangis, ehhh hilang gitu aja," sambungnya.
Mantan Menkopolhukam Mahfud MD juga ikut berkomentar. Dia bilang, pemerintah perlu betul-betul mempertimbangkan suara publik terkait Tapera.
"Kalau tidak ada jaminan akan mendapat rumah dari pemerintah bagi penabung, maka hitungan matematisnya memang tidak masuk akal," ucap Mahfud MD.
Kesan Tapera tidak rasional pun, diutarakan selebritas @solehsolihun yang menyebut bahwa perlu waktu 100 tahun bagi pekerja bergaji Rp10 juta untuk mendapatkan rumah.
"Kalau gaji Rp10 juta per bulan, dipotong Tapera 3%, maka setahun terkumpul Rp3,6 juta. Jadinya 100 tahun menabung akhirnya bisa deh dapat rumah yang harganya Rp360 juta. Ngitungnya gitu gak sih?"
Komika @kikysaputrii bahkan menyebut Tapera sebagai tabungan penderitaan rakyat.
Apa alasan pemerintah membuat Tapera?
Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, menjelaskan program iuran Tapera ditujukan untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog yang dilaporkan mencapai 9,95 juta anggota keluarga.
Sementara kemampuan pemerintah untuk menyediakan rumah, klaimnya, sangat terbatas. Oleh karena itu, implementasi Tapera dinilai menjad salah satu jalan yang mampu mengatasi persoalan tersebut.
"Pertumbuhan demand [permintaan] tiap tahun 700.000 sampai 800.000 keluarga baru yang tidak punya rumah. Jadi kalau mengandalkan pemerintah saja tak akan terkejar backlog-nya," ujar Budi dalam konferensi pers di Kantor Staf Kepresidenan Jakarta, Jumat (31/05).
"Makanya perlu ada grand design yang melibatkan masyarakat bersama pemerintah, bareng. Konsepnya bukan iuran, [tetapi] menabung," sambungnya.
Dia menambahkan pekerja yang sudah punya rumah maka sebagian tabungannya digunakan untuk mensubsidi KPR yang belum memiliki rumah.
Itu dilakukan agar bunga kreditnya tetap lebih rendah dari KPR komersial yang saat ini mencapai 5%.
"Jadi kenapa harus ikut menabung? Ya prinsipnya gotong royong di UU-nya itu [UU nomor 4 tahun 2016]."
Siapa yang menjadi peserta Tapera?
BP Tapera menyatakan tidak semua pekerja di Indonesia wajib menjadi peserta Tapera.
Budi Pudyo Nugroho mengatakan, dalam UU nomor 4 tahun 2016 dijelaskan hanya pekerja dengan gaji di atas upah minimum saja yang masuk menjadi peserta.
Dengan menjadi peserta Tapera, pekerja mandiri akan dikenakan iuran wajib sebesar 3% dari gajinya setiap bulan dan 2,5% bagi pekerja swasta, ASN, TNI/Polri, BUMN.
Adapun bagi pekerja yang gajinya di bawah upah minimum, tidak wajib.
Apa dan siapa penerima manfaat Tapera?
Merujuk pada Pasal 37 Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2020 tentang penyelenggaraan tabungan perumahan rakyat disebutkan manfaat dana Tapera bisa digunakan untuk pembiayaan:
Akan tetapi, manfaat dari Tapera hanya bisa dirasakan oleh:
Dalam aturan juga tertulis MBR adalah mereka yang bergaji maksimum Rp8 juta per bulan dan Rp10 juta per bulan khusus wilayah Papua dan Papua Barat.
Adapun bagi pekerja non-MBR dan tetap menjadi peserta namun tidak mendapatkan fasilitas KPR, KBR, dan KRR berhak atas pengembalian pokok tabungan beserta hasil pemupukannya.
Apakah program Tapera rasional?
Pengamat perumahan dari Institut Teknologi Bandung [ITB], Jehansyah Siregar, menyebut program Tapera sesungguhnya tidak masuk akal untuk menyediakan hunian rakyat yang terjangkau.
Pertama, merujuk pada besaran potongan yang diwajibkan pemerintah sebesar 2,5% hingga 3% maka mustahil bisa membeli rumah dengan harga pasaran.
Kalaupun ada, kata Jehansyah, lokasi rumahnya "tidak terjangkau" alias jauh dari kota.
"Secara rasional enggak logis dengan nilai potongan kecil, bisa memiliki rumah," ucap Jehansyah.
"Rumah KPR subsidi yang harga rumahnya Rp180 juta hanya bisa di atas tanah tidak lebih dari Rp250.000 per meter."
"Di Ciseeng [Bogor] saja enggak dapat harga segitu. Jadi saya rasa lokasi rumah Tapera ini bakal makin jauh. Di Tangerang, bisa-bisa ke Serang atau Cilegon nanti, kan itu bukan solusi untuk rumah terjangkau."
Kedua, karena pemerintah hanya mengumbar skema pembiayaan rumah tanpa melakukan intervensi apapun atas penguasaan tanah, harga, dan pengembangan kawasan baru.
Di banyak negara, ungkapnya, langkah pertama yang dilakukan pemerintah untuk membuat hunian terjangkau bagi warga harus menciptakan produksinya terlebih dahulu.
Caranya bisa dengan membeli tanah-tanah terlantar dengan harga murah, kemudian menyusun tata ruang, termasuk huniannya.
Jika sudah punya rancangan, langkah selanjutnya memperkuat pengembang publik seperti Perumnas di tiap-tiap daerah. Baru terakhir memikirkan pembiayaan yang tepat.
"Jangan jadi tukang kutip uang aja pemerintah. Bicara perumahan, pinggirkan dulu kutip mengutip uang, housing dulu baru finance."
"Contoh di Soreang [Bandung], ada lahan 300 hektare tapi tidak ada satu pun proyek [hunian] pemerintah. Semua dikerjakan pengembang swasta, padahal jalan tolnya dibangun pemerintah."
"Selain itu harus jelas juga Tapera ini punya pengalaman tidak dari sisi pembangunan rumah dan pengembangan kawasan atau kota baru. Ini kan nol besar semua, tiba-tiba bicara tabungan."
Ketiga, kalaupun pemerintah berniat untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog di Jakarta – jalan keluar yang seharusnya dilakukan adalah membangun hunian terjangkau berupa hunian Transit Oriented Development [TOD] seperti apartemen sewa murah yang dekat dengan transportasi publik.
Namun, kata Jehansyah, hunian TOD di kota besar seperti Jakarta mayoritas dikuasai oleh pengembang swasta, bukan pemerintah.
"Untuk kota metropolitan, mengatasi backlog dan permukiman kumuh di tengah kurangnya ruang terbuka hijau harus membangun rusunawa rasa apartemen minimal kayak Rusunawa Jatinegara Barat, itu harus diperbanyak."
"Ini kan enggak ada hunian TOD yang sewa murah."
Menurut Jehansyah, pembiayaan Tapera yang mengutip uang dari masyarakat atas nama 'gotong royong' bisa disebut sebagai penipuan.
Sebab bagaimanapun, katanya, kewajiban menyediakan rumah bagi warga menjadi tanggung jawab pemerintah bukan rakyat.
Kewajiban itu, sambung Jehansyah, tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 -di mana bumi dapat diartikan tanah yang sedianya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dia mencontohkan Singapura yang berhasil menyediakan perumahan untuk pekerjanya karena 80% proyek hunian di sana dikuasai oleh pemerintah setempat.
"Jadi enggak ada itu istilah gotong royong, karena kita sudah melakukan itu dengan membayar pajak."
"Kalau mengutip lagi, penipuan namanya. BPJS saja bisa kok membuat program rusunawa pekerja, tidak dikorup dan jauh lebih bagus."
Bagaimana respons pekerja?
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia [KSBSI], Elly Rosita SIlaban, mengatakan buruh dan pengusaha tidak dilibatkan dalam pembahasan Tapera.
Karenanya mereka menolak kebijakan tersebut. Pasalnya selain tidak dilibatkan, tidak ada satupun perwakilan buruh maupun pengusaha dalam kepengurusan Badan Pengelola [BP] Tapera.
Selain itu, penolakan juga didasarkan lantaran aturan Tapera tumpang tindih.
Program serupa juga telah ada di BPJS ketenagakerjaan dalam bentuk program Jaminan Hari Tua [JHT].
"Kalau pernah terlibat, pasti tidak sekeras ini atau meminta ada revisi atau menolak. Kami iuran sampai 58 tahun di mana rumahnya? Di mana lahannya? ujar Rosita dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (31/05) seperti dilansir Detik.com.
KSBSI, sambungnya, mempertimbangkan untuk melayangkan judicial review ke Mahkamah Agung jika tak kunjung direvisi.
Uji peraturan akan menyasar Pasal 7 yang berisi kewajiban melakukan iuran. Menurutnya, kalau Tapera menggunakan konsep tabungan maka harusnya bersifat sukarela, bukan dipaksakan.
Senada dengan KSBSI, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia [APINDO] Shinta Kamdani telah menyampaikan keberatan pada tahun 2016 lalu sebelum UU nomor 4 tahun 2021 disahkan.
"Kami sudah menyurati presiden, memberikan pandangan kami, masukan kami, namun sampai Peraturan Pemerintah [PP 21/2024] ini diterbitkan, belum ada tanggapan ya. Mungkin pemerintah punya sikap tersendiri kenapa harus jalan. Makanya kami pikir mungkin perlu klarifikasi," ujarnya.
Program tapera jadi polemik
Tetapi kembali seperti disebutkan Koordinator ICI, H. Darmawi Wardhana Zalik Aris yang mengritik Peraturan Pemerintah [PP] No 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat [Tapera] ini.
"Pemerintah mewajibkan pekerja swasta membayar iuran dari gaji atau upah mereka untuk Tapera."
"Pemerintah ingin menaikkan bunga SBN, tentu jadi beban hutang. Ketika swasta enggan investasi di SBN, badan pemerintah jadi solusinya. Salah satu pejabat BP Tapera adalah Menkeu yang punya kepentingan untuk penyerapan SBN," kata Dharmawi Wardhana sengit.
Sebagaimana diketahui, besaran simpanan peserta untuk peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5% dan pekerja sebesar 2,5%. Untuk pekerja mandiri, dana kelolaan akan diatur langsung oleh Badan Pengelola [BP] Tapera.
Jadi Darmawi Wardhana menilai tujuan pemerintah belum jelas jika ingin mengatasi masalah backlog rumah.
Ia justru melihat di balik kebijakan ini, ada maksud sebenarnya pemerintah ingin berinvestasi.
Pasalnya, kata dia lagi, salah satu beleid Tapera adalah dana yang dikumpulkan dari peserta akan dikelola ke dalam beberapa portofolio investasi, yaitu ke korporasi 47%, SBN sebanyak 45% dan sisanya deposito.
Maka, menurut Darmawi Wardhana, dengan komposisi SBN sebanyak 45% ini tentu akan memudahkan pemerintah untuk menerbitkan SBN karena bisa dibeli oleh badan pemerintah, termasuk BP Tapera melalui uang masyarakat.
"Di sisi lain dengan diberlakukannya kebijakan ini juga berdampak kepada ekonomi. Secara konsumsi masyarakat akan ada yang hilang karena karena ada bagian pendapatan yang disetorkan ke negara lewat Tapera sehingga mengurangi konsumsi masyarakat."
"Pada akhirnya konsumsi akan tertekan dan berpengaruh ke PDB. Pertumbuhan ekonomi akan terbatas. Jadi ada efek kontradiktif dari kebijakan Tapera ini terhadap ekonomi kita," lanjut Darmawi Wardhana.
Ia juga menilai kebijakan Tapera ini harus dikaji ulang. Apalagi ia menyoroti kata tabungan dalam Tapera seharusnya bersifat opsional alias tidak wajib.
"Harus dibahas dan dikaji secara mendalam. Tidak bisa tanggung rente untuk urusan perumahan, karena tidak semua karyawan dan pekerja yang membutuhkan perumahan," tandas Darmawi Wardhana.
Selain itu beleid Tapera yang menempatkan dana paling banyak di SBN adalah instrumen investasi yang nyaris minim risiko.
Menurut Darmawi Wardhana hal ini berdampak ke ekonomi melalui intermediasi belanja pemerintah. Karena masuk ke kantong pemerintah melalui instrumen surat utang dan sejenisnya, kemudian pemerintah akan membelanjakannya.
Ia menilai dampak jangka pendek ke negara jika dibelanjakan ke SBN maka negara mendapat uangnya untuk jangka pendek.
Sementara dalam jangka panjang, hal ini akan menambah utang negara dan menambah beban APBN.
Dibanding untuk perumahan, Darmawi Wardhana melihat adanya kemungkinan kondisi keuangan Tapera memburuk sehingga butuh sumber keuangan dari pekerja swasta untuk menambalnya. Pasalnya secara historis, ia melihat dana kelolaan milik pemerintah seringkali bermasalah.
"Sebenarnya bukan saja apakah akan dipakai untuk SBN. Atau memang kondisi keuangan Tapera yang sedang bermasalah, sehingga membutuhkan sumber keuangan baru dari pekerja swasta. Dana-dan pensiunan BUMN bahkan kata Pak Erick banyak yang bermasalah," ujar Darmawi Wardhana.
Pasalnya jika ditelisik lagi, sudah banyak dana kelolaan yang masuk dalam instrumen investasi SBN. Misalnya BPJS Ketenagakerjaan yang menempatkan dana di SBN sebesar 70% dari total instrumen investasi.
Selain itu berdasarkan laporan keuangan Jasa Raharja menempatkan Rp 2,52 triliun di SBN,atau setara 17,8% dari jumlah investasi perusahaan sebesar Rp 14,1 triliun pada April 2024.
Kemudian Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan BPJS Kesehatan menempatkan sebanyak Rp 33 triliun di SBN.
"Penempatan Investasi di SBN tahun 2023 sebesar Rp 33 triliun," ucapnya.
Jadi Darmawi Wardhana mengritik keputusan Presiden Jokowi soal iuran wajib pekerja untuk BP Tapera ini yang seharusnya kebijakan itu harus transparan hitungannya agar masyarakat paham manfaatnya. (*)
Tags : tabungan perumahan rakyat, bp tapera, bisnis, ekonomi, kemiskinan, pemerintah keluarkan kebijakan tapera, tapera dinilai tidak masuk akal, indonesian corruption investigation, koordinator ici darmawi wardhana zalik aris, Sorotan, riaupagi.com,