"Total rumah tangga di Indonesia yang menikmati listrik diklaim pemerintah sudah mencapai 99,28%. Namun data ini dikritik karena hanya menghitung kemampuan rumah tangga menyalakan lampu"
asio elektrifikasi semestinya menyorot penggunaan listrik selain untuk penerangan dan mengukur seberapa jauh listrik menggenjot perekonomian warga. Setidaknya 500 ribu rumah tangga di Indonesia belum memiliki akses listrik hingga Mei 2021, menurut data pemerintah. Mayoritas mereka tinggal di desa terpencil atau terluar.
Tetapi di Provinsi Riau sebagai daerah industri baik perkebunan sawit dan minyak gas (Migas) masih terjadi kekurangan daya listrik dan sejumlah pembangkit berbasis energi dibangun di wilayah itu untuk mengatasi ketiadaan listrik.
Pertanyaannya, dapatkah energi bersih dan terbarukan menjadi solusi kunci pemerataan akses listrik untuk setiap warga?
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Riau mencatat berdasarkan data pada 2021, ada sekitar 153 ribu lebih rumah keluarga yang belum teraliri listrik.
"Saat ini Dinas ESDM Provinsi Riau juga melakukan pendataan ke kabupaten dan kota se-Provinsi Riau untuk menginventarisir desa atau dusun serta rumah tangga yang belum berlistrik secara komprehensif," kata Kepala Dinas ESDM Provinsi Riau, Eva Refita, Rabu (16/3/2022).
Kepala Dinas ESDM Provinsi Riau, Eva Refita
Pihaknya masih terus melakukan pendataan untuk memastikan tidak ada rumah yang terlewat.
Meski begitu, masih terdapat perbedaan data Rasio Elektrifikasi (RE) antara Dinas ESDM Provinsi Riau dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN), demikian terungkap saat rapat koordinasi pembangunan infrastruktur kelistrikan dengan PLN, di Ruang Rapat Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Riau.
Sekdaprov Riau SF Hariyanto meminta agar dilakukan sinkronisasi data. "Mungkin kita perlu menambahkan lebih spesifikasi data RE 92 persen tersebut, sehingga kita bisa menyamakan data dengan PLN," kata dia.
"Kita harapkan (Dinas ESDM) dapat bersinergi (dengan PLN) terkait pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan di Provinsi Riau, sehingga jika terhadap hal yang dibutuhkan dapat segera dicarikan solusinya, agar desa-desa kita bisa teraliri listrik," sambung SF Hariyanto.
Tetapi sebelumnya Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar mengakui dari 1.800 desa ada 11 desa yang belum teraliri listrik.
"Dari 11 desa yang belum teraliri listrik paling banyak di Kabupaten Kampar dan Indragiri Hilir. Desa-desa tersebut belum teraliri listrik karena memang kondisinya yang terisolir," katanya.
Desa yang belum teraliri listrik tersebut khusus di Kabupaten Indragiri Hilir yakni di Kecamatan Mandah. Kemudian desa di Kabupaten Kampar yang belum teraliri listrik yakni berada di Kecamatan Kampar Kiri.
"Akses untuk menuju lokasi itu sulit. Yakni untuk membawa tiang listrik harus menggunakan perahu, itupun hanya dua tiang sekali perjalanan. Jadi memang cukup sulit mobilitasnya," ujarnya.
Gubri mengaku Riau sudah 99 persen teraliri listrik. Selain mentargetkan semua desa di Riau dapat teraliri listrik, Gubri juga berharap ada kelebihan pasokan listrik di Riau.
"Tujuannya dapat digunakan untuk mendukung sektor industri yang ada di Provinsi Riau. Dengan adanya beberapa pembangkit di Riau, diharapkan ada kelebihan listrik untuk masyarakat dan swasta," harapnya.
Dalam mewujudkan 11 Desa berlistrik tersebut, PLN menggelontorkan dana Rp29,9 Miliar untuk investasi Jaringan Tegangan Menengah sepanjang 59,35 km, Jaringan Tegangan Rendah 39,61 km dan Gardu Distribusi 19 Unit dengan total daya 1.150 kVA, dengan potensi sambungan listrik baru hampir 1.000 pelanggan.
Direktur Bisnis Regional Sumatera Kalimantan Wiluyo Kusdwiharto mengatakan, PLN menargetkan akan melistriki seluruh desa yang ada di Riau hingga akhir tahun ini.
"Kami mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Riau, Pemerintah Daerah, TNI, Polri, masyarakat dan pelaksana pekerjaan. Dukungan dan sinergi yang diberikan semakin menambah semangat kami dalam melistriki Riau," kata Wiluyo.
Dengan terlistrikinya 11 desa tersebut maka hingga Oktober 2020 ini Rasio Desa Berlistrik Provinsi Riau sudah mencapai 99,41% dan PLN telah melistriki 1.848 desa dari total 1.859 desa di Provinsi Riau.
"Kurang 11 desa lagi yang akan dilistriki PLN di tahun ini."
"Kami sampaikan saat ini terdapat 11 desa lagi yang belum terlistriki, dan menjadi target kami semua desa di Riau 100% terang benderang. Saat ini sudah ada beberapa provinsi di Pulau Sumatera yang sudah 100% terang dan menjadi cita-cita kami Riau dapat menyusul," ungkap Wiluyo.
'Listrik selalu masih mahal'
Di Desa Bantayan nyaris selalu gelap gulita. Desa ini lokasinya masih terisolir, energi Genset diesel pada awal dekade 2000-an secara swadaya digunakan untuk menyalakan lampu, setidaknya selama lima jam setiap malam.
"Tapi hanya rumah tangga yang mampu membayar iuran harian yang tersambung listrik."
"Pada tahun-tahun sebelumnya, desa tradisional ini sama sekali tidak memiliki akses listrik. Dulu saat bulan gelap, kondisinya sangat mencekam. Gelap gulita seperti tidak ada kehidupan. Kami tidak bisa beraktivitas sama sekali," kata Rosman, warga Desa Bantayan.
Masyarakat di daerah terpencil mengandalkan genset berbahan bakar solar untuk menyalakan listrik.
Rosman lahir tahun 1978. Saat beranjak remaja, dia melihat sejumlah tetangganya mulai memasang satu atau dua lampu. Listriknya berasal dari warga yang memiliki genset.
Setiap rumah yang ingin tersambung listrik, kata dia, mesti membayar iuran rutin sebesar Rp7.500. Rumah Rosman waktu itu tetap gelap sepanjang malam. Orangtuanya tak punya cukup uang.
"Hanya orang-orang tertentu yang bisa bayar. Kebanyakan keluarga di sini dulu tergolong tidak mampu," ucapnya.
"Kalaupun saat itu banyak keluarga sanggup membayar, jumlah genset terbatas, tidak bisa mengaliri listrik ke semua rumah," kata Rosman.
Generasi yang lahir setelah Rosman juga sempat mengalami kehidupan tanpa listrik. Salmiati ingat pergulatannya menggunakan lampu minyak saat belajar pada malam hari.
"Lampu itu membantu kami mengerjakan tugas, tapi biasanya mata kami sakit karena asapnya naik ke atas," ujarnya.
Perempuan berumur 24 tahun ini berkata, ketiadaan listrik memang menjadikan mahal dan ingin beraktifits juga terbatas.
Urusan menyalin buku pelajaran hingga mencetak tugas dengan mesin saat itu mustahil dilakukan.
Dampak ketiadaan listrik sempat mengguncang Salmiati. Dia mengalami gegar budaya saat merantau melanjutkan sekolah. Dia tidak menguasai teknologi. Pengetahuannya juga minim karena sumber informasi seperti televisi tak bisa menyala di rumahnya.
"Beradaptasi dengan lingkungan baru itu tantangan terberat. Saya sama sekali tidak mengenal listrik tapi tiba-tiba saya dihadapkan dengan komputer," tuturnya.
Tetapi adanya mesin genset, memang tidak menyala 100%, saat siang warga bisa melakukan aktivitas seperti berjualan minuman dingin dan es batu. Bisa jadi duit semua.
"Sebelum 2019, warga menunjuk pengurus untuk mendata dan mengumpulkan uang dari orang-orang yang mau berlangganan listrik dari genset. Tapi saat itu listrik hanya menyala dari jam 6 sore sampai 12 malam," kata Salmiati.
Nurdiana, tetangga Salmiati, ingat betapa kehidupan orangtuanya begitu terpuruk saat listrik belum masuk ke desa. Dia lahir tahun 1973 dan merasakan masa-masa gelap gulita desa tersebut.
"Jadi warga desa hanya untuk bertahan hidup, bukan untuk mencari kekayaan. Berkebun karet dan buah-buahan memang banyak, tapi harganya jelek sekali," ucapnya.
Namun ketergantungan pada genset meminimalkan pendapatan warga. Kala itu setiap hari setidaknya dia harus mengeluarkan Rp80 ribu untuk lima liter solar.
Bagaimanapun, suplai listrik di desa nya juga belum optimal. Perubahan dan kemudahan yang dirasakan warga Desa Bantayan urung terjadi di 200 rumah tangga.
Dalam beberapa tahun terakhir, kementerian membuat klaim bahwa jumlah rumah tangga yang teraliri listrik terus bertambah. Namun hitung-hitungan tersebut dikritik Tri Mumpuni, Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan. Lembaga non-profit ini giat membangun pembangkit listrik dari energi bersih yang berbasis komunitas di pelosok Indonesia.
"Setiap tahun rasio elektrifikasi meningkat tapi tidak 24 jam dan masih berbasis energi kotor," ujar Tri dalam sebuah diskusi daring, awal Juli lalu.
Tri berkata, persoalan ketiadaan listrik di daerah terpencil mestinya disiasati dengan energi terbarukan dan bersih seperti matahari, angin, air hingga mikrohidro.
Bukan cuma memanfaatkan energi bersih itu, pemerintah, kata dia, seharusnya juga melibatkan masyarakat setempat saat membangun dan mengelola pembangkit komunal tersebut.
"Community based electrical power supply adalah bagaimana meningkatkan kemampuan rakyat agar mereka bisa mengoperasikan dan tahu memperbaikinya kalau rusak. Jadi harus energi bersih dan harus mudah diakses masyarakat," ujarnya.
"Proyek energi listrik selama ini selalu proyek besar dan sifatnya top-down sehingga tidak berkelanjutan."
"Solusinya energi bersih dan berbasis masyarakat karena teknologi terbaik adalah yang mampu didekatkan dengan kemampuan masyarakat. Kalau pemerintah membuatkan pembangkit lalu rusak dan mangkrak, repot," kata Tri.
Menurut Tri, pemberdayaan masyarakat dalam proyek listrik komunal juga berpotensi besar mendorong ekonomi warga lokal.
Walau proyek membangun akses listrik bersih di daerah terpencil tidak mendatangkan profit bagi PLN, Tri menyebut agenda ini vital dalam pemerataan pembangunan.
"Energi terbarukan dan ekonomi hijau memiliki paradigmanya pembangunan yang bermitra dengan masyarakat. Mereka diberdayakan agar jurang antara si kaya dan si miskin dapat dipersempit," kata Tri.
"Energi terbarukan itu alat terbaik untuk mengentaskan kemiskinan. Energi kotor hanya mengurusi yang pembangkit yang besar-besar saja, yang di atas 1,5 megawatt.
"Proyek menengah [di atas 100 kilowatt dan di bawah 1,5 megawatt] dianggap tidak komersial. Yang kecil tidak ada keuntungan bisnis sama sekali. Ini pembangunan yang berbasis investor dan banyak di Indonesia. Ini harus disetop," ujarnya.
Kementerian ESDM menyebut tersisa 346 desa yang saat ini sama sekali belum tersentuh listrik di Indonesia. Dari jumlah itu, 276 desa berada di Papua, sisanya di Papua Barat.
Angka ini rancu karena dalam data ESDM tahun 2020, hanya Bali yang rasio elektrifikasinya mencapai 100%. Persentase NTT, yang rasionya paling rendah secara nasional, ada di angka 88%.
Terlepas dari polemik data itu, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan, Jisman Hutajulu, berkata bahwa penyediaan listrik di daerah terpencil ke depannya akan berbasis energi bersih.
"Tidak akan ada lagi proyek pembangkit diesel [PLTD]," ujarnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya menyebut PLN harus menggunakan penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp5 triliun untuk membangun pembangkit listrik berenergi bersih.
Pemerintah setiap tahun memberi anggaran kepada PLN untuk membiayai proyek listrik di kawasan terpencil dan terluar.
Meski begitu, Kementerian ESDM pada Mei lalu masih mengizinkan PLN membangun PLTD di 97 lokasi di Maluku dan Maluku Utara. Jisman Hutajulu berkata, keputusan itu mendesak diambil karena sejumlah pertimbangan.
"Itu sudah terlanjur. Di sana jaringan PLN sudah ada, pembangkit ada, masyarakat menunggu-nunggu, dan PLTD sudah dipasang," kata Jisman.
"Karena sudah mendesak, kami kasih izin dulu. Tahun depan kami hybrid [gabung dengan sumber energi lain], kami ganti dengan energi terbarukan," ucapnya.
Pembangkit berbasis diesel selama ini kerap dijadikan solusi oleh pemerintah untuk menyediakan listrik di daerah yang sulit diakses.
Jisman Hutajulu berkata, Kementerian ESDM bakal mengganti sumber energi PLTD di 5200 lokasi dengan yang bersih dan terbarukan. "Itu sudah pasti," ucapnya.
Dewan Energi Nasional pada 2017 mengeluarkan data yang mengungkap minimnya pemanfaatan energi bersih dan terbarukan oleh pemerintah.
Dari tujuh jenis energi bersih, yang paling banyak digunakan adalah air, sebesar 6,4% dari potensinya atau setara 4,8 gigawatt.
Di pedesaan dengan fasilitas sangat terbatas, warga beraktifitas rela memakai penerangan yang remang-remang.
Di bawahnya, berturut-turut adalah bioenergi (5,1%), panas bumi (4,9%), mikrohidro (1%), matahari (0,04%), angin (0,01%), dan laut (0,002%).
Khusus untuk potensi energi matahari, perhitungan Kementerian ESDM disangkal IESR dan Global Environmental Institute lewat penelitian mereka.
Dua organisasi itu menyebut tenaga surya di Indonesia bisa mencapai 3.000 bahkan 20 ribu gigawatt, bukan 207 gigawatt seperti yang dinyatakan pemerintah.
Pada tahun 2020, pemanfaatan energi matahari Indonesia ada di angka 172 megawatt, kalah dibandingkan Singapura, negara yang luasnya tak lebih besar dari Jabodetabek, yang mencapai 329 megawatt.
Data ini diambil dari riset International Renewable Energy Agency tahun 2021.
Namun merujuk data yang sama, pemanfaatan berbagai energi bersih untuk listrik di Indonesia masih tertinggal dari China, India, Jepang, Pakistan, Thailand, dan Vietnam.
Dari berbagai riset yang telah muncul, Direktur Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa, yakin energi bersih bisa menjadi solusi kunci ketersediaan listrik di pelosok Indonesia.
Pemanfaatan energi bersih dalam proyek listrik ini disebutnya perlu segera dikebut karena juga dapat berdampak positif pada ekonomi masyarakat.
"Listrik di desa itu lebih penting daripada di kota. Di desa, listrik benar-benar sumber utama ekonomi produktif," kata Fabby.
"Jadi menyediakan listrik yang berkualitas dan dengan daya yang cukup di desa memiliki nilai tambah besar. Ini tidak dilihat dalam indikator rasio elektrifikasi pemerintah," tuturnya.
Dari 99,28% masyarakat yang sudah mendapat akses listrik, hanya 97% di antaranya yang merupakan pelanggan PLN. Sisanya, kata Jisman Hutajulu, memperoleh listrik dari genset maupun pembangkit listrik swadaya.
Jisman berkata, ketersediaan anggaran menentukan pemerataan ketersediaan listrik.
"PMN untuk PLN pada program listrik desa hanya seupil. Padahal kami butuh 27 triliun untuk buat rasio elektrifikasi jadi 100%," kata Jisman.
"Itu pun masih ada yang belum menyala 24 jam. Butuh Rp4 triliun untuk buat listrik 24 jam.
"Jadi kalo ada Rp31 triliun sudah saya buat beres. Tapi kalau hanya dikasih Rp5 triliun, kapan kelarnya?" kata Jisman.
Bagaimanapun, walaupun setidaknya ratusan ribu keluarga belum memiliki akses listrik, saat ini ada kelebihan pasokan listrik PLN saat ini hingga 30%.
Pada saat yang sama PLN juga masih membangun pembangkit listrik dari batu bara di Suralaya, Banten, yang berkapasitas 2000 megawatt.
Walau pemerintah bilang PLTU unit 9 dan 10 yang tengah dibangun ini penting untuk menjamin suplai listrik di Jawa, proyek ini memicu persoalan lingkungan dan sosial.
Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana mengungkapkan masih ada 542.124 rumah tangga yang belum kena setrum atau teraliri listrik hingga kuartal I-2021. Saat ini pemerintah menargetkan rasio elektrifikasi 100% pada tahun 2022. Untuk mencapai hal tersebut, Rida bahkan meminta agar PT PLN (Persero) mendapat suntikan modal berupa penyertaan modal negara (PMN) dari pemerintah sebesar Rp 12,02 triliun.
"Sampai kuartal I-2021 itu sejumlah 542.124 rumah tangga belum berlistrik, data dinamis bisa bertambah. Tapi untuk desa berlistrik tidak dinamis ada 345 desa," katanya dalam RDP dengan Komisi VII DPR RI, Senin (27/5/2021) kemarin.
Mengenai realisasi rasio elektrifikasi, dikatakan Rida hingga kuartal I-2021 sudah mencapai 99,28% atau meningkat tipis dari Desember 2020 yang mencapai 99,2%. Sedangkan untuk rasio desa berlistrik sudah mencapai 99,59% atau meningkat dari Desember 2020 yang sebesar 99,56%.
"Komposisi dari sisi status yang dilistriki ada rumah tangga yang dilistriki langsung oleh PLN, non PLN dan LTSHE ini program pemerintah dan sama sekali belum terlistriki," ujarnya.
Operator melakukan perawatan rutin
Untuk mengatasi hal tersebut, Rida mengaku pemerintah sudah menyiapkan tiga strategi. Pertama, perluasan jaringan atau grid extension. Di mana perluasan listrik dari desa atau rumah tangga yang dekat dengan grid PLN. Program ini untuk 24 desa di tahun 2021.
Kedua, pembangunan pembangkit atau mini grid berbasis EBT di daerah yang kelompok masyarakatnya sulit terjangkau. Program mini grid untuk 37 desa di tahun 2021.
Ketiga, menyediakan tabung listrik atau yang disebut dengan alat penyalur daya listrik (APDAL) sebanyak 20.711 unit untuk 285 desa melalui APBN dan menyediakan pengisian energi listrik (SPEL) pada tahun 2021.
Khusus strategi yang ketiga, dikatakan Rida, khusus wilayah yang jarak satu rumah ke rumah yang lainnya lebih dari 500 meter atau lebih, sehingga tidak mungkin dilakukan perluasan jaringan maupun pembangunan mini grid. (*)
Tags : Listrik, Perusahaan Listrik Negara, Pemerintah Klaim 99, 28 Persen Nikmati Listrik, Listrik di Riau, Ribuan Keluarga di Riau Belum Kena Setrum Listrik,