JAKARTA - Presiden Joko Widodo disebut telah menyerap aspirasi dan mendapat dukungan masyarakat lokal terkait pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur.
Pernyataan itu dikeluarkan pihak Istana, setelah pada Senin lalu 31 Januari 2022, Jokowi bertemu lima sosok yang mereka sebut merepresentasikan kelompok adat.
Namun, sejumlah petani di calon ibu kota baru mempertanyakan klaim dukungan itu. Mereka berkata belum pernah diajak mendiskusikan proyek tersebut, baik oleh pemerintah maupun orang-orang yang disebut sebagai perwakilan masyarakat adat.
Menurut akademisi, pemerintah pusat semestinya sejak awal melibatkan masyarakat lokal di level terbawah dalam merencanakan ibu kota baru. Dituding tidak inklusif, proyek ini dikhawatirkan akan mengabaikan warga kelas bawah.
Dua tahun setelah kebijakan pemindahan ibu kota bergulir, Sabukdin, seorang petani sekaligus warga adat Paser di Sepaku, Penajam Paser Utara, belum pernah dimintai pendapat tentang proyek itu.
Akhir tahun 2019, kami berjumpa dengan Sabukdin di rumahnya yang digadang-gadang akan masuk kawasan pusat ibu kota baru.
Sama seperti yang diutarakannya saat itu, kini dia masih bertanya-tanya tentang nasib keluarganya ke depannya. "Kami mau menolak, tapi tidak ada daya. Hak-hak kami perlu diperhatikan pemerintah," kata Sabukdin dirilis BBC News Indonesia, Selasa (01/02).
"Kami hanya mendengar dari media atau dari teman-teman. Pemerintah belum pernah mengajak kami berunding," ujarnya.
Sabukdin mengaku kecewa. Sebagai orang yang berpotensi kehilangan lahan dan sumber penghidupan akibat proyek ini, dia merasa berhak untuk dilibatkan dalam pembahasan ibu kota baru.
Menurut Sabukdin, pemerintah selama ini hanya berbicara dengan orang-orang kelas atas yang disebutnya tidak memahami dan mewakili keresahan mereka.
"Seharusnya kami dilibatkan. Jokowi harus mendengar suara rakyat kecil. Mereka kan tokoh. Mereka orang sukses. Mobil mereka Fortuner, sedangkan kami sepeda saja tidak punya," ucapnya.
Pernyataan Sabukdin merujuk pertemuan Jokowi di Balikpapan, dengan lima orang yang disebut pemerintah mewakili adat dan kelompok suku di Kaltim.
Dua dari lima orang yang diundang pihak Istana itu adalah Sultan Paser, Aji Jarnawi dan Sultan Kutai Kartanegara, Muhammad Arifin. Mereka memimpin kesultanan yang selama ini dilestarikan dalam konteks budaya dan sejarah.
Adapun tiga orang lain yang bertemu Jokowi adalah perwakilan masyarakat Dayak Kenyah, Bugis, dan Banjar.
Dalam pertemuan itu, kelima orang itu memang menyatakan dukungan terhadap proyek ibu kota baru. Meski begitu, petani seperti Sabukdin menyebut tidak seluruh warga di kampungnya sependapat.
"Sebagian warga bersedia menerima ganti rugi jika lahannya diambil, tapi ada yang tidak mau. Nah bagaimana solusi bagi yang tidak mau. Jangan hadapkan warga lokal pada hukum," kata Sabukdin.
Persoalan representasi dan pelibatan masyarakat dalam proyek ibu kota baru sebelumnya juga mencuat.
Pertengahan Januari lalu misalnya, kelompok warga yang bernaung dalam Koalisi Masyarakat Kaltim menolak proyek ibu kota baru. Salah satu alasan mereka, rancangan undang-undang yang menjadi dasar proyek ini dibahas secara tertutup tanpa partisipasi warga lokal.
Merujuk Peraturan Menteri Hukum dan HAM 11/2021 misalnya, kementerian dan lembaga pemerintah perlu menggelar konsultasi publik saat membentuk undang-undang. Tujuannya adalah menampung masukan dari masyarakat yang terdampak dan kalangan lainnya.
Tenaga ahli Kantor Staf Presiden, Wandy Tuturoong, menyebut pemerintah sudah melibatkan berbagai elemen warga Kaltim dalam proyek ini sejak tahun 2019.
Bukan hanya pada pertemuan yang dipimpin Jokowi awal pekan ini, Wandy berkata bahwa Bappenas dan lembaga pemerintah lainnya sudah berulang kali menyerap aspirasi komunitas lokal.
Kalaupun ada pihak yang mengaku belum pernah dilibatkan, Wandy berkata prinsip partisipatif proyek ibu kota akan terus dijalankan.
"Yang kami benar-benar kawal adalah tata kelola pemerintahan yang partisipatif, jangan sampai masyarakat lokal teralienasi," kata Wandy saat dihubungi.
"Kami datang ke sana untuk meminta masukan dari LSM, pemerintah daerah, dan representasi banyak pemangku kepentingan.
"Kalau ada yang merasa ditinggalkan, pemerintah akan tetap terbuka. Sejak awal kami berusaha seterbuka mungkin, tapi tidak berarti sekarang kami sudah menutup dialog," ucapnya.
Dua dari lima 'perwakilan warga lokal' yang bertemu Jokowi di Balikpapan mengaku tidak tahu bagaimana mereka bisa dipilih oleh pihak Istana.
Meski begitu, mereka berkata bahwa tuntutan yang mereka sampaikan kepada Jokowi mewakili aspirasi seluruh lapisan masyarakat dalam kelompok mereka.
"Kami meminta istana Kesultanan Paser dibangun di titik nol ibu kota negara," kata Sultan Paser, Aji Jarnawi.
Selain itu, Aji juga meminta pemerintah melestarikan sebuah desa dan sebidang kawasan hutan yang didedikasikan sebagai penanda peradaban warga adat Paser.
Aji mengaku juga meminta agar pemerintah nantinya mempertahankan penamaan desa, kecamatan, hingga sungai yang becorak lokal.
"Kami juga berharap agar dalam penerimaan PNS, TNI/Polri maupun di perusahaan swasta, putra-putri lokal diberikan kuota khusus. Tanpa kuota itu, kami akan ketinggalan dari orang-orang dari Jawa.
Kepala Adat Dayak Kenyah, Ajang Tedung, yang turut hadir dalam pertemuan dengan Jokowi, meminta agar komunitasnya mendapat jatah kursi di badan otorita ibu kota baru.
Selain mengedepankan kearifan lokal, Ajang meminta pemerintah melibatkan warga lokal dalam pembangunan fisik ibu kota baru.
Permintaan lainnya adalah pembukaan pusat pelatihan keterampilan yang dikhususkan bagi warga lokal.
Ajang berkata, Jokowi tidak perlu bertemu dengan seluruh perwakilan warga di Kaltim untuk memahami aspirasi mereka. Apalagi selama ini, kata dia, beberapa kalangan kerap dilibatkan Bappenas dalam konsultasi publik.
"Dalam menyampaikan aspirasi, tidak terpengaruh berapa yang datang. Walau hanya beberapa orang, tapi aspirasi yang kami sampaikan menyangkut seluruh masyarakat adat Kaltim," ujarnya.
"Jokowi bilang itu bukan pertemuan terakhir, tapi akan berlanjut karena aspirasi pasti berkembang," kata Ajang.
Bagaimanapun, partisipasi masyarakat dalam proyek ibu kota semestinya tidak hanya seremonial belaka, tapi benar-benar membahas hal substantif. Hal ini katakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Haris Retno Susmiyati.
Menurutnya, pihak yang paling penting dilibatkan dalam pembahasan proyek ini adalah masyarakat kelas bawah, bukan cuma di pusat ibu kota baru, tapi di seluruh Kaltim.
"Implikasi ibu kota baru ini tidak hanya di wilayah pusat seluas 256 ribu hektare karena ada pembangunan tiga waduk besar di kabupaten lain untuk mendukung keberadaannya," kata Retno.
"Jadi sangat penting membicarakannya dengan masyarakat lapis paling bawah karena pada dasarnya merekalah yang akan menerima dampak terbesar dari kebijakan ini.
"Dalam pengambilan keputusan, wajib partisipasi penuh masyarakat, bukan yang sifatnya formalitas, tapi substantif. Itu harus dilakukan sejak awal. Kalau kebijakannya sudah diambil, masyarakat tidak akan punya posisi tawar," ujarnya. (*)
Tags : Ibu Kota Baru, Pemerintah Klaim Mendapat Dukungan Warga Lokal, Pembangunan Ibu Kota Baru di Kalimantan Timur,