JAKARTA - Pemerintah memutuskan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 hanya berlaku bagi barang dan jasa mewah, seperti pesawat jet pribadi, rumah mewah dan kapal pesiar. Adapun barang dan jasa lainnya yang selama ini dikenakan PPN 11%, "tak ada kenaikan".
"Saya ulangi secara jelas. Kenaikan PPn dari 11% jadi 12% hanya dikenakan pada barang dan jasa mewah, yaitu barang dan jasa tertentu yang selama ini sudah terkena PPN barang mewah," ujar Presiden Prabowo Subianto dalam keterangan pers, Selasa (31/12).
Yang dimaksud barang mewah, kata Prabowo, adalah barang yang dikonsumsi "golongan masyarakat berada", seperti pesawat jet pribadi, kapal pesiar, dan rumah mewah.
"Artinya, untuk barang dan jasa selain tergolong barang mewah, tidak ada kenaikan PPN. Yakni tetap yang berlaku sekarang, PPN 11% yang berlaku sejak 2022," kata dia.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan: "Seluruh barang dan jasa yang selama ini PPN 11%, tetap 11%. Tidak ada kenaikan PPN untuk hampir seluruh barang dan jasa yang selama ini tetap 11%."
Sri Mulyani menegaskan kenaikan PPN hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah yang selama ini sudah terkena pajak penjualan barang mewah (PPnBM), sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023.
"Itu kategorinya sangat sedikit, limited. Seperti disampaikan [Presiden Prabowo], barang seperti private jet, kapal pesiar, dan juga rumah yang sangat mewah yang nilainya sudah diatur dalam PMK mengenai PPN barang mewah, PMK Nomor 15 Tahun 2023," kata Sri Mulyani.
Sebelumnya, pemerintah merilis daftar barang dan jasa yang dikenai kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025.
Dalam keterangannya, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyatakan "kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tidak menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan".
Pernyataan ini secara tidak langsung membantah pandangan sejumlah pakar ekonomi bahwa kenaikan PPN menjadi 12% akan semakin memberatkan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Apa saja barang dan jasa yang dikenai PPN 12%?
Jelang pergantian tahun, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan bahwa pengenaan tarif PPN 12% per 1 Januari 2025 hanya berlaku untuk "barang dan jasa mewah".
"Hari ini, pemerintah memutuskan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah," kata Prabowo pada Selasa (31/12).
Kebijakan ini, kata Prabowo, sebagai komitmen pemerintahannya untuk selalu berpihak pada rakyat banyak, kepentingan nasional dan demi kesejahteraan rakyat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan barang dan jasa yang dikenai PPN 12% merujuk pada daftar barang dan jasa mewah dalam PMK Nomor 15 Tahun 2023 tentang barang-barang yang dikategorikan mewah dan selama ini terkena PPnBM (pajak penjualan barang mewah).
"Jadi yang [kena PPN] 12% apa? Yaitu barang yang sangat mewah yang diatur dalam PMK Nomor 15 Tahun 2023," kata Sri Mulyani.
Barang yang terkena PPN 12% per 1 Januari 2025 adalah:
Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dengan harga jual sebesar Rp30 miliar atau lebih.
Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak.
Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara, peluru dan hagiannya, tidak termasuk peluru senapan angin.
Kelompok pesawat udara selain yang dikenakan tarif 40%, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga: Helikopter, pesawat udara dan kendaraan udara lainnya selain helikopter.
Kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara: Senjata artileri, revolver dan pistol.
Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk angkutan umum: Kapal pesiar, yacht.
Dan, kendaraan bermotor yang kena PPnBM.
Adapun, kata Sri Mulyani, seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai PPN 11%, tetap dikenai PPN 11% per 1 Januari 2025.
"Jadi itu saja yang kena PPN 12%, yang lainnya yang selama ini 11% tidak ada kenaikan. Mulai dari sampo, sabun, dan segala macam, itu tetap, tidak ada kenaikan PPN."
"Nanti kami akan segera keluarkan PMK," lanjut Sri Mulyani.
Kebijakan ini berbeda dengan yang diutarakan pemerintah sebelumnya, yang mengeklaim kenaikan PPN menjadi 12% akan berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11%, kecuali beberapa jenis barang yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak, yaitu minyak goreng curah "Kita", tepung terigu dan gula industri.
Untuk ketiga jenis barang tersebut, tambahan PPN sebesar 1% akan ditanggung oleh pemerintah (DTP), sehingga penyesuaian tarif PPN ini tidak mempengaruhi harga ketiga barang tersebut.
Selain itu, PPN 12% juga diklaim berlaku untuk uang elektronik dan dompet digital.
Jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital selama ini telah dikenakan PPN sesuai ketentuan PMK 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Namun, yang menjadi dasar pengenaan pajaknya bukan nilai pengisian uang (top up), saldo (balance), atau nilai transaksi jual beli melainkan atas jasa layanan penggunaan uang elektronik atau dompet digital tersebut.
Sebagai contoh, dapat diberikan ilustrasi sebagai berikut:
a) Zain mengisi ulang (top up) uang elektronik sebesar Rp1.000.000. Biaya top up misalnya Rp1.500, maka PPN dihitung sebagai berikut: 11% x Rp1.500 = Rp165.
Dengan kenaikan PPN 12%, maka PPN dihitung menjadi sebagai berikut: 12% x Rp1.500 = Rp180. Jadi, kenaikannya PPN sebesar 1% hanya Rp15.
b) Slamet mengisi dompet digital atau e-wallet sebesar Rp500.000. Biaya pengisian dompet digital atau e-wallet misalnya Rp1.500, maka PPN dihitung sebagai berikut: 11% x Rp1.500 = Rp165. Dengan kenaikan PPN 12%, maka PPN dihitung menjadi sebagai berikut: 12% x Rp1.500 = Rp180.
Artinya, berapapun jumlah nominal transaksi sepanjang jasa layanan yang dibebankan oleh provider tidak mengalami perubahan, maka jumlah PPN yang dibayar akan tetap sama.
QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard)
Transaksi pembayaran melalui QRIS merupakan bagian dari Jasa Sistem Pembayaran.
Atas penyerahan jasa sistem pembayaran oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) kepada para merchant terutang PPN sesuai ketentuan PMK 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Yang menjadi dasar pengenaan PPN adalah Merchant Discount Rate (MDR) yang dipungut oleh penyelenggara jasa dari pemilik merchant.
Sebagai contoh, dapat diberikan ilustrasi sebagai berikut:
Pada Desember 2024, Pablo membeli TV seharga Rp5.000.000. Atas pembelian tersebut, terutang PPN sebesar Rp550.000, sehingga total harga yang harus dibayarkan oleh Pablo adalah sebesar Rp5.550.000.
Atas pembelian TV tersebut, jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Pablo tidak berbeda baik ketika menggunakan QRIS maupun menggunakan cara pembayaran lainnya.
Bagaimana dengan berlangganan platform digital, tiket konser, dan tiket pesawat?
Berlangganan platform digital
Biaya berlangganan platform digital seperti Netflix, Spotify, Youtube Premium, dan sebagainya merupakan objek pajak PPN PMSE sebagaimana diatur dalam PMK 60/PMK.03/2022.
Atas transaksi penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer, selama ini sudah dipungut PPN sesuai dengan ketentuan PMK 71/PMK.03/2022.
Atas transaksi penjualan tiket konser musik dan sejenisnya, bukan merupakan objek PPN tetapi objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang diadministrasikan oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD)
Tiket pesawat domestik
Atas transaksi penjualan tiket pesawat dalam negeri yang bukan merupakan bagian dari tiket pesawat luar negeri, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, terutang PPN.
Tiket konser
Transaksi penjualan tiket konser musik dan sejenisnya, bukan merupakan objek PPN tetapi objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang diadministrasikan oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD)
Bagaimana dengan beras dan barang kebutuhan pokok lainnya?
Barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat, tetap diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN dengan tarif 0%. Barang dan jasa tersebut seperti:
1) Barang kebutuhan pokok yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran
2) Jasa-jasa di antaranya jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum
3) Barang lainnya misalnya buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rusunami, listrik, dan air minum dan berbagai insentif PPN lainnya yang secara keseluruhan diperkirakan sebesar Rp265,6 triliun untuk tahun 2025.
Apa klaim pemerintah soal kenaikan PPN 12% ?
Dalam keterangannya, Ditjen Pajak Kementerian Keuangan menegaskan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Sesuai kesepakatan Pemerintah dengan DPR, kenaikan tarif dilakukan secara bertahap, dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan kemudian dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025.
Kenaikan secara bertahap ini, kata pemerintah, dimaksudkan agar tidak memberi dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan hitungan pemerintah, inflasi saat ini rendah di angka 1,6%.
Dampak kenaikan PPN 11% menjadi 12% adalah 0,2%. Inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target APBN 2025 di kisaran 1,5%-3,5%.
Dengan demikian, menurut Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tidak menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan.
Ditjen Pajak Kementerian Keuangan menilai kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022 tidak menyebabkan lonjakan harga barang/jasa dan tergerusnya daya beli masyarakat.
Adapun dampak terhadap inflasi dan daya beli tidak signifikan.
Pada 2022 tingkat inflasinya adalah 5,51%, namun terutama disebabkan tekanan harga global, gangguan suplai pangan, dan kebijakan penyesuaian harga BBM akibat kenaikan permintaan dari masyarakat pasca pandemi Covid-19.
Sepanjang 2023-2024 tingkat inflasi berada pada kisaran 2,08%.
Bagaimana dengan pajak terhadap beras premium?
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, sebelumnya merilis daftar barang dan jasa mewah yang dikenakan PPN 12% dalam pengumuman kenaikan tarif PPN pada Senin (16/12). Sebelumnya kelompok barang dan jasa ini tidak dikenakan tarif PPN.
Barang dan jasa yang dikategorikan mewah atau premium, antara lain layanan rumah sakit kelas VIP, pendidikan berstandar internasional, dan tarif listrik dengan daya terpasang 3.500-6.600 volt ampere (VA).
Beras dan daging premium juga masuk daftar tersebut.
"Kami akan berlakukan pengenaan PPN-nya, seperti daging sapi, tapi yang premium wagyu, kobe, yang harganya bisa di atas Rp2,5 juta bahkan Rp3 juta per kilo-nya," kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam konferensi pers, Senin (16/12).
Merujuk data yang dipaparkan pemerintah, bahan pangan lain yang akan terkena PPN 12% adalah beras premium, buah-buahan premium, salmon premium, tuna premium, juga udang dan kepiting premium.
Akan tetapi, pada 21 Desember 2024, Ditjen Pajak Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa:
a) Kementerian Keuangan akan membahas kriteria atau batasan barang/jasa tersebut secara hati-hati dengan pihak-pihak terkait agar pengenaan PPN atas barang/jasa tertentu dengan batasan di atas harga tertentu dapat dilakukan secara tepat sasaran, yaitu hanya dikenakan terhadap kelompok masyarakat sangat mampu.
b) Atas seluruh barang kebutuhan pokok dan jasa kesehatan/pendidikan pada tanggal 1 Januari 2025 akan tetap bebas PPN sampai diterbitkannya peraturan terkait.
Menambah beban warga kelas menengah ke bawah
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, mengungkapkan pemerintah memiliki waktu sampai akhir bulan sebelum merilis aturan turunan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Sebab, kebijakan PPN 12% bakal diimplementasikan mulai awal tahun.
Direktur Kebijakan Publik dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, memperkirakan kebijakan baru ini akan berdampak pada produk yang sebenarnya tak tergolong barang mewah.
"Dengan skema yang sekarang, implikasinya kenaikan 11-12% itu juga akan dikenakan untuk komoditas lainnya di luar barang mewah, artinya komponen-komponen penunjang seperti misalkan suku cadang kendaraan bermotor, internet, pulsa, deterjen, sabun," kata Askar.
Senada, ekonom sekaligus Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, khawatir kebijakan baru ini berpotensi membuat beras—yang notabene barang pokok yang dikecualikan dari PPN—bakal dikenai PPN 12% jika berlabel "premium".
"Kita takutnya seluruh barang yang tergolong [premium] di supermarket modern, misalnya minyak goreng bermerek, ataupun juga beras premium yang dijual di supermarket modern, itu kan tadinya [PPN] 0% ke 12%," ujar Andri, Selasa (17/12).
Andri menjelaskan kebijakan pemerintah yang menargetkan bahan-bahan pangan mewah atau premium untuk dikenakan PPN 12% berdampak bagi masyarakat menengah.
Ia memandang kerap kali warga kelas menengah membeli bahan pangan berlabel premium, seperti beras premium, karena terpaksa akibat terbatasnya ketersediaan di satu wilayah.
"Itu tentu akan signifikan terutama bagi kelas menengah, yang menikmati barang-barang selama ini, membeli barang premium tersebut," lanjutnya.
Andri memprediksi hal ini akan memungkinkan terjadinya pergeseran konsumsi bahan pangan kelas menengah ke bahan pangan non-premium, yang nantinya akan berdampak ke kenaikan harga barang non-premium.
"Yang paling terdampak nanti ya kembali ke kelas menengah dan tentunya kelas bawah juga, karena harga non-premium akan naik juga atas ada pergeseran demand ke inferior goods," kata Andri.
Sementara, ekonom dari Celios, Media Wahyudi Askar, menjelaskan masyarakat kelas bawah berpotensi menjadi kelompok yang paling terdampak penerapan PPN 12%.
Celios sempat melakukan perhitungan soal dampak yang akan terjadi ke sejumlah kelompok masyarakat saat PPN 12% diterapkan.
Acuan data perhitungan ini adalah Survei Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik.
Celios memperhitungkan kenaikan pengeluaran rata-rata kelompok miskin per bulannya mencapai Rp101.880 atau Rp1.222.566 per tahunnya.
Untuk kelompok rentan miskin kenaikan pengeluaran per bulannya mencapai Rp153.871, atau Rp1.846.455 per tahun.
"Untuk masyarakat bawah, gejolak ekonomi hanya puluhan ribu saja pengeluaran mereka meningkat dalam satu bulan itu signifikan sekali. Mereka otomatis akan melakukan adjustment," kata Askar.
Siapa yang diuntungkan dengan insentif pajak di tengah kenaikan PPN?
Pada konferensi pers Senin (16/12) lalu, pemerintah resmi menetapkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.
Pada saat bersamaan pemerintah menetapkan 15 pokok insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 10% untuk jenis barang completely knock down (CKD), bantuan, pembebasan bea masuk, hingga diskon iuran asuransi.
CKD mengacu pada kendaraan mobil yang dirakit di dalam negeri.
Dari 15 unsur tersebut, ada empat yang berhubungan dengan kendaraan listrik, antara lain:
Electric Vehicle (EV)
Pemberian insentif PPN DTP EV yang diberikan pemerintah dengan rincian pemberian: sebesar 10% atas penyerahan EV roda empat tertentu dan EV bus tertentu dengan nilai TKDN paling rendah 40%; dan 5% atas penyerahan EV bus tertentu dengan nilai TKDN paling rendah 20% sampai dengan kurang dari 40%.
PPnBM EV
Pemerintah juga bakal memberikan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) EV dengan besaran insentif 100% atas impor Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) roda empat tertentu secara utuh (completely built up/CBU) dan penyerahan KBLBB roda empat tertentu yang berasal dari produksi dalam negeri (completely knock down/CKD).
PPnBM Kendaraan Bermotor Hybrid
Pemerintah akan memberikan insentif PPnBM DTP juga terhadap kendaraan motor bermesin hybrid sebesar 3%. Adapun kebutuhan anggaran untuk PPnBM ini sebesar Rp 840 miliar.
Pembebasan Bea Masuk EV
Pemerintah akan membebaskan bea masuk bagi EV CBU sebesar 0%.
Padahal, Juli 2024 lalu, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) Kukuh Kumara mengakui konsumen mobil listrik didominasi masyarakat kelas atas.
Kebijakan pemerintah yang justru memberikan insentif bagi barang seperti mobil listrik atau hybrid ditengah kenaikan PPN ini dikritik oleh Andri dari Bright Institute.
"Kita selalu mempertanyakan ini seberapa besar manfaatnya bagi kelas menengah dan siapa sebenarnya paling menikmati," kata Andri.
"[Insentif] kepada beras premium atau minyak goreng premium itu akan jauh lebih dari segi hitung-hitungan dampaknya yang lebih berdampak terhadap kesejahteraan kelas menengah," tambahnya.
Di sisi lain, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai insentif-insentif ini tetap memiliki manfaat bagi industri di samping "menjaga daya beli masyarakat".
"Mendukung industri padat karya, dan mendorong pertumbuhan sektor-sektor strategis seperti properti dan kendaraan ramah lingkungan," kata Josua.
Butuh waktu untuk penentuan barang dan jasa premium
Pemerintah memiliki waktu sampai akhir bulan sebelum merilis aturan turunan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Sebab, kebijakan PPN 12% bakal diimplementasikan mulai awal tahun.
Namun, pakar perpajakan dan juga mantan staf khusus menteri keuangan, Yustinus Prastowo, memperkirakan penentuan sejumlah barang dan jasa yang dikenakan PPN 12% memakan waktu "hitungan bulan".
Utamanya untuk sejumlah hal seperti jasa pendidikan premium dan jasa kesehatan premium.
Ia menilai untuk sektor tersebut, Yustinus menjelaskan pemerintah harus cermat memperhitungkan kenaikannya, terutama terkait "isu keadilan".
"Pemerintah harus mendengarkan dengan menyeluruh secara baik supaya tidak keliru dalam menetapkan jenis dan nanti besarannya," kata Yustinus.
Adapun, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan Kemenko Perekonomian dan Kemenkeu akan menyelenggarakan rapat pada pekan ini untuk menyusun rincian penerapan PPN 12%, termasuk daftar barang dan jasa yang akan dikenakan tarif PPN 12 %.
"Kita akhir minggu ini akan menyelenggarakan rapat monitoring di tingkat teknis terutama tentang koordinasi tindak lanjutnya dan teknis monitoring," jelas Susi, seperti dikutip dari Kompas.com, Rabu (18/12).
Tags : pemerintah, keuangan pribadi, ekonomi, politik, inflasi, indonesia, kemiskinan, biaya hidup, ppn 12 persen, pajak barang mewah, pesawat jet pribadi, kapal pesiar, rumah mewah,