"Pemerintah menetapkan kebijakan vaksin dosis ketiga atau booster berbayar disebut pakar epidemiologi akan menimbulkan ketidakadilan, ketimpangan dan memperberat kondisi di daerah"
encana pemerintah menetapkan kebijakan vaksin dosis ketiga atau booster berbayar disebut pakar epidemiologi akan menimbulkan ketidakadilan, ketimpangan dan memperberat kondisi di daerah-daerah yang masih rendah tingkat vaksinasinya. Di Aceh, salah satu wilayah dengan tingkat vaksinasi lengkap terendah di Indonesia sebesar 29,2%, beberapa warga berharap vaksin booster akan gratis karena tekanan ekonomi akibat pandemi.
Epidemiolog menambahkan, ketimpangan vaksinasi yang saat ini disebut "bergerak lambat" dalam mencapai target lengkap sebesar 70% (208 juta) dari populasi penduduk, berpotensi memunculkan mutasi virus corona.
Lembaga pemantau LaporCovid-19 melihat motif pemerintah menetapkan vaksin berbayar dipengaruhi oleh upaya penghematan anggaran negara yang semakin tertekan akibat pandemi.
Hasil survei dari lembaga Indikator Politik Indonesia menunjukkan, 54,8% masyarakat kurang setuju dengan rencana pemerintah memberikan vaksin booster.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, Presiden Joko Widodo telah menyetujui rencana vaksin booster. Kemenkes kini tengah menyusun aturan pelaksanaan vaksinasi booster gratis dan berbayar.
Menolak vaksin berbayar
Tanta Fahira, 18 tahun, mahasiswi di Aceh hingga kini belum mendapatkan vaksin lengkap. Terakhir, ia mendapatkan vaksin dosis pertama pada 24 Oktober tahun lalu.
Fahira mengatakan, hingga kini ia masih menunggu jadwal yang tidak pasti kapan akan menerima vaksin dosis kedua.
Di tengah ketidakpastian itu, Fahira mendengar pemerintah akan memberikan vaksin dosis ketiga berbayar ke masyarakat umum. Fahira kecewa dengan rencana itu.
"Kalau berbayar pasti mahal, kalau bisa seperti vaksin pertama dan kedua gratis, jangan bayar. Kondisi sekarang akibat Covid banyak kerjaan tertunda dan sulit mendapatkan uang," kata Fahira, Senin (10/01).
Selain itu, ada warga Kota Banda Aceh, yang masih belum mendapat vaksin, termasuk Mulya, 45 tahun.
Ia mengaku, selain dia dan keluarga, tetangganya juga hingga kini masih belum divaksin Covid-19.
"Di keluarga kami memang sehat-sehat semua, kami juga tidak ada yang pergi jauh, makanya kami tidak mau divaksin," kata Mulya.
Terkait rencana pemerintah menetapkan vaksin berbayar, Mulya menolak hal tersebut, "saya pribadi tidak setuju. Gratis saja tidak mau, apalagi berbayar," tambahnya.
Mulya adalah satu dari sekitar 2,7 juta warga Aceh yang hingga kini sama sekali belum menerima vaksin.
Dari empat juta total sasaran vaksin di Aceh, berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, Minggu (09/01), baru 1,25 juta penerima vaksin lengkap. Kemudian, dari 23 wilayah di Aceh hanya Kota Banda Aceh yang telah mencapai target 70% vaksinasi.
Data vaksinasi Kemenkes menunjukkan, Aceh berada di peringkat ketiga terbawah tingkat vaksinasi lengkap di Indonesia dengan angka 29,2%.
Juru Bicara Covid-19 Pemda Aceh, Saifullah Abdul Gani, mengatakan, faktor informasi yang tidak tuntas ke masyarakat menjadi salah satu kendala vaksinasi.
"Masih ada masyarakat yang tidak percaya 'Covid-19' meskipun dalam kelompok kecil, namun mereka orang-orang yang aktif di media sosial, aktif di ruang-ruang publik, yang opininya ikut mempengaruhi opini orang lain di sekitar," jelas Saifullah.
'Gratis saja tidak mau, apalagi berbayar'
Secara nasional, dari total sasaran vaksin sebesar 208 juta orang, hingga kini, pemerintah telah menyuntikan 56% atau sekitar 117 juta vaksin lengkap (dua dosis) ke masyarakat dan 81,97% atau 170,7 juta untuk vaksin dosis pertama.
Dari data itu, terdapat sekitar 38 juta masyarakat yang belum mendapatkan vaksin sama sekali.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko tidak setuju jika vaksin dikenakan tarif oleh pemerintah.
"Orang tidak bayar saja pada tidak mau, apalagi bayar. Orang kaya di negara kita jarang, jadi akan menurunkan cakupan (vaksinasi). Jika cakupan turun, kalau terinfeksi pada daerah rendah (vaksinasi) akan banyak yang berat (penyakitnya)," kata Yunis.
Minggu (10/01), lembaga Indikator Politik Indonesia menunjukkan hasil surveinya, yaitu 54,8% masyarakat berada di posisi kurang setuju dengan rencana pemerintah memberikan vaksin booster.
Senada, epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo mengatakan, vaksin berbayar berpotensi menimbulkan ketidakadilan di masyarakat.
"Bayangkan yang masih muda dan punya uang, padahal risiko hospitalisasi rendah, dapat vaksin, sementara orang prioritas terkalahkan karena tidak bisa bayar. Itu tidak pantas dan tidak etis," kata Windhu.
Windhu menambahkan, vaksin berbayar juga akan menghambat pemerataan vaksinasi nasional di tengah laju pemberian dosis yang kini kian "melambat".
Akibatnya, rencana itu akan melebarkan ketimpangan vaksinasi di masyarakat yang kemudian berpotensi menciptakan mutasi virus corona di wilayah rendah vaksin Covid-19.
"Kebanyakan varian baru muncul di negara yang ada ketimpangan vaksinasi. Cakupannya masih rendah dan belum terlindungi sehingga memiliki risiko tinggi terjadi mutasi. Jangan sampai akibat ketimpangan itu, muncul varian-varian yang lebih infeksius dan mematikan," kata Windhu.
Walaupun demikian, kata Windhu, selama tingkat vaksinasi belum mencapai target, vaksin booster dapat diberikan secara gratis kepada kelompok prioritas yang memiliki risiko tinggi terdampak Covid-19, seperti tenaga kesehatan, lansia dan penderita komorbid.
Data Senin (10/01), tingkat vaksin lengkap lansia sebesar 43,65% atau 9,4 juta dari total target sekitar 21,5 juta orang.
Terkait dengan penolakan dan pertimbangan vaksin berbayar, BBC News Indonesia telah mengontak juru bicara vaksinasi Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, namun hingga berita ini diturunkan belum ada jawaban.
Sementara itu, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes Maxi Rondonuwu menjawab, "regulasi sedang dibuat, tunggu kalau sudah jadi," tulisnya.
Motif penghematan anggaran
Relawan dari Lembaga pemantau, LaporCovid-19 Firdaus melihat rencana pemerintah menetapkan vaksin berbayar dipengaruhi oleh upaya untuk melakukan penghematan anggaran.
"Pemerintah mencoba menghemat anggaran karena penanganan pandemi membebani APBN. Tapi penghematan ini menciptkan ketidakadilan di masyarakat karena kalau berbayar hanya orang-orang kaya yang dapat vaksin sementara yang kurang beruntung, miskin, sulit dapat booster," kata Firdaus.
Alasan lain adalah, kata Firdaus, presiden masih menetapkan kondisi saat ini dalam situasi pandemi melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penetapan Status Faktual Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia.
"Artinya vaksin menjadi tanggung jawab pemerintah dan itu harus gratis," katanya.
"Kalau misal vaksin booster berbayar berjalan, jangan-jangan ke depan pemerintah hanya akan fokus pada vaksin booster sementara memastikan warga mendapat vaksin lengkap akan dikesampingkan," katanya.
Lansia, peserta BPJS dan kelompok rentan gratis
Pemerintah berencana memberikan vaksin booster kepada masyarakat umum mulai 12 Januari 2022 melalui dua mekanisme yaitu gratis dan berbayar.
Dilansir dari Covid19.go.id, vaksin booster gratis ditujukan untuk kelompok lanjut usia, peserta BPJS Kesehatan kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI), dan kelompok rentan lain.
Sedangkan vaksin booster berbayar digunakan untuk vaksinasi mandiri.
"Saat ini mengenai besaran tarif vaksin belum ditetapkan pemerintah. Adapun informasi tarif yang beredar saat ini merupakan estimasi tarif vaksin di luar negeri," tulis situs tersebut.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan Presiden Joko Widodo telah menyetujui rencana vaksin booster.
"Khusus vaksinasi booster, tadi bapak Presiden sudah menyetujui, dan akan ada konferensi pers khusus oleh beliau untuk mengupdate vaksin boster ini," kata Budi.
Budi mengatakan, Indonesia kini berada di peringkat keempat dunia dalam tingkat vaksinasi, dengan total 288 juta vaksin telah disuntikan, dosis pertama sebesar 170 juta dan dosis kedua 116 juta.
Kini pemerintah memiliki 150 juta stok vaksin yang akan disalurkan.
BPOM izinkan lima vaksin booster
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan izin penggunaan darurat (EUA) untuk lima vaksin booster Covid-19.
Kepala BPOM Penny K Lukito dalam konferensi pers, Senin (10/01), mengumumkan lima vaksin yang telah disetujui, yaitu Sinovac, Pfizer, AstraZeneca, Moderna, dan Zifivax.
Izin atas lima vaksin booster ini, ungkap Penny, diberikan untuk program vaksin booster homologous alias pemberian dosis vaksin 1-3 dengan menggunakan merek yang sama, serta heterologous alias pemberian vaksin dosis ketiga yang berbeda dengan pemberian vaksin dosis 1 dan 2.
Vaksin Sinovac, Pfizer, AstraZeneca untuk homologous. Booster Moderna untuk homologous dan heterologous, sedangkan Zifivax untuk heterologous. (*)
Tags : Vaksin Dosis Ketiga, Pemerintah Menetapkan Vaksin Booster, Warga Tolak Vaksin Booster Berbayar,