JAKARTA - Keputusan pemerintah Indonesia memperpanjang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PT Freeport hingga 2061 dikritik sejumlah kalangan.
Seorang pakar energi menganggap perpanjangan kontrak Freeport itu tidak memiliki alasan yang mendesak.
Ada tuduhan pula dari pimpinan masyarakat adat, pegiat lingkungan, serta tokoh agama di Timika, Papua, bahwa proses perpanjangan izin usaha Freeport itu tidak melibatkan orang-orang asli Papua.
Menanggapi tuduhan itu, PT Freeport Indonesia (PTFI) dalam keterangan tertulis mengatakan, pihaknya sudah "melibatkan pemangku kepentingan".
"Tentunya dalam proses ini kami melibatkan pemangku kepentingan," kata EVP External Affairs PTFI, Agung Laksamana, Senin (03/06) pagi.
Agung tidak merinci jawabannya. Sebelumnya, dilansir dari situs PTFI, perusahaan itu mengaku menyetorkan sekitar Rp3,35 triliun keuntungan bersih daerah pada 2023.
Dalam situs resmi PTFI disebutkan uang itu diberikan kepada Pemprov Papua Tengah sebesar Rp839 miliar, Pemkab Mimika Rp1,4 triliun, dan beberapa kabupaten lainnya masing-masing Rp160 miliar.
Dihubungi secara terpisah oleh BBC News Indonesia, Kepala Dinas ESDM Provinsi Papua Tengah, Frets Boray, menolak mengomentari tentang perpanjangan kontrak Freeport itu karena merupakan kebijakan pemerintah pusat.
Nelson Naktime adalah generasi ketiga dari pemegang hak ulayat di wilayah hutan dan pegunungan yang kini menjadi wilayah pertambangan PT Freeport Indonesia (PTFI). Seperti leluhurnya, dia lahir di Kampung Banti, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika.
Rumah orang tua Nelson berjarak kurang dari 500 meter dari Kali Kabur. Di sungai ini, sisa hasil operasional Freeport mengalir sehingga mengundang para pendulang emas dari Papua maupun luar Papua.
Nelson ingat cerita yang disampaikan turun-temurun di keluarga besarnya: leluhurnya yang bernama Tuarek Naktime adalah satu dari sejumlah perwakilan pemilik hak ulayat yang menandatangani perjanjian dengan pimpinan Freeport pada dekade 1960-an.
Tuarek, kata Nelson, saat itu bersedia membubuhkan tandatangannya di atas kertas perjanjian dengan Freeport asalkan perusahaan itu menyekolahkan seluruh keturunannya hingga ke luar Indonesia dan menerima mereka menjadi pekerja di pertambangan itu.
Nelson tidak menerima realisasi perjanjian yang dibuat leluhurnya tersebut. Namun sebagian saudaranya telah bekerja di Freeport, bahkan menjadi salah satu pimpinan di perusahaan itu, yaitu Silas Naktime.
Sepanjang sejarahnya, Freeport beberapa kali menempatkan keturunan pemilik ulayat sebagai pejabat di perusahaan mereka. Thom Beanal, tokoh sentral Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme sekaligus penggerak pro-kemerdekaan Papua, pernah diberi jabatan komisaris di Freeport.
Thom tercatat pernah mengadukan Freeport ke Pengadilan Federal di New Orleans, Amerika Serikat pada tahun 1996 atas tuduhan pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan.
Sebagai generasi muda keluarga Naktime, Nelson tidak mewakili keluarga besarnya dalam hubungan dengan Freeport maupun pemerintah. Namun dia mengikuti dinamika perusahaan yang diklaim Presiden Joko Widodo telah menjadi milik pemerintah Indonesia itu.
"Kalau Freeport ingin memperpanjang kontrak, mereka harus berkomunikasi dengan pemilik hak ulayat," ujar Nelson.
"Saat kontrak mereka diperpanjang hingga 2041, tidak ada pembicaraan dengan keluarga saya. Sekarang kontrak itu sudah ditambah lagi," ujarnya.
Pelibatan masyarakat pemilik hak ulayat dalam pertambangan Freeport merupakan persoalan menahun yang muncul terus-menerus. Agustus 2022 misalnya, keluarga besar Naktime mengajukan protes karena proses penyusunan dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL) Freeport tidak melibatkan mereka sebagai salah satu kelompok yang paling terdampak.
Protes serupa juga terus bermunculan, salah satunya dari Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme pada akhir Januari 2024.
Merujuk riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), aktivitas Freeport memiliki dampak meluas, bukan hanya menyasar pemilik ulayat, tapi sekitar 6.484 jiwa.
"Saya tidak bisa komentar tentang aktivitas Freeport karena tidak pernah ada keterbukaan dengan masyarakat, sejauh mana mereka akan eksplorasi dan segala macamnya," kata Nelson.
"Seharusnya seluruh proses di Freeport dilakukan secara terbuka sehingga masyarakat bisa menilai, apakah mereka akan setuju atau tidak," tuturnya.
Aktivis lingkungan hidup dan tokoh adat suku Kamoro Timika, Rony Nakiaya mengaku masyarakat adat pemilik hak ulayat di wilayah konsensi PTFI tidak dilibatkan dalam perpanjangan kontrak hingga 2061 itu.
“Sehingga bisa dikatakan ini sepihak, banyak masalah yang masih belum selesai, sementara pemerintah mengambil kebijakan bersama perusahaan [sepihak],” kata Rony.
Pada tahun 2018, Indonesia telah menguasai 51% saham PTFI. Namun, ujar Rony, hingga sekarang tidak ada manfaat yang dirasakan masyarakat adat yang terimbas dari aktivitas PTFI.
Dia pun pesimis penguasaan saham kali ini yang mencapai 61% akan memberikan dampak.
“Ini kira-kira dampaknya untuk masyarakat adat ini apa? Sementara dari sisi lingkungan sampai sekarang Freeport masih belum membenahi masalah lingkungan yang Freeport buat sendiri. Limbah tailing menumpuk di pantai, membuat akses transportasi masyarakat adat itu tersendat,” kata Rony.
Di sisi lain, menurutnya, penggusuran masyarakat adat di area konsensi tambang masih terus terjadi. “Yang saya lihat ini menjadi proyek bagi segelintir orang di dalam untuk menghabiskan program atau dana,” katanya.
Senada, tokoh agama Katolik di Keuskupan Timika, Saulo Paulo Wanimbo juga mempertanyakan siapa yang diuntungkan dari perpanjangan kontrak dan penambahan saham Indonesia di PTFI.
“Kalau untuk negara jelas untung, tapi bagi masyarakat Papua itu siapa yang menikmati hasilnya? Kita tahu pengolahan emas saja tidak di Timika tapi di Gresik,” kata Saulo.
Saulo melihat hingga kini hasil dari PTFI tidak mampu memberikan kesejahteraan dan mengurangi pengangguran untuk masyarakat di Timika dan juga Papua.
“Lalu apa arti semuanya itu kalau masyarakat di Timika, Papua Tengah, tidak terlibat dalam menikmati hasil itu. Itu kan tragis sekali sebenarnya,” tambahnya.
Selain itu, katanya, aktivitas pertambangan PTFI juga tidak hanya masih terus menimbulkan kekerasan tapi juga menyebabkan masyarakat kehilangan ruang untuk hidup, dari tanah yang terampas hingga hutan yang rusak.
Menanggapi tuduhan dari pimpinan masyarakat adat, pegiat lingkungan, serta tokoh agama di Timika, Papua, bahwa proses perpanjangan izin usaha Freeport tidak melibatkan orang-orang asli Papua, PT Freeport Indonesia (PTFI) mengatakan pihaknya sudah "melibatkan pemangku kepentingan".
"Tentunya dalam proses ini kami melibatkan pemangku kepentingan," kata EVP External Affairs PTFI, Agung Laksamana, Senin (03/06) pagi, dalam jawaban tertulis kepada BBC News Indonesia.
Agung tidak merinci jawabannya. Sebelumnya, dilansir dari situs PTFI, perusahaan itu mengaku menyetorkan sekitar Rp3,35 triliun keuntungan bersih daerah pada 2023.
Dalam situs resmi PTFI disebutkan uang itu diberikan kepada Pemprov Papua Tengah sebesar Rp839 miliar, Pemkab Mimika Rp1,4 triliun, dan beberapa kabupaten lainnya masing-masing Rp160 miliar.
Keputusan pemerintah memperpanjang izin IUPK PTFI disebut Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bakhtiar, sebagai upaya yang terburu-buru.
Padahal, ujarnya, secara aturan perpanjangan kontrak dilakukan sejak lima hingga satu tahun sebelum masa kontrak itu habis, yaitu tahun 2041.
“Dari sisi aspek waktu pemberian perpanjangan saat ini, itu sangat terburu-buru, sangat dipaksa, dan bisa jadi sangat tendensius,“ katanya.
Merujuk Pasal 169 B ayat (2) UU 2/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, pemegang kontrak karya seperti Freeport baru dapat mengajukan permohonan perpanjangan kontrak paling cepat lima tahun sebelum kontrak mereka berakhir.
Di sisa waktu yang lebih dari 15 tahun ini, menurut Bisma, memberikan peluang besar bagi Indonesia -baik dari sumber daya manusia dan teknologi- untuk mengelola tambang yang ada di PTFI secara langsung.
Sehingga, ujarnya, ketergantungan pengelolaan dengan asing bisa segera diputus dan Indonesia secara penuh menguasai tambang emas di PTFI.
“Saya kira ini keputusan yang tidak nasionalis yang seakan-akan hebat tapi sebenarnya tidak,“ tambahnya.
Walaupun Indonesia menguasai saham mayoritas PTFI, ujar Bisma, manajemen operasional PTFI masih dikontrol oleh asing. Artinya, menurutnya, Indonesia tidak bisa berdaulat penuh dalam mengendalikan Freeport.
“Saya kira ini anomali, keanehan yang semestinya tidak dilanjutkan. Masa Indonesia yang punya saham mayoritas tapi asing yang mengendalikan.“
“Lalu, kalau pengendalian penuh itu di Indonesia, sebenarnya kan perpanjangan [kontrak] ini tidak urgent karena PTFI ini milik BUMN. Tanpa ada kesepakatan perpanjangan kan tidak akan kemana-mana Freeport ini. Ini kan lucu saya kira,“ katanya.
Bisman melihat konsekuensi lain dari perpanjangan ini adalah Indonesia akan mengeluarkan biaya yang sangat besar, melalui divestasi (pembelian saham), jika dibandingkan dengan potensi keuntungan yang diperoleh.
Kepemilikan saham yang meningkat itu kemudian, katanya, dikompensasikan dengan kontrak yang begitu panjang hingga cadangan emas dan tembaga di sana habis.
“Padahal Indonesia tetap bisa akan mendapatkan royalti dan berbagai macam manfaat tanpa harus capek-capek melakukan divestasi dan juga perpanjangan yang sebagaimana sekarang terjadi,” kata Bisman.
Dalam perpanjangan kontrak terbaru itu, Indonesia disebut akan memiliki hingga 61% saham PTFI dari sebelumnya sebesar 51%.
Memiliki pandangan yang berbeda, ahli pertambangan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Ridho Kresna Wattimena melihat optimalisasi pengelolaan atau pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara secara terukur, efisien, bertanggung jawab, dan berkelanjutan menjadi salah satu pertimbangan utama pemerintah memperpanjang IUPK PTFI.
“Dengan IUPK sekarang [berakhir 2041] produksi PTFI tentu akan menurun menjelang akhir masa berlaku IUPK dan jika tidak ada perpanjangan IUPK, PTFI tentu akan ragu-ragu dalam melakukan ekaplorasi untuk mendapatkan sumberdaya [resources] maupun cadangan [reserves] baru.”
“Dengan adanya perpanjangan IUPK seharusnya PTFI akan melakukan eksplorasi untuk mendapatkan sumber daya dan cadangan baru sehingga tingkat produksinya dapat tetap tinggi dan pendapatan yang didapatkan pemerintah akan tetap tinggi,” katanya.
Ridho menambahkan, perpanjangan kontrak ini akan menguntungkan Indonesia, “dapat kita harapkan, pendapatan pemerintah dari royalti yang dibayarkan PTFI dapat semakin tinggi.”
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) melihat setidaknya ada empat hal yang seharusnya menjadi pertimbangan suatu kontrak izin pertambangan diperpanjang atau tidak, mulai dari penilaian secara administratif, finansial, pelaksanaan teknis, hingga kaedah lingkungan hidup.
“Kalau empat syarat ini tidak terpenuhi, ini tidak layak untuk diperpanjang. Namun masalahnya proses-proses ini tidak pernah dibuka oleh pemerintah ke publik. Proses yang dilakukan terhadap Freeport ini begitu tertutup,” kata Kepala Divisi Jatam, Muhammad Jamil.
Akibatnya, menurut Jamil, perpanjangan kontrak PTFI yang dia sebut dilakukan sepihak ini hanya akan memperparah kerusakan lingkungan yang terjadi dan merugikan masyarakat-masyarakat adat yang hidup di sana.
“Di wilayah operasi Freeport, nyawa tidak ada harganya. Kerusakan lingkungan dimana-mana, dan hak-hak masyarakat adat hilang. Perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Jokowi ini semakin membuat orang Papua melihat Jakarta sebagai kolonial,” katanya.
Sebaliknya, perpanjangan kontrak ini hanya akan menguntungkan segelintir pihak yang memiliki kepentingan di PTFI di atas derita orang lain, kata Jamil.
PT Freeport Indonesia: 'Memaksimalkan manfaat yang besar bagi negara dan perusahaan'
Dimintai tanggapan atas penilaian pegiat lingkungan yang menganggap perpanjangan kontrak itu tidak memiliki alasan mendesak, PTFI tidak menjawab secara spesifik.
Dalam jawaban tertulis kepada BBC News Indonesia, EVP External Affairs PTFI Agung Laksamana, mengatakan, rencana pengajuan perpanjangan IUPK adalah untuk mengoptimalisasi cadangan sumber daya yang ada di Freeport saat ini.
"Serta memaksimalkan manfaat besar bagi negara dan perusahaan," ujar Agung, Senin (03/06) pagi.
Dengan kepastian perpanjangan IUPK, lanjutnya, PTFI dapat merencanakan aktivitas tambang pasca 2041.
"Terutama dalam hal eksplorasi setelah tahun 2041 karena cadangan saat ini masih cukup besar," jelasnya.
Saat melawat ke Amerika Serikat pada 13 November 2023, Presiden Jokowi bertemu dengan Chairman & CEO Freeport McMoran Inc Richard C Adkerson.
Dalam pertemuan itu, Jokowi membahas perpanjangan izin tambang hingga penambahan saham Indonesia di Freeport.
“Saya senang mendengar pembahasan penambahan 10% saham Freeport di Indonesia dan perpanjangan izin tambang selama 20 tahun telah capai tahap akhir,” kata Jokowi dilansir siaran pers Sekretariat Presiden, Selasa (14/11), tahun lalu.
Jokowi pun berharap agar hal itu dapat diselesaikan pada akhir November 2023.
Dua bulan lalu, tepatnya Kamis (28/03), Adkerson bersama Direktur Utama PTFI Tony Wenas bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara.
Dalam kesempatan itu, Tony menjelaskan kedatangan mereka untuk menyampaikan perkembangan pembangunan smelter di Gresik. Selain itu, Tony juga mengaku pertemuan itu membahas perpanjangan kontrak.
“Disinggung sedikit, tapi enggak bahas detail, kan waktunya enggak panjang, kan itu sudah dibahas sebelumnya,” kata Tony.
Usai pertemuan itu, Jokowi kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara pada 30 Mei 2024.
Aturan itu memuluskan perpanjangan IUPK PTFI sampai dengan ketersediaan cadangan dan dilakukan evaluasi setiap tahun, yang termuat pada Pasal 195A dan Pasal 195B.
"IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (1) yang merupakan perubahan bentuk dari KK sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2O2O tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2OO9 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dapat diberikan perpanjangan setelah memenuhi kriteria," bunyi Pasal 195 B ayat 1.
Syarat-syarat tersebut di antaranya "perusahaan memiliki fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian terintegrasi dalam negeri, sahamnya telah dimiliki paling sedikit 51% oleh peserta Indonesia, dan telah melakukan perjanjian jual beli saham baru yang tidak dapat terdilusi sebesar paling sedikit 10% dari total jumlah kepemilikan saham kepada BUMN."
"Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan selama ketersediaan cadangan dan dilakukan evaluasi setiap sepuluh tahun," bunyi Pasal 195 B ayat 2.
Dalam siaran pers Kementerian ESDM, Sabtu (01/06), Pasal 195A dan Pasal 195B itu dimaksudkan untuk memberikan kepastian berinvestasi bagi pemegang IUPK yang diterbitkan sebelum UU Nomor 3 Tahun 2020 “apabila memiliki ketersediaan cadangan untuk memenuhi kebutuhan operasional fasilitas pengolahan dan/atau permurnian serta memiliki komitmen investasi baru dalam bentuk eksplorasi lanjutan dan peningkatan kapasitas pemurnian”.
“Hal ini dilakukan untuk menjaga kesinambungan produksi dan memberikan kesempatan untuk memperpanjang izin lebih awal apabila telah memenuhi kriteria yang ditetapkan.”
“Salah satu hal yang perlu digarisbawahi pada ketentuan ini, bahwa perpanjangan hanya dapat diberikan setelah saham pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dimiliki oleh peserta Indonesia paling sedikit 51% dan telah melakukan perjanjian jual beli saham baru yang tidak dapat terdilusi sebesar paling sedikit 10% dari total jumlah kepemilikan saham kepada BUMN,” tulis Kementerian ESDM.
Jokowi mengatakan dari penambahan kepemilikan saham hingga 61% itu diperkirakan hingga 80% keuntungan PTFI akan masuk ke negara, baik dalam bentuk royalti, PPh badan, PPh karyawan, bea ekspor, maupun bea keluar.
“Sekali lagi, kalau kita bicara Freeport itu bukan milik Amerika lagi tetapi sudah menjadi milik negara kita, Indonesia,” kata Presiden Jokowi di Jakarta, Senin (27/05).
Jokowi mengungkap proses pengambilalihan sebagian besar saham Freeport itu dilakukan secara diam-diam oleh pemerintah Indonesia, dengan waktu kurang lebih 3,5 tahun.
“Pengambilalihannya pakai uang. Tidak pakai kekuatan tetapi pakai uang. Uangnya ngambilnya dari Amerika, kita bayar ke Freeport. Dalam empat tahun pasti lunas, insya Allah tahun ini sudah lunas,” ujar Jokowi seperti dirilis BBC News Indonesia.
Pada Desember 2018, Indonesia resmi mengakuisisi PTFI lewat holding BUMN pertambangan, PT Inalum (Persero) atau MIND ID dengan nilai akuisisi mencapai US$3,85 miliar atau setara Rp55,8 triliun.
Untuk membeli 51% saham Freeport, Inalum menerbitkan surat utang global senilai US$4 miliar atau sekitar Rp57 triliun, yang merupakan obligasi terbesar yang pernah diterbitkan Indonesia. (*)
Tags : Polusi, Papua, Joko Widodo, Amerika Serikat, Masyarakat, Indonesia, Tambang, Lingkungan, Alam, Pelestarian,