
PEKANBARU – Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Satgas Garuda terus memperkuat langkah penertiban di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau.
"Pemerintah terus perkuat langkah penertiban pada kawasan TNTN."
“TNTN menjadi target strategis Presiden dalam program pemulihan kawasan hutan. Hasil awal dari upaya ini akan diumumkan pada 17 Agustus 2025,” ujar Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Dwi Januanto Nugroho, dalam konferensi persnya, Jumat (21/6).
Langkah ini, menurutnya merupakan bagian dari strategi nasional dalam memulihkan 3,7 juta hektare kawasan hutan yang selama ini dikelola tidak sesuai dengan peruntukannya.
Ia menjelaskan bahwa seluruh unit kerja di bawah KLHK, termasuk para pejabat Eselon I, turut mendukung pendekatan rehabilitasi kawasan hutan yang mengedepankan prinsip komprehensif dan humanis.
Operasi penertiban difokuskan pada TNTN yang memiliki luas sekitar 81.739 hektare.
Dari jumlah tersebut, sekitar 40 ribu hektare diketahui telah mengalami pembukaan lahan dan penanaman sawit secara ilegal.
Satgas Garuda, yang dibentuk melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2025 tentang Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), telah melakukan serangkaian langkah pemulihan.
Termasuk melalui skema padat karya, restorasi ekosistem, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran kehutanan.
Menurut Dwi, kondisi TNTN saat ini sangat memprihatinkan. Dalam dua dekade terakhir, kawasan ini mengalami degradasi hebat akibat aktivitas ilegal yang melibatkan pendatang. Populasi satwa kunci seperti gajah terus menurun.
“Dari sekitar 15 ribu jiwa yang tinggal di dalam kawasan TNTN, hanya 10 persen yang merupakan penduduk asli. Sisanya adalah pendatang yang menduduki kawasan secara ilegal,” jelasnya.
Untuk mendukung langkah ini, Satgas telah mengerahkan 380 personel yang ditempatkan di 13 titik strategis.
Mereka telah membangun pos penjagaan, memasang portal pembatas, dan memulai proses pengosongan kawasan secara persuasif, tanpa penggunaan kekerasan.
Hasil awal menunjukkan respons positif. Sejumlah warga mulai secara sukarela meninggalkan kawasan.
Pemerintah juga tengah memverifikasi 1.805 Sertifikat Hak Milik (SHM) yang terbit di kawasan TNTN, bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Dwi juga menekankan pentingnya sinergi lintas sektor untuk mengatasi keterbatasan jumlah Polisi Hutan yang selama ini tidak sebanding dengan luas kawasan hutan dan kompleksitas tantangan di lapangan.
“Kami butuh dukungan dari berbagai pihak. Masalah kehutanan bukan hanya tanggung jawab Kementerian, tapi juga tanggung jawab bersama demi menjaga keberlanjutan lingkungan dan masa depan keanekaragaman hayati Indonesia,” sebutnya.
Sementara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau minta penertiban TNTN tidak menggunakan pendekatan represif.
“Proses relokasi yang dijadwalkan paling lambat pada 22 Agustus 2025 berisiko memicu konflik serius jika dilakukan dengan cara-cara militeristik dan represif atas nama negara,” kata Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat WALHI Riau, Eko Yunanda dalam pernyataan resminya, Jumat (21/6).
Satgas PKH agar tidak gegabah dalam menangani penertiban kawasan TNTN yang selama ini diduduki masyarakat untuk kebun sawit.
Eko Yunanda, menyatakan pihaknya mendukung upaya pemerintah untuk mengembalikan fungsi kawasan tersebut sebagai taman nasional.
Ia menekankan pentingnya menyertakan pendekatan penyelesaian konflik yang mempertimbangkan hak-hak masyarakat.
TNTN pada awalnya memiliki luas 81 ribu hektare. Namun, alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit telah menyusutkan kawasan itu secara drastis. Saat ini, hanya sekitar 20 ribu hektare yang tersisa sebagai kawasan hutan.
Informasi tersebut disampaikan Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letjen Richard TH Tampubolon saat mengunjungi TNTN bersama tim Satgas PKH pada Selasa, 10 Juni 2025. Dari total luas yang tersisa, sekitar 6.700 hektare merupakan hutan primer, 5.400 hektare hutan sekunder, dan sisanya 7.000 hektare berupa semak belukar.
Pemerintah menetapkan masa relokasi mandiri bagi masyarakat dari 22 Mei hingga 22 Agustus 2025.
Tetapi Eko Yunanda menyoroti bahwa pendudukan kawasan oleh masyarakat tidak lepas dari pembiaran oleh negara selama bertahun-tahun.
Keberadaan desa definitif serta fasilitas umum di dalam kawasan menunjukkan adanya keterlibatan atau kelalaian negara dalam mengawasi dan mengendalikan aktivitas ilegal.
“Pemerintah selama ini turut membiarkan atau bahkan mempercepat proses penguasaan kawasan hutan oleh masyarakat melalui pembentukan desa dan pembangunan sarana,” tegasnya.
WALHI mendesak agar proses pemulihan kawasan dilakukan secara adil dan manusiawi. Salah satunya dengan memberikan masyarakat skema jangka benah yang layak dan mengganti tanaman sawit secara bertahap dengan jenis tanaman kehutanan.
Mereka mengingatkan bahwa relokasi tidak hanya soal pindah tempat tinggal, tetapi menyangkut kelangsungan hidup masyarakat. Tenggat waktu yang bersifat menyamaratakan, menurut WALHI, justru dapat memicu konflik baru.
Eko Yunanda mengutip data dari Eyes on The Forest (EoF) tahun 2010 yang mencatat bahwa aktivitas penggunaan lahan oleh masyarakat di wilayah Tesso Nilo telah berlangsung sejak tahun 1999, lima tahun sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional pada 2004. (*)
Tags : taman hutan teso nila, tntn, riau, penertiban kawasan tntn, pemulihan hutan kawasan tntn, lingkungan, alam, riau,