JAKARTA - Ekonom memperingatkan agar pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka efektif mengelola APBN di tengah utang yang menyentuh Rp8.353 triliun dan melebarnya defisit APBN. Salah satu caranya adalah tidak membentuk kabinet gemuk.
Baru-baru ini, Badan Anggaran [Banggar] DPR menyetujui permintaan Menteri Keuangan Sri Mulyani agar pemerintah bisa menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) demi menutupi defisit APBN 2024 yang meleset dari dugaan.
Sri mengeklaim penggunaan SAL ini bisa menekan pembiayaan negara dari utang.
Di sisi lain, Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo, mengatakan defisit APBN disebabkan efek "akhir masa jabatan" yang membuat belanja membengkak, dan pemerintah mengejar target capaian pembangunan seperti Ibu Kota Nusantara [IKN].
Banggar DPR menyetujui permintaan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menggunakan SAL demi mengganjal defisit APBN 2024 yang melebar dari perkiraan awal.
"Apakah laporan realisasi semester satu dan prognosis semester dua APBN 2024 dapat disetujui dan menjadi kesimpulan rapat kerja Banggar dengan pemerintah dan Bank Indonesia?" kata Wakil Ketua Banggar Cucun Ahmad Syamsurijal, Selasa (9/7/2024).
"Setuju," kata anggota yang ikut rapat diikuti dengan ketukan palu, sebagaimana disiarkan melalui Facebook DPR-RI.
Sebelum disepakati, Menteri Sri Mulyani mengatakan, "Di keseluruhan prognosis APBN 2024, akan mengalami kenaikan defisit".
"Dan untuk itu akan digunakan SAL di tahun sebelumnya, sebanyak Rp100 triliun dan tambahan defisit yang berasal dari pinjaman luar negeri tentu tidak membutuhkan pembiayaan dalam bentuk Surat Berharga Negara, sehingga penerbitan SBN justru bisa ditekan menurun," kata Sri.
SAL adalah akumulasi anggaran sisa tahun-tahun sebelumnya - biasanya digunakan sebagai bantalan kas negara untuk kondisi darurat. Melalui SAL ini, pemerintah mengeklaim bisa meminimalisir pembiayaan yang berasal dari utang.
Pendapatan lesu, tapi kebutuhan belanja membengkak.
Sebelumnya, pemerintah mengestimasi defisit APBN 2024 sebesar Rp 522,8 triliun atau 2,29% dari Produk Domestik Bruto [PDB].
Tapi perkiraan ini meleset. Proyeksi Kemenkeu defisit APBN tahun ini akan mencapai Rp609,7 triliun atau 2,70%.
Berdasarkan laporan Kemenkeu, realisasi pendapatan negara semester satu 2024 mencapai Rp1.320, triliun atau 47,1% terhadap APBN 2024.
Hal ini mengalami kelesuan sebesar 6,2% dibandingkan dengan periode yang sama pada 2023. Pendapatan ini bersumber dari perpajakan, penerimaan negara bukan pajak [PNBP], dan penerimaan hibah.
Di sisi lain realisasi belanja negara pada semester satu 2024 mencapai Rp1.398,0 triliun atau 42% terhadap pagu APBN tahun 2024. Angka ini naik 11,3% dibandingkan realisasi belanja negara pada periode yang sama tahun sebelumnya, masih berdasarkan laporan ini.
Belanja ini mencakup:
"Pada prognosis Belanja Negara semester II tahun 2024 diperkirakan akan mencapai Rp3.412,2 triliun atau 102,6% dari alokasinya di dalam APBN 2024. Hal ini dipengaruhi terutama dengan adanya perkiraan percepatan belanja yang bersumber dari Pinjaman Luar Negeri [PLN] dan Pinjaman Dalam Negeri (PDN); pelaksanaan Pilkada; dampak depresiasi rupiah terhadap subsidi energi dan kompensasi; serta burden sharing TKD," tulis laporan Kemenkeu.
Dalam satu kesempatan, Menteri Koordinator bidang Perekonomian [Menko Perekonomian] Airlangga Hartarto menanggapi defisit APBN 2024 yang melebar ini, "masih aman".
"Itu bagus, artinya masih di bawah 3%,” kata Airlangga, seperti dikutip Detik. Ia merujuk angka ambang batas defisit APBN 3% sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara.
Kata dia, hingga 2025 proyeksi tersebut masih di bawah 3%.
“Kemarin kan sudah pembahasan antara itu sampe 2,8%, jadi kalau 2,7% itu dalam range yang baik,” ujarnya.
Bagaimana ekonom menanggapi hal ini?
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance [INDEF], Esther Sri Astuti memaknai defisit APBN yang melebar dari target ini sebagai "ruang untuk berutang itu jadi lebih luas."
Menurut Esther, SAL untuk mengganjal defisit APBN 2024 ini hanya bersifat sementara dan bersifat "recehan" dibandingkan dengan beban cicilan utang yang mesti ditanggung pemerintah.
Kata dia, warisan APBN dari pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin ke Prabowo-Gibran dalam status "tidak baik-baik saja".
"Masalahnya kan sekarang ini kan kita sudah gali lubang tutup lubang. Jadi intinya kita bayar cicilan utang itu dari utang yang lain. Nah ini kan yang harus menjadikan kita lebih waspada," kata Esther.
Per akhir Mei 2024, Kementerian Keuangan melaporkan jumlah utang pemerintah Indonesia mencapai Rp8.353,02 triliun.
Berdasarkan proyeksi Produk Domestik Bruto [PDB] Triwulan II 2024, rasio utang tersebut sebesar 38,71% terhadap PDB. Hampir 90% utang ini dalam bentuk Surat Berharga Negara [SBN].
Meskipun angka ini kerap digembar-gemborkan masih di bawah ambang batas aman rasio utang 60% sesuai ketentuan, tapi angka rasio utang era Jokowi lebih tinggi dibandingkan era Susilo Bambang Yudhoyono [SBY].
Saat peralihan pemerintahan, tercatat utang pemerintahan era SBY sebesar Rp2.608,7 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 24,7%.
"Saya melihat ini tidak baik-baik saja. Kenapa? Karena rasio utang terhadap PDB hampir 40 persen. Itu buat saya sudah warning," kata Esther.
Esther menegaskan tidak menolak utang. Tapi utang pemerintah selama ini lebih banyak digunakan untuk hal-hal yang tidak produktif, termasuk membiayai IKN yang ia sebut "sangat tidak urgen untuk dilakukan".
Dengan sepinya investor di IKN, ia khawatir beban belanja negara justru habis untuk proyek yang diperkirakan mencapai Rp466 triliun. Sejauh ini, APBN yang masuk ke IKN telah mencapai Rp71,8 triliun atau sekitar 15,4% dari estimasinya.
"Apakah dengan membuat Ibu Kota Baru itu kita langsung naik levelnya menjadi negara yang berpendapatan tinggi? Kan enggak... Jangan sampai APBN digunakan untuk jadi tulang punggung pembangunan ibu kota negara baru," kata Esther.
Selain itu, kata dia, utang negara juga dihabiskan untuk dinas ASN atau pejabat ke luar kota-luar negeri yang dianggap "tidak bersifat produktif".
Kondisi APBN yang ia sebut "tidak baik-baik saja" juga lantaran kebijakan membuka keran impor yang luas, serta strategi menempatkan buruh migran kasar di luar negeri untuk memperoleh devisa.
"Harusnya kan kita kirim yang skill-nya tinggi. Jadi dia bisa kirim devisa ke Indonesia lebih banyak. Nah ini kan enggak. Apakah kondisi ini baik-baik saja? Tentu saja tidak," lanjut Esther.
Ruang fiskal Prabowo-Gibran akan dihadapkan pada warisan utang Jokowi.
Musababnya, jatuh tempo utang pemerintah pada 2025 sebesar Rp800 triliun, hampir dua kali lipat dari tahun ini.
Utang pemerintah yang jatuh tempo ini terdiri dari jatuh tempo SBN Rp705,5 triliun dan pinjaman sebesar Rp94,83 triliun.
Utang jatuh tempo pemerintah dengan nilai serupa juga akan berlangsung pada 2026, 2027, serta 2028 [Rp719,8 triliun], dan 2029 [Rp 622,3 triliun].
Menurut Esther, kondisi ini akan semakin membuat ruang fiskal pemerintahan Prabowo terimpit.
Ia menjabarkan hal-hal yang mungkin dan tidak mungkin akan dilakukan pemerintahan Prabowo dari sisi pendapatan dan belanja negara di tengah situasi ini.
Pendapatan
Dalam debat capres-cawapres Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka pernah memasang target rasio pajak sebesar 23%. Namun, angka ini disebut Esther "tidak mungkin".
"Mau dicekik gitu, semuanya nanti mau dipajakin?" kata Esther.
Hal ini baru mungkin terjadi jika pemerintah memasang target rasio ini secara bertahap lebih dari lima tahun.
Kata dia, rasio pajak baru bisa dikerek naik ketika terjadi pertumbuhan ekonomi setidaknya mencapai angka 8%.
"Pertumbuhan ekonomi itu harus tinggi dulu baru penerimaan pajak itu tinggi. Bukan dibalik saya mau apa tax ratio-nya segini, pertumbuhan ekonominya mengikuti. Ya enggak kayak gitu," kata Eshter.
Belanja
Program makan siang gratis atau sekarang disebut makan bergizi gratis untuk anak sekolah sudah direncanakan masuk APBN 2025 sebesar Rp71 triliun, berdasarkan keterangan Menkeu Sri Mulyani pada konferensi pers Juni 2024.
Menurut Eshter, kemungkinan ini bisa dilakukan sebagai janji politik Prabowo-Gibran. Tapi, perlu dilihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan UMKM di dalamnya, sebagaimana telah didorong agar melibatkan UMKM lokal yang ikut mengelola.
"Jangan sampai malah program makan siang bergizi ini nanti impornya naik ya, melalui beras impor, kemudian susu yang diimpor juga naik... Kalau dampaknya tidak signifikan ya please stop it," katanya.
Selain itu, yang mungkin dilakukan di tengah ketatnya ruang fiskal pada pemerintahan selanjutnya adalah mengevaluasi belanja bansos di era Jokowi.
Menurutnya, bansos tidak berkontribusi besar terhadap tingkat kemiskinan dalam satu dekade terakhir. Ia menyebut bansos ini sebagai "lingkaran setan" di mana "keluarga miskin hanya akan melahirkan keluarga miskin".
"Satu-satunya cara atau salah satulah cara yang bisa mengentaskan kemiskinan adalah pendidikan yang lebih baik. Pendidikan bisa memutus rantai lingkaran setan. Tapi makan siang bergizi tidak bisa. Bansos juga tidak bisa memutus lingkaran setan itu," kata Esther.
Berdasarkan data BPS, selama satu dekade Presiden Jokowi memerintah, jumlah penduduk miskin berkurang sekitar 3,06 juta orang dari 28,28 juta orang pada Maret 2014. Dengan kata lain, tingkat kemiskinan hanya berkurang 2,22% poin dari Maret 2014 sebesar 11,25%, seperti dikutip Kompas.
Lainnya, kemungkinan membuat kabinet lebih ramping untuk menekan belanja rutin negara, tambah Eshter.
"Makanya kalau presiden mendatang jangan bikin kabinet gemoy, kabinet yang ramping-ramping saja lah, yang efisien. Banyak orang malah susah kerjanya, repot," tutupnya.
Ekonom senior dari INDEF, Tauhid Ahmad, sependapat. Ia mengatakan sangat mungkin menteri keuangan di pemerintahan mendatang "melakukan rasionalisasi belanja kementerian dan lembaga, mana yang prioritas mana tidak."
"Jadi ada kemungkinan ada kata-kata program prioritas presiden yang dapat alokasi besar, tapi juga ada yang dikurangi begitu alternatif pertama itu," katanya.
Majalah Tempo edisi Minggu, 7 Juli 2024 menurunkan laporan dugaan tim Prabowo-Gibran menjajaki peluang revisi Undang Undang Keuangan Negara.
Tujuannya, melepaskan rasio utang terhadap PDB hingga 50% dan batas defisit APBN di atas 3% demi mendapat keleluasaan menggelontorkan program makan bergizi gratis.
Namun, hal ini dibantah oleh Thomas Djiwandono. "Kami berkomitmen dengan target yang direncanakan pemerintah saat ini dan disepakati DPR," kata anggota bidang keuangan tim gugus tugas sinkronisasi Pemerintahan Prabowo-Gibran.
Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN), Drajad Wibowo, juga membantah hal ini.
"Tidak ada rencana mengubah UU Keuangan Negara. Apalagi jika dikatakan akan mengubah/menghilangkan batas defisit dan debt ratio. Itu gosip liar," katanya dalam keterangan tertulis.
Drajad juga mengatakan defisit APBN 2024 yang meningkat “sudah diperkirakan sebelumnya”.
“Karena kondisi makro yang berpengaruh terhadap penerimaan. Dari sisi belanja, ada efek akhir masa jabatan yang membuat belanja membengkak. Ini karena, pemerintah mengejar target capaian pembangunan, seperti IKN,” kata Drajad.
Pemerintahan Prabowo-Gibran, lanjutnya, akan mengatasi tekanan fiskal dengan terobosan penerimaan negara.
“Terobosan tadi harus terjadi pada dua sumber penerimaan: sistemik dan ad hoc. Keduanya berlaku pada PPN, PPh, PNBP, bea dan cukai,” katanya.
Terkait dengan belanja negara untuk IKN atau pun program makan bergizi gratis, ia mengatakan, “Bertahap disesuaikan ruang fiskal yang ada setiap tahunnya". (*)
Tags : Bisnis, Joko Widodo, Ekonomi, Politik, Prabowo Subianto, Indonesia, Kemiskinan, Perbankan, Biaya hidup,