PEKANBARU - Pemilik lahan di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) kini dalam situasi sulit karena adanya penertiban kawasan hutan yang dilakukan oleh Satgas Penyelamatan Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Banyak pemilik lahan yang bersembunyi di luar Riau, seperti di Pekanbaru, Pelalawan, Medan, bahkan Jakarta.
Mereka yang mengelola kebun sawit di dalam TNTN sebagian besar adalah pekerja yang dipekerjakan oleh cukong. Banyak pemilik lahan yang tidak tinggal di dalam kawasan TNTN, melainkan berdomisili di luar wilayah tersebut.
Sebagian besar pemilik lahan mempekerjakan orang lain untuk mengelola kebun sawit di dalam TNTN. Beberapa pemilik lahan diduga terlibat dalam praktik perambahan dan jual beli lahan ilegal di kawasan konservasi.
Satgas PKH melakukan penertiban dengan menumbangkan kebun sawit ilegal dan menindak pelaku perambahan. Beberapa pemilik lahan, seperti Suyadi, telah mengakui kepemilikan lahan dan menyerahkannya kepada Satgas PKH.
Satgas PKH terus melakukan penertiban dan penegakan hukum terhadap pelaku perambahan dan jual beli lahan ilegal di TNTN.
Melakukan verifikasi dan pendataan penduduk serta lahan di dalam kawasan TNTN untuk penertiban lebih lanjut. Masyarakat adat meminta agar penertiban dilakukan secara adil dan tidak tebang pilih, serta mengutamakan masyarakat adat dalam penyelesaian masalah.
Sejauh ini beberapa anggota DPRD Riau yang terlibat dalam isu kepemilikan lahan di TNTN, ada yang membantah keterlibatannya.
Menanggapi ini Ketua DPD KNPI Provinsi Riau, Larshen Yunus, secara terbuka mengomentari isu kepemilikan lahan sawit di TNTN yang menyeret sejumlah nama tokoh asal Sumatera Utara yang berdomisili di Riau.
Dalam pernyataan resminya, Larshen menilai tudingan tersebut belum didukung bukti hukum yang kuat.
Sejumlah nama seperti Dr. Arifin Bantu Purba SH MH alias AB Purba, Dr. Martahan Martin Purba SH MH (dikenal juga sebagai Martin Purba Cepak Tentara), Drs. Oberlin Marbun, dan Ir. Anita D. Girsang disebut-sebut menguasai lahan sawit di dalam kawasan konservasi yang secara hukum merupakan kawasan hutan lindung.
Larshen Yunus menyebut tudingan itu bisa jadi hanya isu liar dan kabar hoaks.
Ia menyatakan bahwa tokoh-tokoh tersebut selama ini dikenal memiliki kepedulian sosial tinggi dan berperan aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakatan.
“Kalaupun benar mereka kuasai kebun sawit di kawasan hutan, hasilnya lebih banyak dibagikan ke masyarakat yang tidak mampu. Jiwa sosial mereka luar biasa,” ujarnya.
Larshen juga menegaskan pentingnya pendekatan hukum dalam menanggapi isu ini.
Jika benar terbukti menguasai atau membuka lahan dalam kawasan hutan tanpa izin, maka pelanggaran tersebut bisa dijerat dengan sejumlah aturan hukum, antara lain:
“Silakan jika aparat penegak hukum ingin menelusuri lebih jauh, tapi jangan main fitnah. Kita pegang asas praduga tak bersalah,” tegas Larshen Yunus yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Generasi Muda Toga Simamora (GMTS) Indonesia.
Larshen pun meminta publik untuk tetap kritis namun berimbang dalam menyikapi isu lingkungan yang melibatkan tokoh masyarakat. Ia mengajak semua pihak menyerahkan proses hukum kepada lembaga yang berwenang.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi dari nama-nama yang disebutkan. Redaksi masih berupaya menghubungi pihak-pihak terkait untuk mendapatkan klarifikasi lebih lanjut.
Sementara Polda Riau melalui Penyidik Ditreskrimsus Polda Riau menangkap seorang tokoh adat atau yang disebut dengan 'batin' inisial JS karena memperjual belikan kawasan hutan lindung TNTN.
JS, yang diduga menjadi aktor utama dalam praktik jual-beli ilegal lahan konservasi dengan dalih tanah ulayat.
Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan mengungkapkan penangkapan JS merupakan hasil pengembangan dari kasus sebelumnya, yang menjerat tersangka DY, pelaku yang telah lebih dulu diamankan dan kini telah dilimpahkan ke pihak kejaksaan.
"Dari hasil penyidikan, DY menerima hibah lahan seluas 20 hektare dari JS, dengan membayar sejumlah uang. JS mengklaim bahwa lahan tersebut merupakan bagian dari tanah ulayat miliknya seluas 113 ribu hektare," kata Herimen saat konferensi pers di Mapolda Riau, Senin (23/6).
Herimen menjelaskan, setelah dilakukan verifikasi oleh ahli kehutanan dan tim penyidik, klaim tanah ulayat tersebut dinyatakan tidak sah secara hukum.
Berdasarkan data, kawasan TNTN memiliki luas sekitar 81 ribu hektare, yang statusnya adalah kawasan konservasi yang dilindungi.
"JS ini adalah pemangku adat atau Batin Puncak Rantau. Berdasarkan penyelidikan, ia tidak hanya menjual kepada DY, tapi telah membagikan dan memperjualbelikan lahan kepada lebih dari 100 orang," tegas Herimen.
Herimen menegaskan komitmennya dalam menjaga kawasan konservasi dan tidak akan mentolerir penyalahgunaan identitas adat untuk kepentingan pribadi atau kejahatan lingkungan.
"Kami bukan anti terhadap kearifan lokal atau hak-hak ulayat. Tapi jika digunakan untuk membabat hutan dan memperjualbelikan kawasan konservasi, maka hukum tetap menjadi panglima," ucap Herimen.
Dalam kasus ini, JS diduga memanfaatkan statusnya sebagai pemangku adat untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan mengklaim dan menjual tanah dalam kawasan konservasi TNTN.
"Peran JS sangat penting. Kami memberikan peringatan keras, karena ini akan berkembang ke pelaku lain, baik yang membeli maupun yang turut serta dalam skema jual beli kawasan konservasi," ucapnya.
Herimen menyebut, Polda Riau juga telah membentuk Satuan Tugas Khusus Penanganan Perkara di Kawasan Hutan, yang akan secara fokus menindak praktik perambahan, pembakaran, dan jual beli ilegal di kawasan hutan dan konservasi.
"Siapa pun yang terlibat, termasuk oknum aparat atau pemangku adat, akan kami tindak tegas," pungkas jenderal alumni Akpol 1996 itu. (*)
Tags : taman nasional tesso nilo, tntn, pelalawan, riau, pemilik lahan di tntn, pemilik lahan di tntn terjepit, Satgas PKH tertibkan tntn,