JIKA menyelusuri Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riqu (Kepri) maka khusus di daerah "perkampungan keling" di lintasan jalan protokol di kota pulau itu ditemukan rumah kuno.
Tak heran, pada 2025 ini, usia Kabupaten Lingga 22 tahun. Kabupaten ini didirikan berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2003 pada tanggal 18 Desember 2003.
Salah satu rumah tua yang terletak di daerah itu masih berdiri kokoh sebuah bangunan antik di pinggir jalan raya.
Dari depan kondisi rumah tua yang terbuat dari kayu itu tampak masih kokoh.
Cat putih kekuningan yang berpaduan warna hijau untuk bagian dindingnya masih terlihat walau sebagian besar sudah mengkelupas dan buram.
Atap rumah bertiang itu masih menggunakan sirap (papan tipis kayu ulin).
Namun, kondisi yang sudah hancur jika melihat dari samping kiri kanan dan belakang rumah. Rumah tua itu ternyata menyimpan cerita panjang tentang keberadaan di Kota Daik, Pemerintah Kabupaten Lingga.
Rumah tua itu dulunya adalah tempat tinggal berkelas yang pernah ditinggali oleh Tambi Abdurrahman bin Muhammad [Apak] sahabat Sultan Lingga.
Rumah tua itu juga pernah ditinggali anak dan cucu Tambi (sebutan nama Abdurrahman Keling).
Ternyata rumah tua yang nyaris hancur ini adalah bagian dari sejarah di Daik Lingga, Kepulauan Riau (Kepri) dan yang sejak lama menjadi pusat kerajaan Melayu.
Di rumah tua itu, dulu, pasti ada kehidupan, cinta, mimpi, harapan, bahkan sebuah benang masa silam yang merajut kehidupan masa lalu.
Rumah tua milik Abdurrahman Keling salah satu Objek Cagar Budaya di Kabupaten Lingga yang memiliki nilai historis dan budaya di Kabupaten Lingga, tapi sekarang kondisinya sangat memprihatinkan.
Terlihat dari depan kondisi bangunan sudah banyak yang mulai rapuh dan atapnya juga terlihat bocor disana sini membuat bangunan ini semakin rawan keruntuhan.
Bahkan tiang penyangga depan teras pun sudah mulai kropos dimakan cuaca dan alam yang terbiarkan tanpa sedikitpun terlihat perhatian pemerintah setempat.
Rumah tua yang diperkirakan berusia 200 tahun itu tetap berdiri kokoh di bagian depan dibangun, hanya saja kondisi bangunan pada ruang dalam hampir seluruhnya sudah mulai rusak.
Ruang bangunan dalam hingga kamar Abdurrahman Keling yang memiliki nilai sejarah hampir seluruhnya mulai hancur dimakan usia.
Baik lantai dinding maupun atapnya sudah mulai mengalami kerusakan.
Rumah tua yang bersejarah itu tidak mendapatkan UU perlindungan Cagar Budaya, ini menjadi penyebab belum ditetapkannya dan tidak mendapatkan perhatian khusus untuk memperoleh perawatan dan pemeliharaan serta perlindungan dari pemerintah.
"Memang banguann ini sangat potensial untuk dijadikan salah salah satu destinasi wisata di Kabupaten Lingga, tetapi keluarga belum ingin memberikan untuk dialihkan pada pihak BPCB," kata salah satu Anak dari Firdaus yang merupakan cicit Abdurrahman Keling.
Tetapi salah seorang pengamat cagar budaya Zulkifli Harto pernah mengaku didepan wartawan, menyebutkan sangat prihatin melihat beberapa rumah tua baik yang sudah dilindungi cagar budaya maupun yang belum kondisi bangunannya memprihatnkan ini.
"Hanya sayangnya potensi yang begitu besar dan banyak di daerah ini sangat minim perhatian dari pemerintah maupun masyarakat setempat," kata dia.
Masa dahulu dan sejarahnya, Tambi Abdurrahman bin Muhammad [Apak] berasal dari negeri Sailon [Sri Lanka], datang ke Lingga berniaga permata dan kain–kain yang di bawa dari negeri asalnya.
Anak Tambi sebanyak empat orang yaitu:
Anak dari Naca bernama Fatimah atau Tok Unggal dan Aisyah orang tua dari Maharani [‘ai]. Anak dari Muhammad bernama Maimunah yaitu cucu dari Tambi Abdurrahman.
Tambi Abudarrahman merupakan Kepala dari orang–orang Keling yang berada di Lingga, di perkirakan semasa Sultan Abdurrahman Muazzamsyah [1884 – 1911], orang-orang Keling yang pada waktu itu sebagian sebagai pekerja.
Atas kepercayaan dari pihak Kerajaan dan Belanda beliau mendapat anugrah dengan Jabatan Letnan, dan ia juga menjabat sebagai anggota ahli Al Mahkamah kerajaan di Lingga, Peninggalan yang dapat di lihat pada masa sekarang ini, adalah Rumah tempat tinggalnya, yang sangat unik yang mempunyai ciri khas tersendiri, seperti ukiran dan kaligrafi. Pengrajinnya orang Bugis yang di datangkan dari Singapura bernama Djumahat.
Penghuni rumah sekarang ini adalah keluarga Abdul Gani, suami dari Almarhumah Aisyah cucu dari pada Letnan Abdurrahman, dan anaknya bernama Topik, Maharani, Fauzi, Zulkifli, Anuar, Hidayat, Firdaus, Elmizan dan Safri.
Pada masa Kesultanan Riau-Lingga, di Daik sudah ada orang–orang India, Cina dan Arab.
Mereka datang selain berdagang, bekerja dan menyebarkan agama.
Orang- orang India yang datang kemudian menetap di Daik, lalu membangun pemukiman orang–orang india, kampung itu di kenali dengan Kampung Keling yang bersebelahan dengan Kampung Bugis dan Kampung Cina, namun pada masa kini hanya menyisakan lokasi saja, karena telah banyak berdiri bangunan baru.
Di lokasi dulunya terdapat sebuah Surau dengan nama Surau Keling, di situlah orang–orang India yang ada menunjukkan mayoritas beragama Islam, sekarang surau sudah tidak ada lagi, di lokasi bekas tapak surau telah didirikan rumah masyarakat.
Keturunan India yang ada di Daik sekarang telah menjadi orang–orang Melayu, masih dapat melihat mereka yang masih mempunyai ciri khas berwajah India.
Rumah Abdurrahman memiliki karakteristik rumah melayu.
Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan tiang-tiang untuk menopang bangunan rumah [rumah panggung].
Meskipun Abdurrahman berasal dari Sailon [Srilanka] sang pemilik rumah lebih mengadaptasi arsitektur lokal.
Selain tiang, penggunaan dinding-dinding vertical yang tinggi juga menjadi salah satu unsur dari rumah melayu.
Berdasarkan posisi rumah terhadap jalan raya, rumah Abdurrahman memiliki perabung atap yang sejajar dengan jalan raya sehingga disebut rumah perabung panjang.
Hal ini juga dipengaruhi oleh arsitek rumah sendiri yang berasal dari Bugis. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya unsur pengaruh arsitektur Srilanka [Ornamen hias pada dinding].
Penggunaan arsitektur lokal juga dapat dipahami sebagai cara beradaptasi dengan lingkungan [supaya rumah tidak terendam air pasang].
Masih banyak bangunan tua seperti ini di Bulungan, terlantar dan meregang maut.
Padahal UU 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya menjamin bahwa sebuah bangunan untuk bisa ditetapkan sebagai situs cagar budaya harus memenuhi kriteria berusia 50 tahun atau lebih.
Selain itu, mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Tengoklah seperti daerah lain. misalnya Jogyakarta yang membanggakan dan melestarikan bangunan tua seperti itu, untuk sejarah, penelitian, ilmu pengetahuan, pariwisata dan identitas daerahnya. (*)
Tags : rumah tua, daik lingga, kepri, rumah kediaman abdurrahman keling, rumah sahabat sultan lingga, rumah tua abdurrahman keling nyaris ambruk, seni budaya,