
"Kenaikan inflasi dan devisit anggaran akan mengalami dampak dan secara umum adalah menurunnya kesejahteraan masyarakat dan stabilitas perekonomian suatu daerah"
alam menanggapi kenaikan inflasi di Provinsi Riau Relawan Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN) memberitahu 5 dampak dari kenaikan inflasi ini.
"Dampak inflasi secara umum adalah menurunnya kesejahteraan masyarakat dan stabilitas perekonomian suatu daerah. Saat ini, inflasi masih menjadi permasalahan ekonomi yang dihindari setiap provinsi," kata Larshen Yunus, Ketua Umum (Ketum) Relawan GARAPAN, dalam bincang-bincangnya, Kamis (13/3).
Menurutnya, inflasi berpengaruh dalam menentukan harga barang di pasar secara keseluruhan.
Inflasi ini adalah suatu keadaan meningkatnya harga barang dan jasa secara menyeluruh.
"Jadi inflasi dapat disebabkan ketidakstabilan politik yang memengaruhi perekonomian suatu daerah. Jika terjadi kasus demikian, tingkat inflasi menjadi tinggi dan sulit untuk dikendalikan."
"Tetapi secara umum, inflasi terjadi lantaran banyaknya permintaan dari masyarakat, pertambahan penawaran uang, dan peningkatan biaya produksi. Kondisi inflasi dapat menimbulkan akibat buruk dari segi kegiatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat," kata Larshen.
Sedangkan dampak inflasi menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat, apalagi jika terjadi secara berkala. Kenaikan harga karena inflasi dapat menyulitkan masyarakat, terutama bagi masyarakat yang memiliki penghasilan rendah.
Untuk mengatasi inflasi, pemerintah perlu menerapkan kebijakan ekonomi yang tegas dengan berfokus pada kesejahteraan masyarakat.
Inflasi di riau menjalar hingga ke kabupaten dan kota
APBD Provinsi Riau dan Kabupaten/Kota di Riau mengalami defisit anggaran cukup berat pada tahun 2024 lalu, sehingga terpaksa harus menunda pembayaran pada sejumlah kegiatan yang telah dilaksanakan.
Klaim pemerintah daerah masalah ini disebabkan terjadinya tunda bayar Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat ke daerah, kemudian persoalan ini salah siapa?
Sesungguhnya besaran Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak dan Sumber Daya Alam ditetapkan sesuai ketentuan perundangan-undangan baik sumbernya maupun formula perhitungannya, otomatis telah menjadi kewajiban pemerintah pusat untuk menyalurkan kepada pemerintah daerah, kemudian dengan terjadinya tunda bayar maka pemerintah pusat harus mengklarifikasi informasi tersebut, apakah disebabkan tidak tercapainya pendapatan negara terutama Pajak dan PNBP atau dialihkan untuk program yang lainnya.
Berdasarkan data dari berbagai sumber media massa. Tahun 2024 terjadi defisit anggaran akibat tunda bayar Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat, masing-masing Provinsi Riau sebesar Rp315 miliar, Kab. Siak Rp229 miliar, Kota Pekanbaru Rp300 miliar, Rokan Hulu Rp125 miliar, Kab. Pelalawan Rp72 miliar, dan Kep. Meranti Rp51,5 miliar, dan daerah lainnya juga mengalami hal yang sama namun tidak ditemukan data yang tersedia secara pasti.
Kondisi tunda bayar juga akan berdampak pada APBD tahun 2025 yang dikhawatirkan terjadinya defiisit anggaran karena terbebani kegiatan tahun sebelumnya yang belum terbayarkan.
Disamping itu, tahun 2025 juga merupakan tahun anggaran pertama bagi kepada daerah terpilih sehingga harus disesuaikan dengan program kerja pemerintahan yang baru.
Ketergantungan dana transfer pusat
Tingkat kemandirian keuangan daerah di Riau masih rendah, pendapatan daerah terbesar bersumber dari dana transfer (DBH, DAU, DAK, Insentif).
Khusus bagi provinsi Riau tingkat ketergantungannya cukup rendah hanya 40% dari total pendapatan daerah.
Sedangkan pemerintah Kabupaten/Kota ketergantungan dari dana transfer dukup tinggi secara keseluruhan daerah rerata mencapai 84% dari total pendapatan daerah.
Sedangkan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih sangat kecil dibawah angka 20% dari total pendapatan, artinya daerah masih sangat tergantung pada pemerintah pusat melalui dana transfer tersebut, seharunya daerah dapat meningkatkan PADnya agar kemandirian fiskal semakin kuat untuk membiayai program prioritas daerahnya.
Transfer Keuangan Daerah (TKD) tahun 2025 yang ditetapkan oleh kementerian keuangan, baik Provinsi Riau maupun kabupaten/kota sesungguhnya mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya.
Ini seharusnya tidak ada kendala bagi pemerintah pusat untuk menyalurkan kepada pemerintah daerah, karena potensi pendapatan negara selalu diproyeksikan meningkat setiap tahun.
Misalnya Provinsi naik sebesar 8% dari tahu 2024 sebesar Rp3,8 triliun naik ditahun 2025 menjadi Rp4,1 triliun. Begitu juga bagi Kabupaten/kota secara keseluruhan rerata meningkat sebesar 7% dari tahun sebelumnya.
Kabupaten Bengkalis cukup tinggi mengalami peningkatan mencapai 19% dari tahun sebelumnya, sedangkan daerah lainnya terdapat peningkatan antara 1% sampai 10% dari tahun sebelumnya.
Bagaimana defisit APBD 2025?
Begitu juga pada Penetapan APBD tahun 2025, sampai saat ini publik belum dapat mengakses informasi terkait dokumen anggaran padahal kebijakan tersebut sudah ditetapkan pada Desember 2024 yang lalu, seharunya informasi terkait kebijakan anggaran secara berkala dapat dipublikasi karena ditetapkan pada waktu tertentu.
Penilaian Fitra Riau sebelumnya terhadap indeks keterbukaan informasi anggaran masih minim publikasi dan cenderung tidak lengkap.
Ini juga menunjukan komitmen pemerintah daerah terhadap kepatuhan terhadap UU keterbukaan informasi masih rendah.
Mengacu pada kebijakan anggaran tahun sebelumnya, tahun 2025 tingkat ketergantungan pada dana transfer masih cukup tinggi meskipun adanya peningkatan dari tahun sebelumnya.
Defisit anggaran tahun 2025 berpotensi dapat terjadi kembali, ini perlu diantisipasi oleh pemerintah daerah dengan melakukan penyesuaian anggaran yang mendukung pencapaian kinerja tertentu serta melakukan efesiensi anggaran pada kegiatan yang tidak berdampak langsung sesuai Inpres No.1 tahun 2025.
Apalagi tantangan pengelolaan APBD 2025 semakin berat, disamping pemerintah daerah harus menuntaskan persoalan tunda bayar tahun sebelumnya, juga harus menyesuaikan dengan visi, misi dan program kerja kepala daerah yang baru paska terpilih dalam pilkada serentak 2024.
Dampak terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat?
Terkendalanya pelaksanaan program dan kegiatan akibat tidak tercapainya pendapatan daerah berdampak pada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, misalnya melakukan realokasi program pembangunan yang tertunda dan serta kegiatan perekonomian masyarakat.
Situasi ini seharusnya dapat dijelaskan secara lebih kongkrit kepada masyarakat sehingga tidak menimbulkan kecuriagaan di publik.
Dengan terjadinya penundaan bayar oleh pemerintah pusat, maka pemeritnah daerah harus lebih selektif dalam menetapkan program kegiatan pembangunannya, misalnya daerah lebih fokus para program kegiatan yang sesuai kewenangan daerah.
Fitra juga mencatat, 5 tahun terakhir pemerintah daerah cukup getol melakukan pembangunan infrastruktur pada instransi vertikal yang bukan kewenangannya seperti gedung Kejaksaan, Polda, Korem, dan lain sebagainya.
Kondisi ini juga menunjukan keberpihakan pemerintah daerah terhadap kebutuhan masyarakat semakin rendah, sementara daerah masih dihadapkan pada persoalan yang komplit seperti kemiskinan dan kesejahteraan, perekonomian daerah, keterbatasan infrastruktur desa dan persoalan lainnya.
Begitu juga pada Penetapan APBD tahun 2025, sampai saat ini publik belum dapat mengakses informasi terkait dokumen anggaran padahal kebijakan tersebut sudah ditetapkan pada desember 2024 yang lalu, seharunya informasi terkait kebijakan anggaran secara berkala dapat dipublikasi karena ditetapkan pada waktu tertentu.
Penilaian Fitra Riau sebelumnya terhadap indeks keterbukaan informasi anggaran masih minim publikasi dan cenderung tidak lengkap. Ini juga menunjukan komitmen pemerintah daerah terhadap kepatuhan terhadap UU keterbukaan informasi masih rendah.
Mengacu pada kebijakan anggaran tahun sebelumnya, tahun 2025 tingkat ketergantungan pada dana transfer masih cukup tinggi meskipun adanya peningkatan dari tahun sebelumnya.
Defisit anggaran tahun 2025 berpotensi dapat terjadi kembali, ini perlu diantisipasi oleh pemerintah daerah dengan melakukan penyesuaian anggaran yang mendukung pencapaian kinerja tertentu serta melakukan efesiensi anggaran pada kegiatan yang tidak berdampak langsung sesuai Inpres No.1 tahun 2025.
Apalagi tantangan pengelolaan APBD 2025 semakin berat, disamping pemerintah daerah harus menuntaskan persoalan tunda bayar tahun sebelumnya, juga harus menyesuaikan dengan visi, misi dan program kerja kepala daerah yang baru paska terpilih dalam pilkada serentak 2024.
Terkendalanya pelaksanaan program dan kegiatan akibat tidak tercapainya pendapatan daerah berdampak pada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, misalnya melakukan realokasi program pembangunan yang tertunda dan serta kegiatan perekonomian masyarakat.
Situasi ini seharusnya dapat dijelaskan secara lebih kongkrit kepada masyarakat sehingga tidak menimbulkan kecuriagaan di publik.
Dengan terjadinya penundaan bayar oleh pemerintah pusat, maka pemeritnah daerah harus lebih selektif dalam menetapkan program kegiatan pembangunannya, misalnya daerah lebih fokus para program kegiatan yang sesuai kewenangan daerah.
Fitra juga mencatat, 5 tahun terakhir pemerintah daerah cukup getol melakukan pembangunan infrastruktur pada instransi vertikal yang bukan kewenangannya seperti gedung Kejaksaan, Polda, Korem, dan lain sebagainya. Kondisi ini juga menunjukan keberpihakan pemerintah daerah terhadap kebutuhan masyarakat semakin rendah, sementara daerah masih dihadapkan pada persoalan yang komplit seperti kemiskinan dan kesejahteraan, perekonomian daerah, keterbatasan infrastruktur desa dan persoalan lainnya.
Dewan minta TAPD berikan penjelasan
Seperti disebutkan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau Budiman meminta Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Pj Gubernur Riau memberikan penjelasan kepada masyarakat Riau, penyebab defisitnya APBD 2025 yang diperkirakan mencapai Rp1,2 Triliun.
Menurut Politisi Gerindra ini, defisit yang mencapai Rp1,2 Triliun tersebut bukan anggaran yang sedikit dan ini diluar kebiasaan batas yang bisa ditolerir.
Akibatnya banyak berdampak pada jalannya pembangunan dan program yang berpihak pada masyarakat di APBD Riau 2025 mendatang.
“Kami minta dijelaskan apa penyebabnya karena ini diluar kebiasaan, akan banyak kegiatan dan program pemerintah untuk masyarakat terbengkalai akibat kondisi ini,” ujar Budiman Lubis.
Sebagaimana diketahui dengan defisit anggaran ini, menurut informasi yang didapat Budiman banyak proyek yang dibatalkan karena defisit sehingga kasihan masyarakat yang sudah berharap dibangun daerahnya.
“Dimana profesionalisme Pj Gubernur yang lama (SF Hariyanto) yang menyesuaikan pendapatan dan belanja dalam menyusun APBD Provinsi Riau,”jelasnya.
Untuk itu, ia meminta semuanya harus dibuka, penyebab Defisit Anggaran ini harus diketahui masyarakat Riau, apalagi ini diduga berkaitan dengan kepentingan perhelatan Pilkada 2024.
“Kami minta semuanya harus dibuka ke masyarakat, jelaskan ke kami di DPRD, siapa yang menjadi penyebab defisitnya APBD Riau ini,” ujar Budiman.
“Langkah Gubernur Riau atasi defisit anggaran daerah"
Pada APBD Provinsi Riau tahun 2025, Pendapatan daerah ditetapkan sebesar Rp9,56 triliun dan belanja daerah sebesar Rp9,69 triliun dengan diproyeksi defisit sebesar Rp132 miliar yang ditutupi sipa tahun 2024.
Proyeksi APBD tahun 2025 mengalami penurunan cukup signifikan dari tahun 2024 yaitu menurun sebesar 15% yang mencapai Rp11,19 triliun. Artinya, ada potensi kehilangan pendapatan daerah sebesar Rp1,55 triliun, sumber pendapatan yang hilang tersebut terbesar bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu pajak daerah yang tidak optimal, dan penyesuaian dana transfer pusat.
Selain itu, Provinsi Riau dan 12 Kabupaten/kota juga dihadapkan pada defisit anggaran hingga akhir tahun 2024, defisit anggaran terjadi akibat terjadinya tunda bayar Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat, masing-masing Provinsi Riau sebesar Rp315 miliar, Kab. Siak Rp229 miliar, Kota Pekanbaru Rp300 miliar, Rokan Hulu Rp125 miliar, Kab. Pelalawan Rp72 miliar, dan Kep. Meranti Rp51,5 miliar, dan daerah lainnya juga mengalami hal yang sama namun tidak ditemukan data yang tersedia secara pasti.
Dalam press release Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Provinsi Riau juga telah mengingatkan khususnya dana bagi hasil (DBH) pajak dan sumberdaya alam, sesungguhnya pemerintah pusat tidak bisa secara serta merta melakukan pemotongan pada tunda bayar/hutang pemerintah pusat, karena ketentuannya diatur dalam UU HKPD, sesuai surat penetapan tunda bayar DBH hingga tahun 2023 untuk pemerintah Provinsi Riau dan 12 kabupaten/kota mencapai Rp1,65 triliun, angka ini belum termasuk tunda bayar tahun 2024 diatas, dan potensial pada tahun 2025 akan terjadi kembali.
Menurut Fitra Gubernur Riau harus mengambil langkah strategis yang baru, seperti:
Provinsi Riau sesungguhnya memiliki tingkat kemandirian keuangan daerah yang relatif baik, Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari pajak, retribusi, dan pendapatan lainnya yang sah tahun 2025 mencapai 54% atau Rp5,18 triliun dari total pendapatan daerah, meskipun terjadi penurunan dari tahun sebelumnya tahun 2024 kontribusi PAD mencapai 59% atau Rp5,9 triliun. Dengan kondisi keuangan darah tersebut seharusnya tidak ada kendala bagi pemerintah daerah untuk membiayai kebutuhan program strategis daerah;
Berbeda sekali dengan kondisi keuangan daerah kabupaten/kota, tingkat ketergantungan dari dana transfer (DBH, DAU, DAK, Insentif), ketergantungan keuangan Kabupaten/kota dari dana transfer cukup tinggi secara keseluruhan daerah rerata mencapai 84% dari total pendapatan daerah. Sedangkan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih sangat kecil dibawah angka 20% dari total pendapatan.
Pajak daerah merupakan potensi terbesar menopang pendapatan daerah, secara ideal setiap tahun penerimaan pajak seharusnya meningkat karena bertambahnya objek pajak baru. Selain itu, pemerintah daerah perlu mengoptimalkan realiasi penerimaan pajak setiap tahunnya, misalnya pada proyeksi 2025 penerimaan justru menurun, tahun 2024 penerimaan pajak mencapai Rp4,3 triliun turun menjadi Rp3,7 triliun, artinya pemerintah potensi kehilangan objek pajak sebelumnya, belum lagi kepatuhan pembayaran pajak.
Penyesuaian Pendapatan Dana Transfer (Kurang Bayar DBH, DAU, DAK Fisik) Sesuai Inpres No. 1 Tahun 2025 terkait efesiensi anggaran pusat dan daerah, yang diturunkan dalam Keputusan Menteri Kuangan (KMK) No. 29 Tahun 2025, pemerintah Provinsi Riau perlu melakukan penyesuaian pendapatan yang bersumber dari Dana Transfer Pusat.
Potensial berkurangnya pendapatan dari dana transfer pusat untuk Provinsi Riau tahun 2025 mencapai Rp273,9 miliar, terdiri dari tiga pos anggaran yaitu; kurang bayar DBH tahun 2024 sebesar Rp157,5 miliar, DAU sebesar Rp48,3 miliar, DAK fisik Rp 68,1 miliar. Dengan demikian, pemerintah daerah harus menyesuaikan kembali besaran pendapatan dan belanja daerah yang bersumber dari dana transfer tersebut. Khusus untuk tunda bayar DBH masih asumsi dari ketentuan 50% dana DBH yang tertunda penyalurannya sampai diterbitkan keputusan menteri keuangan selanjutnya.
Dengan terjadinya pemotongan dana transfer pusat tersebut, sesungguhnya tidak menjadi masalah besar bagi pemerintah Provinsi Riau, karena secara kemandirian keuangan sudah cukup tinggi, terutama yang bersumber dari Pajak daerah dapat dioptimalkan kedepannya.
Selain terjadinya penurunan pendapatan dari dana transfer akibat efesiensi belanja pemerintah pusat, pemerintah daerah Provinsi Riau juga harus melakukan efesiensi belanja dalam APBD 2025, diantaranya; pemangkasan biaya perjalanan dinas 50%, pembatasan kegiatan seremonial seperti seminar, diskusi dan sejenisnya, penghematan belanja ATK, biaya konsultan, dan kegiatan lainnya yang tidak berdampak pada output yang terukur.
Dari total belanja daerah tahun 2025 yang ditetapkan sebesar Rp 9,69 triliun, potensial anggaran yang dapat diefesiensikan terdapat pada 10 pos belanja yang mencapai Rp420,6 miliar.
Anggaran terbesar yang dapat dikurangi adalah pada pos belanja hibah kepada instansi pemerintah pusat mencapai 95,2% atau Rp145,9 miiar, belanja perjalanan dinas sebesar 50% yaitu Rp176,3 miliar, baik iuntuk perjalanan dinas dalam negeri maupun luar negeri.
Kemudian secara khusus pada pos anggaran perjalanan dinas dan hibah kepada pemerintah pusat perlu efesiensi yang lebih besar karena proporsinya jauh lebih besar dari pos anggaran lainnya dan rawan terjadinya tindakan korupsi seperti saat ini sedang diusut penegak hukum.
Selajuntnya, belanja hibah pemerintah pusat perlu diperketat kerena sebesar 95% digunakan untuk pembangunan infrastruktur baru dan anggaran ini dapat dialihkan mendukung infrastruktur layanan dasar masyarakat yang saat ini sangat terbatas, seperti sekolah, puskesmas dan jalan desa.
Gubernur Riau dapat menggunakan diskresinya mengatur keuangan daerah, misalnya mengehentikan pembanguan infrastruktur yang bukan kewenangan daerah, Fitra mencatat dalam empat tahun terakhit alokasi anggaran untuk perkantoran instansi pusat cukup besar antara lain pembangunan Kantor Kejati, Polda, Korem, dan rumah sakit bayangkara, dan instansi vertikal ditingkat kabupaten/kota. Untuk itu, pada tahun 2025 seharusnya tidak ada lagi pembangunan instansi pemerintah pusat apalagi dengan terjadinya efesiensi anggaran ini.
Terjadinya penurunan pendapatan dan belanja tahun 2025 ternyata juga tidak merubah pola perencanaan anggaran, pemda masih senang melakukan kegiatan yang potensial terjadi pemborosan anggaran dan kegiatan yang bukan kewenangan pemerintah daerah.
Selanjutnya, melalui Inpres No.1 tahun 2025, secara tegas mengintruksikan agar pemerintah daerah untuk memprioritaskan belanja daerah yang berdampak langsung terhadap peningkatan pelayanan publik dan kesejahtertehaan masyarakat, diantaranya;
Peningkatan pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan), Kualitas pendidikan saat ini belum tersedia sarpras pendidikan secara memadai seperti kekurangan ruang belajar, infrastruktur sekolah rusak dan akses pendidikan terbatas.
Sektor kesehatan juga belum tersedia sarpras yang lengkap hingga level desa dan akses kesehatan yang terbatas. Tahun 2024 sekolah tingkat SLTA masih terdapat kekurangan ruang belajar dan kondisi sekolah rusak.
Peningkatan alokasi anggaran perlindungan sosial dan kesejahteraan masyarakat, Dukungan anggaran perlindungan sosial dan kesehateraan masyarakat masih sangat minim, dalam empat tahun terakhir rerata hanya 1,1% dari total belanja daerah, bahkan sebaran angka kemiskinan juga menunjukan daerah yang kaya sumber daya alam justru menyumbangkan kemiskinan yang besar; Perlindungan lingkungan hidup dan kehutanan, Provinsi Riau juga dihadapkan pada persoalan lingkungan hidup dan kehutanan, serta perlindungan masyarakat lokal/adat.
Dukungan anggaran untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan berkelanjutan juga masih sangat minim, rerata hanya 1,4% dari total belanja daerah, sedangkan permasalahan yang ditimbulkan cukup berat seperti deforestasi, konflik lahan, karhutla, banjir, abrasi dan kerusahakan ekosistem mangrove dan kawasan pesisir.
Seperti disebutkan Larshen Yunus, yang juga sebagai Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) KNPI Pusat Jakarta ini kembali menyebutkan, dampak dari inflasi secara umum tentunya akan menurunnya kesejahteraan masyarakat dan stabilitas perekonomian suatu daerah.
Dampak dari inflasi menurutnya terhadap pertumbuhan ekonomi adalah:
1. Menurunkan kesejahteraan masyarakat
Dampak inflasi akan menurunkan kesejahteraan masyarakat terutama yang memiliki penghasilan tetap. Karena inflasi, harga barang di pasar akan naik, sedangkan penghasilan masyarakat tidak berubah.
Hal ini dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat karena daya beli masyarakat menjadi rendah.
2. Distribusi pendapatan akan memburuk
Inflasi akan menguntungkan apabila tingkat pendapatan suatu negara lebih tinggi dibanding laju inflasinya. Namun secara umum, jumlah yang memperoleh keuntungan lebih sedikit dibanding mereka yang merugi.
Oleh karena itu, pembagian pendapatan masyarakat di suatu negara menjadi tidak rata atau berat sebelah.
3. Suku bunga akan meningkat
Lembaga-lembaga keuangan akan menerapkan suatu kebijakan untuk menambah tingkat suku bunga pinjaman agar tidak terjadi penurunan pada nilai mata uang.
Namun di sisi lain, peningkatan bunga pinjaman akan menghambat pengembangan usaha karena dapat mengurangi minat investor untuk mengembangkan usahanya.
4. Mendorong investasi spekulatif
Para investor cenderung akan menyimpan kekayaannya dalam bentuk investasi spekulatif, yakni dengan membeli barang-barang berharga yang akan lebih menguntungkan pada saat dijual.
Nilai barang spekulatif tidak menurun karena kasus inflasi di suatu negara. Contohnya seperti tanah, emas, dan sebagainya.
5. Distribusi barang tidak merata
Distribusi barang relatif tidak adil karena adanya penumpukan dan konsentrasi produk pada daerah yang masyarakatnya dekat dengan sumber produksi. Selain itu, distribusi juga akan menumpuk kepada masyarakat yang memiliki uang banyak.
Dia juga mengingatkan dalam menghadapi tahun politik ia mengingatkan agar Riau tak lagi alami defisit anggaran.
"Jadi pemprov riau seharusnya bisa melakukan langkah taktis dalam penggunaan anggaran."
"Salah satunya dengan bisa menekan proyeksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025 sekecil mungkin. Hal ini perlu dilakukan sebagai langkah antisipasi dari kemungkinan terburuk di tahun mendatang," sebutnya.
Dia berperanggapan, defisit anggaran daerah adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah, dengan cara membuat pengeluaran menjadi lebih besar daripada pemasukan.
"Kami mengingatkan defisit anggaran tinggi seperti tahun-tahun sebelumnya tidak terulang lagi dalam APBD Tahun Anggaran 2025," pungkasnya
"Tingginya defisit anggaran itu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi serta inflasi."
Menurut Larshen Yunus, di tengah ketidakpastian global dan kemungkinan terburuk di tahun politik, APBD Riau menjadi satu-satunya harapan untuk menyelesaikan masalah. Banyak dampak yang disebabkan oleh beberapa hal salah satunya inflasi dan perkembangan ekonomi global, maka Pemprov harus bijak dan efisien dalam penyusunan APBD. (*)
Tags : inflasi, pengangguran, ekonomi, sorotan, riaupagi.com,