
"Sekarang pemuda-i lulusan sarjana susah cari kerja sampai-sampai harus mengadu nasib jadi pembantu, sopir, dan pramukantor hingga ke Luar Negeri"
enaga kerja lulusan pendidikan tinggi seperti diploma dan sarjana terpaksa banting setir menjadi pembantu rumah tangga, pengasuh anak, sopir, bahkan office boy (pramukantor). Ini dilakukan demi bertahan hidup di tengah minimnya lapangan pekerjaan di sektor formal dan badai pemutusan hubungan kerja dalam beberapa tahun terakhir.
Fenomena ini dialami Elfi Yandera, Sarjana Pertanian lulusan 2018, yang sekarang jadi sopir mobil rental dan sopir kantoran.
"Keluarga tidak masalah saya jadi sopir, tapi saya pribadi merasa sayang, karena perjuangan menempuh pendidikan sarjana susah, menghabiskan waktu dan biaya," tuturnya lirih yang sudah hampir 6 tahun terakhir bekerja sebagai pramukantor.
"Karena sudah kebutuhan dan sekarang ini cari pekerjaan sulit, jadi mau enggak mau ya harus disyukuri," ucapnya di sela-sela jam istirahat kerja.
Sejumlah pengamat menyebut situasi ini mengkhawatirkan dan harus menjadi "alarm" bagi pemerintah untuk tak lagi berleha-leha dan mengeklaim kondisi ekonomi Indonesia dalam keadaan baik-baik saja, namun kenyataannya tak demikian.
'Sarjana ilmu komputer, tapi jadi satpam'
Reza bergegas mengganti baju yang dikenakannya dengan seragam berwarna krem dan bawahan coklat tua.
Pemuda kelahiran 1995 ini lantas bergegas melakoni tugasnya sebagai satuan pengamanan alias satpam di sebuah kantor swasta di Kota Pekanbaru, Riau.
Ia sudah menjalankan profesi ini sejak 2018, setelah disarankan oleh kawan ayahnya setelah melihat postur tubuhnya yang tinggi dan dianggap memenuhi syarat menjadi sekuriti.
Kala itu, pria itu baru lulus SMA dan masih kerja sebagai buruh pabrik. Ia menerima ajakan itu dan dinyatakan lolos seleksi.
Tapi tujuh tahun kerja sebagai satpam, tak juga mengubur cita-citanya untuk menjadi tentara.
Demi mewujudkan impian itu Reza mendaftar ke sebuah universitas swasta di Kota Pekanbaru dan mengambil jurusan Ilmu Komputer. Sembari bekerja, dia sisihkan upahnya yang tidak seberapa untuk biaya kuliah.
Pada 2024, ketika menginjak usia 29 tahun, ia resmi bergelar Sarjana Komputer (S.Kom) dan langsung mendaftar masuk TNI.
Hanya saja, sulung dari dua bersaudara ini harus menerima kenyataan pahit: ia tak lolos gara-gara terganjal syarat umur.
Sebelumnya batas usia masuk perwira prajurit karir TNI untuk lulusan D4 dan S1 maksimal 30 tahun. Tapi pada 2024, persyaratannya diubah menjadi maksimal 28 tahun.
"Pas lulus kuliah, saya sudah siapkan berkas-berkasnya, karena masih menyangka batas umurnya 30 tahun."
Sejumlah pencari kerja (Anak Muda) antre memasuki area bursa kerja.
"Ternyata November kemarin, ada pengumuman dari Panglima TNI untuk batas usia maksimal lulusan sarjana jadi 28 tahun. Sementara umur 30 tahun untuk lulusan S2," tutur Reza pertengahan April lalu.
Kenyataan itu bikin dia kecewa, bahkan hampir depresi.
"Kecewa sama diri sendiri harusnya lulus 2023, tapi karena kuliah sambil kerja, enggak bisa mengatur waktu dengan baik, jadi agak telat lulusnya."
Tapi Reza tak mau berlama-lama terpuruk, dia mulai melamar pekerjaan sesuai latar pendidikannya.
Setiap hari, selepas menuntaskan pekerjaan sebagai satpam, dia mengirim lamaran untuk posisi software engineer ke setidaknya keberbagai perusahaan.
Namun belum ada yang membuahkan hasil, lagi-lagi karena kepentok batas usia.
"[Batas usia maksimal] lowongan kerja sekarang 25 tahun dan ada yang 27 tahun. Tapi kebanyakan 25 tahun maksimal."
Baginya, pencantuman syarat usia itu termasuk diskriminasi karena menghapus kesempatan kerja untuk orang-orang seusianya yang menginjak kepala tiga.
"[Mencari pekerjaan] bisa dibilang sangat-sangat sulit sekarang. Apalagi dengan umur yang sudah lewat 25 tahun. Terkesan ada diskriminasi," ujarnya.
"Masa orang yang usianya di bawah 25 tahun yang bisa dapat pekerjaan. Sedangkan kita yang sudah mau 30 tahun dengan fisik masih bagus, enggak boleh..."
"Kenapa beda sih perlakuannya?" tanya Reza geram.
Reza berkali-kali bilang profesi ini bukan untuknya. Tetapi, dia sadar tak punya pilihan lain ketimbang menganggur.
Gaji sebesar Rp4,5 juta per bulan yang diterimanya juga tak cukup memenuhi kebutuhan hidup yang terus naik, bahkan untuk dirinya yang masih lajang.
Karenanya dia masih akan terus berusaha mencari pekerjaan yang sesuai gelarnya, plus mendapatkan gaji lebih besar sesuai harapan orang tuanya.
"Orang tua bilang kalau bisa jangan keenakan jadi sekuriti. Kan saya punya titel, punya ilmu dari kuliah. Alangkah baiknya bisa mencari yang lebih baik dari ini..."
"Maksudnya, sayang juga kuliah empat tahun, tapi dengan profesi yang sekarang, takutnya ilmu yang didapat dari sekolah enggak terpakai."
'Sarjana tapi jadi sopir mobil rental'
Pengalaman susahnya cari kerja juga dirasakan Efi Yandera, alumni Fakultas Pertanian di Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru, Riau.
Pria yang sudah menginjak usia 40 tahun ini bilang setelah lulus kuliah pada 2021 lalu, sudah beberapa kali melamar ke sejumlah perusahaan namun hasilnya masih nihil.
Petugas mengecek kelengkapan berkas pencari kerja saat bursa kerja.
Padahal dia sangat berharap bisa bekerja di perusahaan BUMN dengan gaji di atas upah minimum.
"Mungkin belum rezeki," ungkap Efi Yandera pertengahan April lalu.
Kini perantau asal Sumatra Barat tersebut terpaksa bekerja sebagai sopir mobil perkantoran sebagai pekerjaan sampingan.
Apa pun, katanya, bakal dilakukan demi dapat uang.
"Kalau milih-milih kerja, bisa enggak makan," ucapnya singkat.
Selama menjadi sopir mobil perkantoran, penghasilannya tak menentu. Ada waktu-waktu tertentu, upahnya besar. Tapi pernah juga tak ada pemasukan sama sekali.
Efi Yandera mengaku cukup beruntung karena orang tuanya tak mempersoalkan pekerjaannya sebagai sopir asalkan dapat uang.
"Kata orang tua, pendidikan enggak harus jadi tumpuan utama atau linier dengan pekerjaan."
"Tapi saya pribadi merasa sayang, karena perjuangan menempuh pendidikan tinggi ini susah, menghabiskan waktu dan biaya," keluhnya.
Meskipun begitu, Efi Yandera mengatakan tidak kecewa dengan gelar sarjana yang dimilikinya. Sebab pendidikan yang dipelajari selama bertahun-tahun itu sudah menambah wawasan serta pengalaman hidupnya.
Cuma satu hal yang bikin frustasi, lapangan kerja yang minim.
"Kalau kita itu dicetak menjadi pekerja ya harusnya bisa bekerja. Kita sebagai lulusan universitas, terbelenggu dengan sistem... dianjurkan berpendidikan S1 untuk menopang jenjang karier tapi dunia kerja penuh diskriminasi dan tak sebanyak jumlah lulusannya."
Elfi Yandra bercerita tak punya pilihan saking sulitnya mencari kerja yang sesuai dengan latar pendidikannya. Apalagi, dia tulang punggung keluarga di rumah.
"Ya karena sudah kebutuhan dan sekarang ini cari pekerjaan susah banget. Jadi mau enggak mau harus disyukuri," ujarnya.
Dua tahun bekerja sebagai pramukantor, Elfi bilang sudah bisa menerima dan mulai terbiasa.
Ini karena upah yang didapatnya sesuai aturan ketenagakerjaan yaitu Rp2,3 juta per bulan, meskipun statusnya masih tenaga kontrak.
Keluarganya pun, klaimnya, tidak mempermasalahkan saat dia memutuskan bekerja di sana.
Namun, bukan berarti Elfi menyerah menggapai keinginannya. Ia bercerita sudah empat kali mencoba tes CPNS bahkan menjadi caleg di daerahnya, tapi belum berhasil. Begitu pula kala melamar ke perusahaan lain.
"Betul, sulit banget [mencari kerja], karena pemerintahan Prabowo ini ada kebijakan efisiensi, jadi perusahaan mengurangi karyawan seperti PHK," ujarnya.
Apa penyebab lulusan sarjana sulit dapat kerja formal?
Lembaga Penelitian Pengembangan Pendidikan (LP3) Anak Negeri, Wawan Sudarwanto, menyebut sukarnya mencari kerja seperti yang dirasakan pemuda-i sekarang tak bisa dilepaskan dari imbas perlambatan ekonomi Indonesia yang dimulai sejak 2020.
"Gara-gara pandemi Covid-19 kemarin itu (2021, 2022, 2023) jutaan usaha kecil dan menengah harus gulung tikar. Bahkan kalau merujuk pada hasil survei Kementerian Ketenagakerjaan, sekitar 88% perusahaan terdampak langsung oleh pagebluk."
"Pascapandemi, sejumlah industri di dalam negeri rupanya tak sepenuhnya pulih, terutama tekstil. Sektor ini masih dihantam oleh penurunan permintaan dalam negeri maupun luar negeri," kata Wawan Sudarwanto menyikapinya.
Belum lagi barang-barang impor ilegal maupun legal dari China membanjiri pasar Indonesia. Itu semua, lagi-lagi berujung pada badai pemutusan hubungan kerja (PHK).
Gelombang PHK ini sudah kelihatan pada 2022. Kala itu angka pemutusan hubungan kerja sudah lebih dari 25.000, menurut data Kementerian Ketenagakerjaan.
Kemudian pada 2023, angka itu naik dua kali lipat menjadi 64.855 dan setahun setelahnya melonjak hingga tiga kali lipat yaitu 77.965.
menurutnya, goyahnya industri manufaktur seperti tekstil-garmen sudah pasti merembet ke sektor-sektor lain, seperti teknologi dan jasa.
Dengan kata lain, tidak ada usaha yang benar-benar aman, menurut Wawan.
"Menurunnya sektor manufaktur berimbas ke sektor tersier atau turunannya seperti jasa pengiriman logistik, jasa desain, jasa pencetakan," jelasnya.
"Karena permintaan sepi, pasar fisik maupun e-commerce ikut sepi yang mana pekerjanya ada lulusan sarjana."
"Jadi ketika perekonomian secara keseluruhan turun, maka hampir bisa dilihat seluruhnya turun semua. Tidak bisa per sektor penurunan lapangan pekerjaan tersebut."
Lantas, apa strategi yang akan dijalankan pemerintah?
Badan Pusat Statistik (BPS) juga merekam badai PHK itu. Meskipun tercatat tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan SD, SMP, SMA, dan SMK mengalami penurunan dalam tiga hingga empat tahun terakhir.
Berkebalikan dengan lulusan diploma dan sarjana.
Tertera di situ, pada 2022, tingkat pengangguran terbuka lulusan diploma I/II/III sebesar 4,59% dan tercatat mengalami kenaikan di tahun 2023 yang mencapai 4,79%. Pada 2024, jumlahnya terus melonjak di angka 4,83%.
Sementara, tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan sarjana pada 2022 berada di 4,80%. Setahun setelahnya atau 2023 sebesar 5,15% dan pada 2024 kembali naik hingga 5,25%.
Tapi Wawan Sudarwanto bilang jangan senang dulu dengan penurunan angka pengangguran terbuka di tingkat pendidikan SD, SMP, SMA, dan SMK.
Pengamatannya mereka ini bukan berarti mendapatkan pekerjaan baru yang layak atau lebih baik.
Mereka semua, perkiraannya, turun kelas: bekerja di sektor pertanian alias jadi buruh tani.
"Yang sebelumnya buruh pabrik, mereka banyak ke sektor pertanian sekarang," jelasnya.
Begitu pula dengan para lulusan diploma dan sarjana, sebut Wawan.
"Sedangkan yang lulusan sarjana juga sama turun kelas, bergeser mencari pekerjaan informal seperti berdagang atau buka usaha kecil dan menengah (UMKM) karena lapangan pekerjaan di sektor formal semakin minim."
Bicara soal pembukaan lapangan kerja di sektor formal, data BPS menunjukkan selama periode 2019-2024 hanya tercipta 2,01 juta lapangan kerja.
Jumlah ini anjlok tajam dari periode 2014-2019 yang bisa menciptakan 8,55 juta lapangan kerja baru.
Sementara angka pekerja sektor informal di Indonesia terus meningkat setiap tahun, sejak 2019.
BPS mencatat dari 144,64 juta penduduk bekerja pada Agustus 2024, sebanyak 57,95% di antaranya, atau setara dengan 83,83 juta orang, bekerja pada kegiatan informal.
Hanya sekitar 60,82 juta jiwa atau 42,05% adalah pekerja formal.
Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik Satya Wicaksana, Larshen Yunus, mengatakan situasi yang terjadi di Indonesia saat ini bisa dibilang anomali.
Sebab jika dibandingkan negara-negara lain, seharusnya pekerjaan sektor informal menjadi penopang tambahan.
Namun di tengah minimnya lapangan pekerjaan sektor formal dan desakan bertahan hidup, menurut Larshen, banyak dari para lulusan pendidikan tinggi yang menjajal jenis pekerjaan informal apa pun yang tersedia—yang selama ini merupakan lahannya lulusan SD hingga SMA.
Entah menjadi asisten rumah tangga, pengasuh anak, sopir, pekerja pabrik, atau pramukantor.
Tidak lagi berbondong-bondong bekerja sebagai ojek daring seperti dulu.
"Tren gig economy masa keemasannya sudah mulai turun jauh dibandingkan sepuluh tahun lalu. Dulu bahkan orang yang punya pekerjaan rela keluar untuk jadi ojol, karena penghasilannya sangat tinggi," papar Larshen.
"Sekarang, kita sudah melihat itu enggak sustainable, ada penurunan pendapatan yang signifikan."
"Orang jadi tidak lagi tertarik masuk ke sini [ojek online], karena sudah terlalu banyak pengemudinya, sementara konsumennya mungkin sudah mentok jumlahnya."
"Artinya orang jadi berpikir ulang, sekarang masuk kemana? Akhirnya ke sektor informal."
Sialnya, kata Larshen, peluang mereka diterima sebagai pekerja informal juga kecil lantaran keahlian yang mereka punya tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.
"Misalnya lulusan universitas gitu ya, tapi yang dibutuhkan cuma asisten rumah tangga atau pengasuh anak, kan artinya yang dibutuhkan orang yang cekatan mengurus rumah tangga."
"Jadi belum tentu mudah bagi mereka [lulusan sarjana] masuk ke sektor informal. Karena yang dicari kemampuan spesifik, bukan kualifikasi pendidikan tertentu."
Tetapi LP3 Anak Negeri menilai timpangnya lapangan pekerjaan di sektor formal di Indonesia saat ini sudah mengkhawatirkan dan harus jadi alarm bagi pemerintah. Apalagi Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada 2030 mendatang.
Itu artinya, jumlah penduduk usia produktif atau tenaga kerja akan lebih besar dibandingkan penduduk usia non-produktif.
Problemnya hingga sekarang belum ada tanda-tanda perubahan kebijakan Presiden Prabowo yang mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mendukung bangkitnya industri manufaktur di Indonesia.
Malahan, gara-gara perang tarif dengan Amerika Serikat, pemerintah justru ingin membuka keran impor sebesar-besarnya dan merelaksasi kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)—yang sebelumnya dibikin untuk mendorong investasi asing menciptakan lapangan kerja baru di dalam negeri.
Belum lagi persoalan lesunya daya beli masyarakat di dalam negeri sebagai penyakit kronis lantaran telah berlangsung cukup lama.
"Tapi andaikata nanti kita sampai pada tahun 2030 dan masih berhadapan dengan perang tarif, maka kondisinya semakin sulit dan sangat mengkhawatirkan," jelas Wawan Sudarwanto mengamati.
Larshen Yunus, Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik Satya Wicaksana, juga mencemaskan hal yang sama.
Ketika para tenaga kerja dan pekerja lulusan sarjana ini terpaksa mencari pekerjaan informal, artinya mereka yang mayoritas dari kelas menengah ini tidak akan bisa mendapatkan penghidupan yang layak.
Bahkan untuk bertahan jadi kelas menengah saja, akan kepayahan.
Ujung-ujungnya, menurut Larshen, kemiskinan akan melebar dan berimbas pada kriminalitas.
"Kelas pekerja dan menengah ini akan jauh lebih sulit masa depannya."
"Sekarang mungkin orang masih bisa bilang, ini anomali saja, hanya cerita-cerita di media sosial. Tapi kalau ini tidak dijadikan sebagai alarm untuk melihat bahwa ada yang salah dengan industri kita, sektor pendidikan kita, maka bisa memburuk," jelasnya.
"Saya tidak mau dianggap terlalu pesimis, menakut-nakuti, tapi saya belum melihat terobosan yang ditawarkan pemerintahan Prabowo dalam lima tahun ke depan untuk menavigasi ini," ungkapnya.
Apa strategi pemerintah menciptakan lapangan kerja baru?
Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Arief Anshory Yusuf, mengakui cuitan yang bertebaran di media sosial soal lulusan diploma dan sarjana yang mengadu nasib menjadi pembantu rumah tangga maupun sopir merupakan cerminan dari timpangnya pekerjaan di sektor formal.
Dan hal itu adalah persoalan serius yang, klaimnya, tidak hanya menimpa kalangan pekerja dari latar belakang pendidikan tinggi, tapi semua lapisan.
Saat ini pemerintah sedang merancang strategi jangka pendek untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif agar tercipta lapangan kerja baru di sektor padat karya di Indonesia.
Pertama, yang sekarang sedang berjalan yakni menjajaki negosiasi dengan Amerika Serikat terkait keputusan tarif resiprokal Presiden Donald Trump yang berpotensi menekan ekspor tekstil Indonesia.
Ini karena Amerika Serikat menjadi negara tujuan utama ekspor pakaian dan aksesori dari Indonesia, dengan pangsa pasar sebesar 42,96%.
"Kebayang enggak kalau misalkan tiba-tiba berhenti? Nah itu kan semakin banyak menambah PHK," jelas Arief lewat sambungan telepon.
"Sekarang sedang dilakukan [negosiasi] dan sepertinya ada progres yang baik agar trade war ini tidak memperparah kondisi [PHK]."
Kedua, melakukan revitalisasi industri padat karya.
Meskipun katanya beberapa kalangan menyebut Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi—kondisi sektor industri atau manufaktur menurun drastis dengan banyaknya pabrik tutup dan badai PHK di banyak tempat—tapi, menurut Arief, masih ada peluang untuk menggiatkan kembali sektor ini.
Salah satu caranya membuat penetapan upah minimum menjadi predictable. Itu artinya, akan ada suatu rumus baku yang diklaim lebih adil tanpa perlu banyak negosiasi.
Ia menargetkan draf formula anyar tersebut rampung pada Juni nanti, sehingga November bisa segera dikeluarkan setelah berkomunikasi dengan serikat buruh.
"Upah minimum sekarang terlalu memberatkan," katanya.
"Mudah-mudah dengan formula yang predictable ini nanti investor di sektor-sektor padat karya akan lebih banyak masuk, sehingga penerimaan pekerjaan akan lebih banyak."
Ketiga, pemerintah sedang menyusun Program Strategis Nasional (PSN) khusus sektor padat karya.
Untuk menjalankan proyek ini, sambungnya, Presiden Prabowo setuju membentuk Satuan Tugas Revitalisasi Industri Padat Karya yang isinya dari lintas kementerian demi mempercepat realisasi industri tekstil dan garmen.
Dia bahkan mengeklaim saat ini sudah banyak investor dari luar negeri yang siap masuk untuk mengembangkan industri tekstil di Indonesia.
"Saya tidak tahu persis berapa banyak [investor yang siap masuk] tapi yang jelas kami sudah melakukan global survei ke calon-calon [investor] itu," paparnya.
"Beberapa perusahaan yang kami identifikasi ada Adidas, Puma, New Balance, H&M. Mereka berminat meningkatkan suplai dari Indonesia cukup besar."
Terakhir, menuntaskan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) Indonesia-Uni Eropa (EU) atau perjanjian dagang bilateral komprehensif yang dilakukan Indonesia dengan negara mitra.
Di sisi lain, tambah Arief, pemerintah juga akan menindak tegas impor tekstil ilegal.
"Kalau [perjanjian] ini selesai, maka nanti kita akan 0% tarif ekspor, sehingga bisa menyaingi Vietnam."
Dengan skema tersebut, Arief memperkirakan setidaknya ada ratusan ribu tenaga kerja baru yang bakal terserap.
Sayangnya, lapangan pekerjaan untuk tenaga kerja dengan keterampilan tinggi, ia bilang "belum memikirkan secara khusus".
"Kalau industri padat karya itu kan medium skill ya, artinya bukan berasal dari perguruan tinggi. Saya pikir, perlu juga untuk kita pertimbangkan bagaimana solusinya. Tapi kami belum kaji lagi," imbuhnya.
Untuk strategi jangka panjang, pemerintah akan menggodok paket deregulasi kebijakan yang menyulitkan masuknya investasi baru.
Berdasarkan pengakuan para pengusaha kepada Presiden Prabowo, ucapnya, mereka agak kesulitan berbisnis di Indonesia lantaran terlalu banyak birokrasi, perizinan, termasuk korupsi.
Masalah korupsi, kata Arief, disampaikan langsung oleh investor AS, Raymond Thomas Dalio, kepada Prabowo dalam perbincangan mereka. Menurut Raymond, korupsi menjadi hal yang paling ditakuti oleh investor.
"Ternyata Pak Prabowo sangat serius dengan apa yang disampaikan Ray Dalio. Setelah Ray pulang, itu [kasus korupsi] disikat semua, dari Pertamina dan lain-lain."
"Jadi memang salah satu upaya pemerintah agar korupsi itu segera diberesin. Tujuannya agar banyak investor masuk ke sini."
Adapun terkait pelonggaran kebijakan TKDN, ia menyebut hal itu merupakan keputusan yang tepat diambil oleh Presiden.
Sebab, syarat suatu barang boleh dijual di Indonesia jika memiliki nilai komponen dalam negeri seperti material atau jasa paling sedikit 40% adalah "mustahil", ungkapnya.
"Kenapa? karena Indonesia tidak terkait dengan global supply chain. Indonesia tidak melakukan reform yang baik sehingga orang juga tidak mau ke sini. Tidak mau investasi di sini."
Itu mengapa, baginya, ketimbang memberikan hukuman lewat syarat 40% TKDN lebih baik menyediakan insentif.
"Insentif itu misalkan TKDN-nya 20%, tapi pemerintah kasih penghapusan pajak sekian."
"Itu fleksibel, tetapi strategis. Kalau produk itu ada di sini, kita bisa mengadopsi teknologinya, bisa mempekerjakan anak-anak pintar Indonesia. Banyak banget yang tidak terhitung dengan nilai TKDN."
"Jadi sekali lagi ini bukan menghapus TKDN."
Anak muda pesimistis terhadap kondisi politik dan ekonomi
Anak-anak muda di Indonesia paling pesimistis terhadap situasi politik dan ekonomi di negaranya, karena aktivisme anak muda di kampus-kampus telah berkembang dan berperan penting dalam perubahan rezim.
"Kekhawatiran akan melemahnya demokrasi dan munculnya dinasti politik bisa menjelaskan mengapa kaum muda Indonesia kecewa terhadap para elite politik, terutama terhadap mantan Presiden Joko Widodo," kata Larshen Yunus yang juga sebagai Relawan Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN) itu.
Warga menyiapkan data untuk mengikuti informasi karir dan lowongan kerja.
Larshen menilai, melihat kondisi sekarang tidaklah mengejutkan dan selaras dengan situasi yang dihadapi anak-anak muda di Indonesia saat ini: sulit mencari pekerjaan, rentan di-PHK, dan harus bertahan di tengah tekanan ekonomi.
Diakuinya anak muda Indonesia sekarang mengaku khawatir dengan masalah pengangguran dan resesi ekonomi.
Selain itu, mereka juga punya kekhawatiran yang tinggi terhadap meluasnya ketimpangan ekonomi dan disparitas penghasilan.
"Kekhawatiran itu beralasan dan dapat dipahami. Persepsi ini muncul karena apa yang mereka hadapi memang seperti itu. Kalau dilihat data, PHK pada tahun lalu masif, dan banyak anak muda kesulitan mencari pekerjaan," kata Larshen.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2024 mengungkapkan bahwa hampir 10 juta penduduk Indonesia generasi Z berusia 15-24 tahun menganggur atau tanpa kegiatan.
Sebanyak 369.500 orang berusia 15-29 tahun juga putus asa mencari pekerjaan (hopeless of job).
Pemecatan hubungan kerja (PHK) juga masif terjadi. Tahun lalu, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat ada 80.000 orang yang terkena PHK.
Tetapi Larshen melihat penyebabnya, deindustrialisasi prematur menjadi salah satu penyebabnya.
"Kalau kita melihat geliat ekonomi di daerah-daerah semakin terkonsentrasi. Ada pertumbuhan ekonomi, tapi jauh dari mereka [anak muda] dan tidak semua anak muda di Indonesia itu berpendidikan tinggi," kata Larshen.
Tekanan ekonomi juga terlihat dari data lainnya yang menunjukkan penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024.
Sebaliknya kelas menengah yang rentan atau calon kelas menengah justru bertambah dari 128,85 juta orang pada 2019 menjadi 137,5 juta pada 2024. Sebanyak 25,22 juta orang Indonesia juga masih hidup dalam kemiskinan.
Di luar isu pengangguran dan ekonomi, survei juga menunjukkan bahwa lebih dari 90% anak muda Indonesia prihatin terhadap isu korupsi dan penegakan hukum.
tetapi Larshen berharap pemerintah tak boleh mengabaikan pesimisme yang muncul dari kalangan muda.
Pemuda lulusan sarjana kian susah cari kerja.
"Meskipun dari segi metodologi angkanya sangat kecil dan tidak bisa merefleksikan populasi secara nyata, paling tidak ini bisa menjadi gambaran bahwa keprihatinan terhadap situasi politik dan ekonomi yang semakin menguat," kata Larshen.
Menurutnya, ini menandakan bahwa pemerintah harus memberi perhatian lebih terhadap kepentingan anak muda.
"Anak muda biasanya penuh optimisme karena mereka baru memasuki usia produktif. Ini menjadi peringatan tentunya, kalau cita-cita pemerintah mau Indonesia Emas, yang memegang kan mereka. Ketika mereka pesimistis, itu punya risiko berbahaya," ujarnya.
Di sisi lain, Larshen mengatakan pesimisme ini juga menunjukkan bahwa anak-anak muda lebih mawas dan kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Terutama di tengah situasi politik Indonesia saat ini yang minim kontrol (checks and balances).
Setidaknya, harapannya mereka bisa lebih kritis dan bisa menjadi penyeimbang supaya pemerintah bisa terpacu untuk mengevaluasi kinerjanya. (*)
Tags : anak muda, pemuda dan pemudi, pemuda lulusan sarjana, pemuda susah cari kerja, pekerjaan, karir, pendidikan, pengangguran, Sorotan, riaupagi.com,