PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Jaksa penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Riau, menetapkan 4 orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Masjid Raya Senapelan, Pekanbaru.
"Nasib malapetaka menimpa 4 orang tersangka karena turut mengubah masjid bersejarah dan nasib mereka [4 tersangka] sudah diumumkan Korps Adhyaksa Riau pada Rabu 8 Maret 2023 lalu yang berujung diterali besi."
Keempat tersangka adalah Syafri KPA merangkap PPK, Ajira Miazawa selaku Direktur CV Watashiwa Miazawa.
Anggun Bestarivo selaku Direktur PT Riau Multi Cipta Dimensi dan Imran Chaniago selaku pihak swasta atau pemilik pekerjaan.
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) dan Humas Kejati Riau, Bambang Heripurwanto mengatakan, penetapan tersangka dilakukan usai tim jaksa penyidik melakukan gelar perkara atau ekspos.
“Dari hasil gelar perkara disimpulkan bahwa 4 orang ditetapkan sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi pembangunan fisik Masjid Raya Pekanbaru pada Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau Tahun Anggaran 2021,” kata Bambang.
Lanjut dia, penetapan tersangka tersebut oleh penyidik dilakukan setelah dikantongi 2 alat bukti yang cukup. Di antaranya keterangan saksi, bukti petunjuk, dan keterangan ahli.
“Tim Pidsus Kejati Riau telah melakukan pemeriksaan terhadap saksi sebanyak 16 orang,” ujarnya.
Dalam hal ini, Bambang menerangkan mengenai posisi kasus dugaan rasuah proyek di salah satu masjid tertua di Provinsi Riau tersebut.
Dugaan korupsi bermula saat tahun 2021, Dinas PUPR-PKPP Provinsi Riau melaksanakan kegiatan pekerjaan pembangunan fisik Masjid Raya Pekanbaru yang bersumber dari APBD dengan Pagu Anggaran sebesar Rp8.654.181.913.
Pekerjaan ini dilaksanakan oleh CV Watashiwa Miazawa dengan nilai kontrak sebesar Rp6.321.726.003,54.
“Pekerjaan dilaksanakan selama 150 hari kalender dimulai sejak tanggal 03 Agustus 2021 sampai dengan 30 Desember 2021,” sebut Bambang.
Terungkap pada tanggal 20 Desember 2021, PPK meminta untuk mencairkan pembayaran 100 persen, sedangkan bobot pekerjaan baru diselesaikan kurang lebih 80 persen.
Namun, yang dilaporkan bobot atau volume pekerjaan sudah 97 persen.
“Bahwa berdasarkan perhitungan fisik oleh ahli, bobot pekerjaan yang dikerjakan diperoleh ketidaksesuaian spesifikasi pekerjaan dan volume pekerjaan 78,57 persen,” urainya.
” Atau terdapat kekurangan volume pekerjaan. Akibatnya menimbulkan kerugian keuangan negara Rp1.362.182.699,62,” imbuh Bambang.
Ia memaparkan, para tersangka dijerat dengan primair, yakni pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Serta subsidair, pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Bambang menambahkan, untuk mempercepat proses penyidikan dan sebagaimana pasal 21 ayat 4 KUHAP secara subyektif merujuk pada kekhawatiran pada tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau akan melakukan tindak pidana lagi.
Dan secara objektif ancaman di atas 5 tahun penjara, maka yang para tersangka ditahan dan dititipkan di Rutan Kelas I Pekanbaru selama 20 hari ke depan.
Untuk informasi, Masjid Raya Senapelan, berlokasi di Jalan Senapelan, tak jauh dari kawasan Pasar Bawah, Kota Pekanbaru. Masjid Raya ini dulunya bernama Nur Alam.
Dugaan korupsi masjid bersejarah di ibu kota Provinsi Riau ini bukan pertama kali terendus penegak hukum.
Beberapa tahun lalu, Kejati Riau pernah juga melakukan pengusutan, dalam hal ini terkait pemugaran.
Diketahui Masjid Raya Pekanbaru atau Masjid Senapelan Pekanbaru merupakan salah satu masjid tertua di Riau yang terletak di Kota Pekanbaru, Indonesia.
Masjid ini dibangun sejak pada abad ke-18, tepatnya tahun 1762.
Masjid ini dibangun oleh Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, sebagai sultan keempat dari Kerajaan Siak Sri Indrapura, dan kemudian diteruskan pada masa Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah sebagai sultan kelima dari Kerajaan Siak Sri Indrapura.
Masjid ini didirikan pada masa kekuasaan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah ketika memindahkan dan menjadikan Senapelan (sekarang Pekanbaru) sebagai Pusat Kerajaan Siak.
Sesuai adat Raja Melayu pada saat itu, apabila terjadi pemindahan pusat kerajaan, maka harus diikuti dengan pembangunan Istana Raja, Balai Kerapatan Adat, dan Masjid.
Ketiga unsur tersebut wajib dibangun sebagai representasi dari unsur pemerintahan, adat dan agama yang biasa disebut Tali Berpilin Tiga atau Tungku Tiga Sejarangan.
Di akhir tahun 1762, dilakukan upacara menaiki ketiga bangunan tersebut. Bangunan istana diberi nama Istana Bukit, balai kerapatan adat disebut Balai Payung Sekaki dan masjid diberi nama Masjid Alam.
Masjid ini pertama kali bernama masjid Alam (diambil dari nama kecil sultan Alamuddin yaitu Raja Alam). Setelah itu namanya diganti menjadi masjid Nur Alam. Namun, akhirnya masjid ini diberi nama Masjid Raya Pekanbaru.
Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid ini mengalami beberapa renovasi. Yaitu pada tahun 1755, renovasi dilakukan dengan pusat pelebaran daya tampung masjid.
Lalu pada tahun 1810, pada masa pemerintahan Sultan Assaidis Syarif Ali Abdul Jalil Saifuddin, masjid ini kembali direnovasi dengan menambahkan fasilitas tempat berteduh untuk pada peziarah makam di sekitar area masjid. Dilanjutkan pada tahun 1940, ditambahkan sebuah pintu gerbang masjid yang menghadap ke arah timur.
Renovasi yang terakhir, terjadi pada tahun 1940, renovasi ini merupakan renovasi dari keseluruhan masjid yang bisa disebut sudah sangat tua. Renovasi ini dimulai dari tahun 1755 sampai tahun 1940. Ini artinya masjid tersebut sudah berusia hampir 2 abad lamanya.
Pernah di revitalisasi
Sejak 2009, masjid ini masuk proyek revitalisasi yang dilakukan Pemerintah Provinsi Riau.
Dengan adanya revitalisasi yang dikerjakan Dinas Pekerjaan Umum Riau, revitalisasi ini menghancurkan bangunan aslinya.
Akibat proyek tersebut, yang tersisa hanya 26 tiang bekas bangunan lama yang ada di sisi timur, selatan, barat, dan utara. Ada enam tiang penyanggah tengah yang kini tersisa dan dijadikan bentuk menara.
Hal ini membuat masjid ini menjadi satu-satunya masjid yang memiliki menara dalam bangunan. Menara itu terpaksa dibuat karena bekas sisa tiang penyanggah masjid masa lalu.
Tiang-tiang sisa bangunan lama memang masih dipertahankan. Tapi bentuk asli masjid sudah diratakan dengan tanah. Kini bangunan masjid itu begitu megah, sama seperti bangunan masjid modern masa kini. Dulunya, bangunan masjid bergaya arsitektur melayu kuno.
Dengan memertimbangkan masih adanya peninggalan sejarah dan budaya yang tersisa, Tim Ahli Cagar Budaya Nasional merekomendasikan untuk mengubah statusnya dari Bangunan Cagar Budaya menjadi Struktur Cagar Budaya, melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 209/M/2017 tentang Status Bangunan Cagar Budaya Masjid Raya Pekanbaru pada 3 Agustus 2017.
Setiap cagar budaya yang sudah ditetapkan mempunyai payung hukum, yaitu Undang Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dengan status barunya sebagai Struktur Cagar Budaya Masjid Raya Pekanbaru, tetap mendapatkan pelindungan seperti sebelumnya. (*)
Tags : masjid bersejarah, pemugaran bangunan masjid, masjid raya senapelan pekanbaru, masjid bersejarah, pemugaran masjid berujung malapetaka, pemugafan masjid berbau korupsi,