JAKARTA - Keputusan Presiden Joko Widodo menambah posisi Wakil Menteri Sosial dalam kabinetnya dinilai tidak efisien dan justru bertentangan dengan salah satu visinya untuk merampingkan sistem birokrasi.
Peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro, mengatakan kebijakan itu menunjukkan inkonsistensi Jokowi dalam mewujudkan efisiensi birokrasi.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sekaligus anggota Komisi VIII DPR RI, Buchori Yusuf, menilai tidak ada urgensi untuk menambah posisi wakil menteri sosial. Buchori menuding keputusan ini cenderung berlandas pada kepentingan politik, bukan pada kebutuhan untuk meningkatkan kinerja.
Namun, tudingan itu dibantah oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin. Menurut dia, hal itu merupakan hak prerogatif presiden yang dijamin oleh Undang-Undang.
"Kalau lihat kepentingan politik, Pak Jokowi itu kan selesai di periode kedua ini. Jadi alasan-alasan itu semua alasan murahan, alasan-alasan sampah, cari panggung saja, bikin kotor ruang publik saja," tutur Ngabalin dirilis BBC News Indonesia.
Pada pertengahan Desember lalu, Presiden Jokowi meneken Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 yang memungkinkan adanya jabatan Wakil Menteri Sosial.
Keputusan itu kian menambah gemuk kabinet Jokowi yang kini memiliki 16 wakil menteri, sebagian di antaranya merupakan politikus dan bagian tim pemenangannya pada pemilu lalu.
Jumlah wakil menteri itu meningkat drastis dibandingkan periode pertama kepemimpinannya pada 2014-2019, ketika Jokowi hanya memiliki tiga wakil menteri di dalam kabinetnya.
Presiden Jokowi juga telah membubarkan lebih dari 50 lembaga selama menjabat sebagai presiden, menghapus jabatan eselon 3 dan 4 atas nama reformasi birokrasi. Di sisi lain, kata peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro, Jokowi kesulitan menghindari 'pembengkakan' pada kabinetnya sendiri akibat 'tarik-tarikan politik'.
"Jumlah wakil menteri yang melampaui 14 ini menunjukkan bahwa fragmentasi birokrasi itu tetap terjadi," kata Siti kepada BBC Indonesia.
"Tentu presiden punya hak prerogatif memilih dan memberhentikan menteri maupun wakil menteri, tapi komitmen untuk melakukan reformasi birokrasi nasional kita secara konsisten itu yang kita perlukan," lanjut dia.
Tidak efisien dan menambah beban anggaran
Politisi PKS, Buchori Yusuf, berpendapat posisi wakil menteri sosial tidak dibutuhkan dan hanya akan menambah beban anggaran. Menurut Buchori, kinerja Menteri Tri Rismaharini juga cukup baik sehingga dinilai mampu mengemban tugas-tugas yang dibebankan kepadanya cukup dengan bantuan struktur yang sudah ada saat ini.
Buchori memandang ada isu lain yang lebih mendesak di Kementerian Sosial, yakni memberdayakan petugas lapangan dan para pendamping yang menjadi ujung tombak Kemensos merespons situasi darurat.
"Tugas dan tantangan Kemensos itu di lapangan, terutama di situasi dan kondisi cuaca sangat ekstrem ini, pasca-bencana, gangguan kejiwaan akibat situasi ekonomi, dan banyak lagi. Jadi sebenarnya yang perlu lebih diperkuat di tingkat bawah, bukan di level menteri," jelas Buchori.
Sementara itu, Anggota Komisi VIII DPR RI dari Partai Golkar, Ace Hasan, berpendapat keputusan presiden itu dapat diterima, mengingat Kementerian Sosial 'memiliki tugas berat' dalam merespons situasi pandemi dan berbagai bencana yang belakangan marak terjadi.
Namun penempatan posisi wakil menteri dinilai tidak memiliki parameter yang transparan sehingga menguatkan kesan politis dari kebijakan tersebut.
Pengamat politik, Siti Zuhro, mencontohkan beberapa kementerian yang memiliki tupoksi luas seperti Kementerian Dalam Negeri justru tidak memiliki jabatan wakil menteri. Sedangkan Kementerian Pariwisata yang dianggap cukup dipimpin seorang menteri, justru memiliki wakil menteri yang dijabat oleh putri dari Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedijbjo.
"Jadi parameter apa yang digunakan untuk seorang wamen itu direkrut? Seharusnya ada parameter tertentu yang digunakan sehingga itu bisa menjelaskan kepada publik bahwa wamen memang diperlukan, signifikan keberadaannya karena beberapa hal," ujar Siti.
Oleh sebab itu, Siti meminta Jokowi menjelaskan secara transparan alasan penambahan jabatan wakil menteri kepada publik untuk membuktikan bahwa keputusan ini bukan 'hasil cawe-cawe politik'.
"Sekali visi reformasi birokrasi itu ditancapkan, dampaknya tentu akan dilihat seberapa besar komitmen presiden. Wajar apabila publik mengevaluasi kenapa wakil menterinya banyak sekali, apa yang salah? Apakah memang tidak kompeten atau mengakomodasi kepentingan politik?," papar dia.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Zuliansyah, mengatakan sejauh ini belum terlihat efektivitas peran dari sebagian besar wakil menteri di kabinet Jokowi.
Dari belasan wakil menteri yang telah ditunjuk oleh Jokowi, dia menilai hanya beberapa yang urgensi kebutuhannya bisa dipahami oleh publik.
"Saya belum lihat ada assessment terkait ini. Setiap penambahan itu seharusnya ada assessment apakah lembaga itu butuh atau tidak, dengan penambahan jabatan baru itu kinerjanya lebih baik dan cepat? Kan itu belum kelihatan," kata Zuliansyah.
Politisasi birokrasi
Ketika mencalonkan diri untuk kedua kalinya sebagai presiden pada 2019, Jokowi pernah mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki beban dan siap melakukan beragam terobosan pada masa jabatan berikutnya.
Namun menurut peneliti BRIN Siti Zuhro, Jokowi nyatanya kesulitan menghindari intervensi politik di dalam kabinetnya sendiri justru pada periode kedua.
'Pembengkakan kabinet' Jokowi saat ini, kata dia, merupakan konsekuensi dari dukungan politik yang dia raih untuk memenangkan pemilu yang lalu.
Di satu sisi, Jokowi mau tidak mau mengakomodasi kepentingan pendukung politiknya melalui jabatan strategis. Sementara itu, ada target untuk menuntaskan program kerjanya secara cepat. Penunjukan wakil menteri dari ranah profesional dianggap sebagai solusi atas ini.
"Upaya merampingkan birokrasi yang kaya fungsi dan miskin struktur itu akhirnya tidak terjadi karena ternyata mengakomodasi kepentingan politik itu menjadi sesuatu yang niscaya," tutur Siti.
Selain itu, Siti menilai Jokowi terkesan ingin memelihara dukungan yang telah dia peroleh sebelumnya untuk menyongsong pemilu yang akan datang.
"Pemilu 2024 siapa pun ingin jadi king maker, apalagi pak Jokowi yang akan lengser, akan punya preferensi pada calon tertentu. Hal itu yang mungkin masih jadi pertimbangan politik sehingga kebijakan-kebijakannya bisa jadi terkait itu," papar Siti.
Siapa yang layak mengisi jabatan Wamensos?
Hingga berita ini ditulis, belum ada kepastian mengenai siapa sosok yang akan mengisi posisi wakil menteri sosial. Tenaga Ahli Utama KSP Ali Mochtar Ngabalin mengatakan hal itu akan menjadi keputusan penuh presiden.
Sejumlah pihak mendesak apabila posisi wakil menteri sosial akan tetap diisi, maka sebaiknya diisi oleh seseorang dari latar belakang profesional mengingat Menteri Risma sudah berasal dari partai politik.
Pengamat politik, Aisah Putri Budiarti, menuturkan salah satu pertimbangan presiden menunjuk wakil menteri sosial bisa jadi berupa kebutuhan merespons bencana dan situasi pandemi.
Oleh sebab itu, akan lebih baik apabila posisi wamensos diisi oleh seseorang yang berpengalaman di bidang itu.
"Ini yang perlu didorong agar presiden menempatkan orang yang tepat," kata Aisah.
Politisi PKS Buchori Yusuf juga menyampaikan desakan serupa dan berharap posisi wakil menteri tidak menambah ruwet alur birokrasi.
"Sebaiknya [jabatan wamensos] diisi orang-orang yang sudah tahu situasi, yang sudah berkecimpung lama di situ dibanding harus menghadirkan orang baru, saya khawatir bisa menghambat kinerja dan yang jadi korban adalah masyarakat miskin," ujar Buchori.
Wakil Menteri Kabinet Jokowi: Antara 'kompromi politik' dan 'pemborosan anggaran'
Pelantikan 12 wakil menteri yang jumlahnya empat kali lipat dari kabinet menteri Presiden Joko Widodo periode sebelumnya dianggap pengamat politik sebagai 'kompromi politik' dan 'pemborosan anggaran'.
Presiden Joko Widodo menyebut 12 wakil menteri (wamen) yang baru saja dilantik di Istana Negara, Jumat (25/10) siang, memiliki profil yang "sangat bagus dalam rangka memperkuat Kabinet Indonesia Maju".
Namun, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana memandang pelantikan 12 pembantu menteri ini merupakan 'kompromi politik' untuk mengakomodasi kepentingan pendukunganya, dan 'bertolak belakang' dengan efektivitas dan efisiensi birokrasi.
"Yang penting untuk diperhatikan adalah apakah fungsi wamen itu untuk mengakselerasi tugas menteri sesuai kebutuhan atau jangan-jangan hanya sebatas suatu kompromi," ujar Aditya, Jumat (25/10).
"Karena ini agak sedikit bertolak belakang dengan pandangan Pak Jokowi ketika pidato pelantikan beliau di DPR yang menyatakan beliau akan memangkas birokrasi, eselon-eselon ini akan dipangkas," lanjutnya.
Sementara, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiatri, mengatakan, jumlah wamen yang begitu banyak akan berdampak terhadap efektivitas kerja dan anggaran kementerian, dan alih-alih, mempersulit koordinasi di kementerian.
"Kalau keduanya tidak memiliki kapasitas yang baik dan mumpuni di bidang itu, itu justru akan memperumit proses birokrasi di kementerian itu untuk menjalankan program-program pemerintah," ujar Aisah.
Lima wakil menteri yang baru saja dilantik berasal dari partai-partai yang mendukung Jokowi. Dua wamen lain merupakan bagian dari tim sukses pemenangannya dalam pilpres lalu. Sementara sisanya, merupakan profesional non-partai.
Semata-mata mengakomodasi kepentingan politik?
Kepada para wartawan yang menemuinya sehari sebelum pelantikan wakil menteri, Presiden Jokowi menegaskan para wakil menteri ini diharapkan "betul-betul membantu menterinya".
Pengamat politik dari LIPI, Aisah Putri Budiatri mengatakan posisi menteri dan wakil menteri memang merupakan hak prerogeratif Presiden, namun perlu diperhatikan juga "apakah orang-orang yang ditempatkan Presiden tadi tepat sesuai dengan kebutuhan kapasitas orangnya atau semata-mata mengakomodir orang-orang yang mendukungnya ketika pemilu".
Keraguan itu ditepis oleh Zainut Tauhid Zaadi, politikus PPP yang juga merupakan wakil ketua MUI Pusat.
"Meski saya mewakili dari parpol dari PPP tapi darah saya NU tapi ketika saya menjabat, dilantik, kepentingan itu saya tanggalkan, demi kepentingan bangsa dan negara," ujar Zainut.
Dia mendapatkan penjelasan dari Presiden Jokowi bahwa dia ditugaskan untuk meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan di jalur madrasah dan pengembangan dakwah keagamaan.
"Dakwah ini harus dikelola dengan baik agar pelaksanaannya dilaksanakan sesuai ajaran dan tuntunan agama," kata dia.
Di pos Kementerian Agama, Zainut akan berduet dengan Fachrul Razi, bekas jenderal TNI Angkatan Darat yang pengangkatannya direspons negatif oleh Nahdlatul Ulama, ormas islam yang selama ini paling kerap mendapat jatah posisi itu.
Selain Zainut, satu politikus PPP lain, Suharso Manoarfa menduduki posisi Menteri PPN/Kepala Bapenas.
Sementara itu, politikus Partai Golkar, Jerry Sambuaga, akan membantu tugas Menteri Perdagangan Agus Suparmanto yang sama-sama belatar belakang partai politik.
Kepada para wartawan fokus tugasnya adalah untuk menuntaskan negosiasi perjanjian perdagangan, baik di kawasan regional dan global, serta "meningkatkan perdagangan kita di tingkat yang lebih tinggi lagi".
Sementara, Angela Tanoesoedibjo, putri Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo, ditunjuk sebagai Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Meski berasal dari partai politik, Angela menegaskan dia memiliki latar belakang yang bisa mendukung fungsinya sebagai pembantu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama.
"Saya mempunyai background manajemen di bidang media, dan juga di berbagai bidang lainnya, seperti retail, finance dan banyak unit lain yang saya pegang. Semoga ini bisa membantu saya untuk bekerja secara kreatif, cepat, efisien dan punya high impact yang tinggi sekali," jelas Angela.
Perempuan berusia 32 tahun ini menjadi orang termuda sekaligus satu-satunya perempuan yang menduduki posisi wakil menteri di Kabinet Indonesia Maju.
Selain berlatar belakang partai politik, dua orang yang menjadi bagian dalam tim pemenangan Jokowi pada pilpres lalu juga mendapat jatah posisi wakil menteri.
Budi Arie Setiadi, Ketua Umum Projo, relawan pendukung Jokowi dalam Pilpres 2019, ditunjuk sebagai Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
"Pak Presiden sudah memberi arahan anggaran yang dialokasikan pemerintah bagi pembangunan pedesaan dan desa tertinggal ini harus betul-betul bisa memberikan kemajuan yang berarti sehingga bisa memberikan kontribusi besar bagi pembangunan nasional," ujarnya.
Pengangkatan Budi Arie sempat menimbulkan kontroversi karena dua hari sebelumnya, dia baru saja mengumumkan pembubaran Projo karena apa yang disebutnya sebagai 'dinamika politik'.
"Kita mau pamit, tapi ditugaskan lagi, gimana dong. Berarti mau nggak mau kita harus.. karena Projo kan setia di garis rakyat dan tugas Pak Jokowi ini menegaskan sikap dan ideologi kita yang setia di garis rakyat," ungkap Budi Arie.
Terlepas dari latar belakang partai politik, Presiden Jokowi mengungkapkan sebagian wakil menteri lain yang berlatar profesional dianggap memiliki pengalaman yang panjang di bidangnya.
Dua orang yang memiliki pengalaman sebagai direktur utama Bank Mandiri, yakni Budi Gunadi Sadikin dan Kartika Wirdjoatmojo, ditunjuk sebagai pembantu Menteri BUMN Erick Thohir. Ini untuk kali pertama kementerian itu memiliki dua wakil menteri.
Jokowi beralasan, penunjukkan dua wamen itu lantaran portofolio perusahaan negara yang dimiliki Indonesia sangat besar, yakni sekitar 140 perusahaan dengan aset sekitar Rp8400 triliun, sehingga memerlukan pengelolaan yang sangat baik.
"Kita harapkan ada sebuah lompatan besar, dalam hal valuasi aset yang ada, saya sampaikan kepada mereka untuk mencari partner yang baik sehingga BUMN kita menjadi sebuah perusahaan korporasi yang memiliki reputasi yang baik di dunia global," ujar Jokowi ketika memperkenalkan kedua wakil menteri kepada para wartawan.
Ada juga mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, Mahendra Siregar yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Perdagangan dan Wakil Menteri Keuangan,
Pengalamannya dalam urusan perdagangan dan politik luar negeri, membuatnya dipilih sebagai Wakil Menteri Luar Negeri oleh Presiden Jokowi, menggantikan Abdurrahman M. Fachir di periode sebelumnya.
Oleh Jokowi, dia diberi tugas khusus melakukan 'diplomasi ekonomi'.
"Terutama yang berkaitan perjanjian perdagangan investasi... ada 15 negara yang kita perlukan perjanjian perdagangannya, terutama dengan Uni Eropa," ujar Jokowi.
Wakil Dayak dan Papua di kabinet
Jokowi pula memperkenalkan dua wakil menteri yang mewakili minoritas di Indonesia, yakni Alue Dohong, yang merupakan anak suku Dayak, dan John Wempi Wetipo, putra daerah Papua yang sempat menjadi Wakil Bupati Jayapura sebanyak dua periode.
Alue Dohong, pejabat Badan Restorasi Gambut, ditunjuk sebagai Wakil Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, mengungkapkan penunjukkannya sebagai wakil menteri merupakan "kehagiaan bagi Suku Dayak di Kalimantan".
"Dalam sejarah Indonesia merdeka, mungkin baru kali ini Suku Dayak ditawari posisi kabinet," ungkapnya.
Sementara, John Wempi Wetipo yang juga politikus PDI-P ditugasi menjadi wakil menteri PUPR terutama dalam hal pengawasan proyek-proyek infrastruktur.
"Terutama di Indonesia bagian timur," ujar Jokowi.
Berdampak buruk pada efisiensi dan efektivitas
Keberadaan wakil menteri dimulai pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebanyak 17 kementerian dilengkapi wakil menteri yang berasal dari kalangan profesional untuk membantu kinerja menteri.
Pada periode sebelumnya, Jokowi hanya menunjuk tiga wakil menteri untuk membantu menteri di sektor strategis, yakni Wakil menteri luar negeri, wakil menteri keuangan dan wakil menteri ESDM. Ketiganya berlatar belakang profesional.
Aisah Putri, peneliti LIPI, menegaskan tidak masalah wakil menteri merupakan rekomendasi partai atau orang yang mendukung ketika pemilu, asalkan orang-orang itu memiliki kapasitas di bidangnya.
"Kalau tidak itu akan berdampak buruk pada efisiensi dan efektivitas kerja pemerintahan juga nantinya."
Dengan menempatkan menteri yang begitu banyak, Aisah mengungkapkan itu akan berdampak terhadap efektivitas kerja kementerian karena koordinasinya menjadi dua kepala.
"Kalau keduanya tidak memiliki kapasitas yang baik dan mumpuni di bidang itu, itu justru akan memperumit proses birokrasi di kementerian itu untuk menjalankan program-program pemerintah," ujarnya.
"Kedua, ini bisa jadi pemborosan anggaran negara juga, apakah semua kementerian itu membutuhkan wakil menteri atau tidak itu kan bisa menjadi catatan," imbuh Aisah.
Berdasar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 176/PMK.02/2015 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya Bagi Wakil Menteri, hak keuangan wakil menteri yakni sebesar 85 persen dari tunjangan jabatan menteri sebagaimana diatur dalam Keppres Nomor 68 Tahun 2001 mengenai Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Negara Tertentu.
Merujuk aturan dalam Keppres itu, maka besaran gaji wakil menteri sekitar Rp 11,57 juta per bulan.
Wakil menteri juga memperoleh tunjangan kinerja sebesar 135 persen dari tunjangan kinerja pejabat struktural eselon IA dengan peringkat jabatan tertinggi.
Selain hak keuangan, wakil menteri juga memperoleh fasilitas kendaraan dinas setara dengan pejabat eselon IA, dan rumah jabatan dengan standar di bawah menteri namun di atas pejabat eselon IA.
Jika kementerian belum dapat menyediakan rumah jabatan, maka kepada wakil menteri tersebut diberikan kompensasi berupa tunjangan perumahan sebesar Rp 35 juta setiap bulan.
Selain itu, wakil menteri juga mendapat jaminan kesehatan yang setara dengan DPR, BPK, Komisi Yudisial, Hakim Mahkamah Konstitusi, DPD, Komisi Yudisial, hingga Hakim Agung Mahkamah Agung.
Cara untuk mengontrol pemborosan anggaran itu, kata Aisah, adalah dengan mengawasi 100 hari kerja kabinet, untuk memastikan program kementerian berjalan efektif.
"Yang harus kita perkuat adalah pengawasan dan kontrol terhadap kinerja kabinet untuk melihat apakah benar posisi menteri dan wakil menteri efektif atau tidak kerjanya, apakah programnya berjalan atau malah memperumit kinerja pemerintah dan membuang-buang anggaran negara," cetus Aisah. (*)
Tags : Penambahan Wakil Menteri, Tidak Efisien, Menambah Beban Anggaran,