Linkungan   2024/09/18 12:42 WIB

Penanganan Polusi Udara Global Masih Belum Merata, 'Warga akan Gugat Pemerintah dan Industri karena Indeks Kualitasnya Sudah Berbahaya'

Penanganan Polusi Udara Global Masih Belum Merata, 'Warga akan Gugat Pemerintah dan Industri karena Indeks Kualitasnya Sudah Berbahaya'
Para kaum muda mengunjuk rasa menentang penggunaan bahan bakar fosil di depan Konferensi Perubahan Iklim.

Penanganan kualitas udara global masih belum merata, warga akan gugat pemerintah dan industry.

LINGKUNGAN - Laporan Indeks Kualitas Udara Kehidupan (AQLI) menyebut Indonesia sebagai satu dari enam negara yang paling berkontribusi terhadap polusi udara global.

Sementara, sejumlah kelompok masyarakat sipil berencana melayangkan gugatan perwakilan kelompok alias class action karena masalah polusi udara yang dinilai semakin memburuk.

Indonesia, bersama dengan China, India, Pakistan, Bangladesh, dan Nigeria menyumbang 75% dari total beban polusi udara global karena tingkat polusi udara yang tinggi dan jumlah populasi yang besar.

“Tiga-perempat dari dampak polusi udara terhadap angka harapan hidup global berasal dari enam negara, Bangladesh, India, Pakistan, Tiongkok, Nigeria, dan Indonesia, di mana orang-orang kehilangan satu hingga lebih dari enam tahun usia hidup mereka karena udara yang mereka hirup,” kata Michael Greenstone, pendiri riset AQLI bersama rekan-rekannya dari Institut Kebijakan Energi (EPIC) Universitas Chicago dalam laporan yang dirilis pada Selasa (29/8).

Perhitungan angka harapan hidup yang terdapat dalam laporan AQLI merupakan kumpulan dari dua penelitian - Chen et al. (2013) dan Ebenstein et al. (2017) - yang melakukan eksperimen alami di China untuk menentukan dampak pencemaran udara pada angka harapan hidup alias life expectancy. 

Riset itu menemukan bahwa seseorang yang terpapar polutan halus dalam udara sebanyak 10 µg/m3 (PM 2,5) dapat memangkas angka harapan hidup sampai 0,98 tahun.

Juru bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menilai kesimpulan dari hasil studi yang dijadikan tolak ukur AQLI masih perlu dikaji lebih lanjut sebelum dapat ditentukan kebenarannya.

“Itu masih perlu dikaji dulu lagi oleh pakar mengenai studi ini, jangan sampai ini hanya [menjadi] asumsi saja,” kata Nadia kepada media.

Menurut laporan tersebut, di Banglades, negara dengan tingkat polusi tertinggi pada 2021, usia hidup warganya dapat berkurang hingga 6,8 tahun akibat pencemaran polusi udara PM2.5 yang jauh melebihi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Sementara, warga Amerika Serikat rata-rata hanya akan kehilangan 3,6 bulan dari usia hidup mereka akibat polusi udara.

Hal tersebut menunjukan masih ada disparitas nyata dalam perbandingan kualitas udara di negara Barat dan negara-negara lainnya.

Bahkan, China pun yang seringkali disebut sebagai negara yang sukses memerangi pencemaran udara, masih memiliki PR untuk mengurangi tingkat polusi udaranya yang masih enam kali lipat lebih tinggi dibandingkan standar WHO dan berpotensi memangkas 2,5 tahun dari usia hidup warganya.

Sementara, di Indonesia, saat pemerintah berupaya berupaya menangani masalah polusi udara di Jakarta, muncul rencana gugatan terhadap pemerintah terkait persoalan itu.

Pada Minggu (27/08), Forum Udara Bersih Indonesia yang terdiri dari sejumlah kelompok masyarakat sipil berencana melayangkan gugatan perwakilan kelompok atau class action terhadap pelaku sektor industri dan pemerintah atas kerugian ekonomi yang timbul dari masalah polusi udara yang dinilai semakin memburuk.

“Kita sudah cukup lama mengalami masalah pencemaran udara dalam krisis dan itu sudah bertahun-tahun. Ini baru terdeteksi karena desakan dari berbagai pihak. Sementara, masalah pencemaran udara sudah merugikan banyak pihak,” tutur Ketua Forum Udara Bersih Indonesia, Ahmad Safrudin, Senin (28/8).

Tingkat polusi udara Indonesia dibandingkan negara Asia lain?

Berdasarkan laporan AQLI, polusi udara yang berisi partikel halus (PM 2.5) berpotensi mengurangi usia hidup rata-rata warga Indonesia hingga 1,4 tahun dibandingkan jika kualitas udara di Indonesia memenuhi standar WHO, yakni 5 µg/m³.

Namun dalam beberapa minggu terakhir, polusi udara di Jakarta telah mencapai kisaran 35 µg/m³ hingga melebihi 50 µg/m³, khususnya pada periode Mei hingga September, menurut data terbaru dari AirNow.

Padahal jika dibandingkan dengan situasi saat 2021, saat tingkat polusi udara Kambodia dan Thailand meningkat 15,8% dan 5,5%, Indonesia justru mengalami penurunan sebesar 18,7% dengan rata-rata polutan halus dalam udara 30 µg/m³.

Sedangkan, Myanmar - negara yang paling berpolusi se-Asia Tenggara pada 2021, memiliki polusi partikel dengan konsentrasi 35 µg/m3, yakni tujuh kali lipat dari pedoman WHO.

Di Thailand, polusi partikel naik 5,5 persen dibandingkan pada 2019. Rata-rata nasional negara itu mencapai 23,2 µg/m3 pada 2021 dan angka tersebut sudah dipertahankan sejak pertengahan 2000-an.

Berpindah ke wilayah Asia Selatan, rata-rata penduduk Bangladesh, India, Nepal, dan Pakistan yang terkena tingkat polusi berpartikel mencapai 51,3 persen lebih tinggi dibandingkan pada awal abad.

Para penduduk di negara-negara tersebut berpotensi kehilangan 5,2 tahun dari usia hidup berdasarkan rata-rata kualitas udara pada 2021.

Sebagai contoh, berdasarkan data PM2.5 satelit 2021 yang baru dan direvisi, polusi di India telah meningkat dari 56,2 µg/m3 pada 2020 menjadi 58,7 µg/m3 pada tahun 2021, yakni 10 kali lipat dari pedoman WHO.

Apa dampak polusi udara terhadap harapan hidup penduduk Indonesia?

Jika diukur dari angka harapan hidup, polusi udara menjadi salah satu ancaman terbesar terhadap kesehatan manusia di Indonesia, bahkan mengalahkan penyakit kronis seperti diabetes dan infeksi ginjal.

Polusi udara di Indonesia mampu memangkas 1,4 tahun dari usia kehidupan rata-rata penduduk.

Sementara, diabetes dan infeksi ginjal menurunkan rata-rata harapan hidup sebesar 1,2 tahun. Di sisi lain, infeksi pernafasan terbukti dapat menurunkan angka harapan hidup sebanyak satu tahun.

Juru bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizhi mengatakan bahwa hasil studi tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut sebelum dapat ditentukan apakah kesimpulan tersebut benar atau tidak.

Sebab, Indonesia belum mengenal model pengukuran yang digunakan dalam riset AQLI milik Universitas Chicago sebagai tolak ukur angka harapan hidup.

“Itu masih perlu dikaji dulu lagi oleh pakar mengenai studi ini, jangan sampai ini hanya [menjadi] asumsi saja,” kata Nadia.

Kini, di DKI Jakarta—provinsi paling padat penduduk di Indonesia—10,7 juta penduduknya diperkirakan akan kehilangan 2,4 tahun dari angka harapan hidup mereka jika dibandingkan rata-rata harapan hidup yang dapat dimiliki jika kualitas udara sesuai dengan pedoman WHO.

“Jika Indonesia ingin mengurangi polusi partikel udara hingga sesuai standar WHO, penduduk di Jawa Barat, dengan jumlah penduduk 49,1 juta jiwa akan bertambah angka harapan hidup dua tahun,” tulis riset itu.

Akibat dampak kesehatan dan kerugian yang timbul dari masalah polusi udara, pada Minggu (27/8) sejumlah kelompok masyarakat sipil akan mengajukan gugatan perwakilan kelompok atau class action terkait polusi udara Jakarta.

“Pencemaran udara ini sudah merugikan banyak pihak, baik dalam hal penyakit maupun kerusakan-kerusakan benda akibat konstruksi serta [dampak pada] tanaman,” kata Ketua Forum Udara Bersih Indonesia Ahmad Safrudin, Senin (28/8).

Aliansi masyarakat sipil itu kini sedang mengumpulkan data kerugian ekonomi, khususnya dari segi biaya perawatan kesehatan yang harus ditembus warga yang terkena penyakit pernapasan akibat menghirup udara tercemar.

“Karena dampak pencemaran udara misalnya, karena pencemaran udara mereka kena ISPA, asma, bronkitis, pneumonia, kanker nasofaring, seperti itu. Kita cek dari medical record-nya, bukti-bukti pembayaran itulah yang nanti akan menjadi bukti kuat di pengandilan,” kata pria yang dikenal dengan sapaan Puput.

Berdasarkan kajian Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2010, kerugian ekonomi warga untuk perawatan kesehatan akibat polusi udara mencapai Rp38,5 triliun.

Pada 2016, nilai kerugian warga untuk perawatan kesehatan bahkan meningkat menjadi Rp51,2 triliun.

Puput menjelaskan bahwa meski sekarang fokus mereka berada pada menyelesaikan masalah polusi udara di kota Jakarta, mereka juga ingin mengakomodir warga yang tinggal di daerah-daerah luar Jakarta yang terdampak.

“Kita jangan bias dengan melindungi warga Jakarta[saja], tapi konteksnya adalah kita melindungi warga Cikarang, Cikampek, Bekasi dan lainnya dari pencemaran udara industri,” ungkapnya.

Gugatan tersebut, sambungnya, akan segera didaftarkan dalam dua minggu ke depan.

Saat ini sudah ada 50 warga yang terdaftar sebagai korban kerugian ekonomi akibat polusi udara.

Gugatan class action itu akan diajukan ke pengadilan dengan landasan hukum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam undang-undang itu, masyarakat dapat mengajukan gugatan ganti rugi jika pencemaran lingkungan merugikan warga.

Berdasarkan hasil riset AQLI, EPIC menyimpulkan bahwa polusi udara telah menjadi tantangan kesehatan eksternal global terbesar.

Namun, menurut mereka komunitas internasional masih belum sepenuhnya memberikan dukungan yang merata kepada negara-negara yang membutuhkan solusi segera.

Clean Air Fund, lembaga filantropis yang membantu menyalurkan dana dari pemerintah, organisasi dan pihak lainnya kepada negara-negara guna menyediakan udara bersih, memperkirakan dana sebesar US$63,8 juta telah digelontorkan pada 2021 untuk memerangi polusi udara global.

Secara rinci, seluruh benua Afrika hanya menerima kurang dari US$300.000 dari dana sukarela untuk menangani masalah polusi udara.

Padahal, negara-negara Afrika seperti Republik Demokratik Kongo, Rwanda, Burundi, dan Republik Kongo termasuk di dalam sepuluh negara paling tercemar di dunia.

Kemudian, US$1,4 juta disalurkan untuk negara-negara Asia, kecuali China dan India yang masing-masing menerima dana tersendiri US$5,94 juta untuk China dan US$14,21 juta untuk India.

Sementara, Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada menerima US$34 juta dari dana donasi global.

Lebih dari itu, kebanyakan negara yang sedang berupaya memerangi polusi udara belum memiliki infrastruktur yang memadai untuk membuat kebijakan yang efektif.

Kenyataannya, Beberapa negara masih belum memiliki data yang lengkap berupa hasil riset maupun dari alat untuk memonitor dan mengukur kualitas udara.

Hanya sekitar 6,8% dari negara di Asia memiliki teknologi untuk memonitor kualitas udara secara langsung alias real time, dan hanya 3,7% dari negara di Afrika, dan 19 persen di Amerika Latin, memiliki data pemerintah yang lengkap terkait kualitas udara.

Sementara, informasi akurat tentang kualitas udara tersedia di 69,2% dari negara-negara di Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada. (*)

Tags : penanganan polusi udara, polusi udara global, warga akan gugat pemerintah dan industri, indeks kualitas udara berbahaya, polusi, polusi udara, kesehatan, lingkungan,