Riau   29-05-2025 12:23 WIB

Sengkarut Kawasan Hutan Diharap Bisa Solusi Pamungkas di Bumi Pertiwi, 'Tapi Sebaliknya Malah jadi Bikin Jantungan Setiap Orang'

Sengkarut Kawasan Hutan Diharap Bisa Solusi Pamungkas di Bumi Pertiwi, 'Tapi Sebaliknya Malah jadi Bikin Jantungan Setiap Orang'

PEKANBARU - Penertiban Kawasan Hutan diharap akan menjadi solusi pamungkas atas sengkarut kawasan hutan yang terjadi di Bumi Pertiwi. 

"Penertiban Kawasan Hutan jadi bikin jantungan setiap orang."

"Di Riau, yang sampai tahun 2016 kawasan hutannya masih berstatus penunjukan --- ada 40 ribu hektar kebun sawit eks transmigrasi yang disosor kawasan hutan," kata Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (ASPEKPIR), Setiyono.

"Penertiban kawasan hutan dibilang sengkarut lantaran kebanyakan, penertibannya sudah nyosor ke lahan-lahan milik masyarakat."

"Tak hanya kepada lahan yang suratnya masih sebatas tekenan kepala desa atau Ninik Mamak, tapi juga lahan-lahan yang suratnya sudah berlambang garuda keluaran otoritas pertanahan; Badan Pertanahan Nasional (BPN)," kata Sutiyono sambil menyodorkan data sengkarut lahan di kawasan hutan ini.  

Menurutnya, semua lahan terancam tidak bisa ikut mencicipi duit Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Sebab salah satu syarat untuk mendapatkan duit hibah yang bersumber dari Pungutan Ekspor (PE) itu, areal kebun tidak boleh berada dalam kawasan hutan. 

Dia mencotnothkan, di Dusun Toro Jaya Desa Lubuk Kembang Bunga Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan, Riau, sejak tahun 2000-an sudah bermukim masyarakat. Tapi tahun 2014, areal ini ditetapkan sebagai bagian dari Taman Nasional Teso Nilo (TNTN). 

Orang-orang disana cuma kebagian cerita, tidak pernah diajak melakukan penataan batas yang menjadi bagian paling vital dari proses penetapan Taman Nasional itu, sama vitalnya dengan proses penetapan kawasan hutan biasa. 

Aturan tentang ini, bisa di tengok pada pasal 14 dan 15 Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 16-22 Peraturan Pemerintah 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan.  

Cerita Parubahan Hasibuan, Kepala Desa Ujung Gading Julu, Kecamatan Simangambat, Kabupaten Padang Lawasan Utara Provinsi Sumatera Utara (Sumut) malah lebih miris lagi. 

Sewaktu menjadi saksi pada sidang Mahkamah Koonstitusi terkait Pengujian Undang-Undang 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan*1 pada Jumat pekan lalu, lelaki 47 tahun ini bercerita bahwa semua lahan di desanya berada di dalam kawasan hutan.

Padahal dia lahir, besar dan bahkan menjadi kepala desa di sana. 

Sempat juga mereka mengajukan pelepasan. Tapi tak jelas rimbanya. Beda dengan perusahaan yang datang dan kemudian mengusulkan sebahagian lahan di desa itu menjadi perkebunan kelapa sawit.

Tak butuh waktu lama Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan langsung bisa ada. 

Cerita di atas masih hanya segelintir. Sebab bila semua lahan-lahan yang disosor oleh kawasan hutan di negeri ini dirunut, malah pusing yang membaca. 

Yang pasti, bertahun-tahun masyarakat menjerit ulah kawasan hutan ini, tapi teriakan itu berakhir di langit. Samalah ini kayak membentur labirin. Membal! 

Tak harus dipungkiri, ada juga jeritan itu terjawab dengan iming-iming Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Hanya saja, kebanyakan mentok di penantian. 

Persis 5 Oktober 2020, DPR mengesahkan Undang-Undang 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK)*2.

Nasib masyarakat yang disosor kawasan hutan ini malah semakin memprihatinkan. 

Sebab mereka justru harus mau menerima hukuman lewat skenario yang disebut keterlanjuran, ultimumremedium; sanksi administratif alias denda melalui skema pasal 110A dan 110B. 

Pokoknya, kebun sawit yang sudah ada di kawasan hutan sebelum UUCK lahir, diselesaikan pakai skema ultimum remedium itu.    

Mereka yang memiliki tanah maksimal 5 hektar dan sudah dimiliki minimal 5 tahun, tidak dikenai denda. Tapi yang punya luasan lebih dari itu, wajib masuk dalam skema pasal 110A dan 110B tadi. 

Yang masuk 110A, setelah bayar denda, kawasan hutan pergi dari lahannya. Tapi bagi yang masuk 110B, setelah bayar denda, masyarakat hanya boleh memakai lahan itu selama satu daur tanaman. 

Meski harus mengaku salah walaupun belum tentu salah dan terasa berat nya besaran denda, beribu orang juga yang mendaftar keterlanjuran itu. Mereka nampak pasrah.

"Dari pada kebun leong, toh denda itu untuk negara nya," begitulah kira-kira cara berpikir.

Yang sudah mendaftar, mereka kemudian mendapat SK Data dan Informasi (Datin) Subjek Hukum yang diteken oleh Menteri LHK, di masa itu.  

Tapi masyarakat yang menguasai maksimal lima hektar, hanya segelintir yang mendaftar.

Tak tahu dan tak paham cara mendaftar, menjadi musababnya. Sampai sekarang nasib mereka yang berladang 5 hektar ini, tak jelas rimbanya. 

Dapat SK Datin, bernapas lega jugalah mereka. Minimal sudah ada senjata untuk menangkis oknum-oknum yang selama ini mencari untung atas status kawasan hutan yang nyosor di ladang mereka itu. 

Hanya saja, begitu bulan berganti tahun tapi belum juga ada kejelasan atas penyelesaian sosoran kawasan hutan tadi masyarakat pun mulai bertanya-tanya. 

Padahal dasar hukum untuk itu sudah ada; Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan. 

Omongan yang berseliweran menyebut; urusan masyarakat belum bisa diberesi lantaran harus menyelesaikan urusan lahan perusahaan dulu. Masyarakat manggut mendengar dalil itu.   

Tahun kembali berganti, tapi nasib masyarakat yang sudah kadung mendaftar keterlanjuran itu, masih juga belum jelas. 

Di tengah kegalauan yang sudah meninggi, Januari lalu, muncullah yang namanya Penertiban Kawasan Hutan tadi. Banyak lembaga di sana. 

Orang-orang kemudian beranggapan bahwa hadirnya Penertiban Kawasan Hutan ini adalah untuk memberesi penyelesaian keterlanjuran yang masih tertunda itu. 

Dugaan ini didukung pula oleh permintaan Presiden di berbagai kesempatan agar semua pihak melindungi sawit, sebab sawit adalah aset yang sangat berharga.   

Sebahagian orang malah beranggapan lebih jauh lagi.

Bahwa lantaran banyak lembaga di sana, tentu mereka akan punya waktu dan kesempatan untuk sama-sama mengecek kebenenaran atas kawasan hutan itu.

Syukur-syukur, klaim sepihak kawasan hutan, bisa diluruskan. 

Sayang, anggapan itu benar-benar keliru. Penertiban Kawasan Hutan ternyata justru semakin menguatkan sosoran kawasan hutan tadi. 

Yang membuat orang-orang bergidik dan bahkan panik, mereka yang sudah mengantongi SK Datin tapi namanya tidak masuk dalam SK 36 tahun 2025*3 tadi, benar-benar tidak dianggap.

SK Datin itu dibilang tak berlaku.

Konsekwensinya, lahan kebun sawit yang disosor kawasan hutan itu, diambil alih Negara. Mau menolak atau manut, pilihan yang ada cuma itu. Sebab lagi-lagi, lantaran kebun itu di kawasan hutan, berarti lahan kebun itu milik Negara. Omongan ini dibumbui pula dengan dalil Pasal 33 UUD '45. 

Uniknya, setelah diambil alih, lahan kebun sawit itu ternyata tidak langsung dikembalikan pada fungsinya; kawasan hutan. 

Tapi justru diberikan kepada perusahaan untuk dikelola.

Perusahaan yang 15 Januari 2025 lalu baru saja bereinkarnasi dari perusahaan konstruksi menjadi perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Apakah status lahan kebun sawit itu masih tetap kawasan hutan atau tidak, sampai tulisan ini tayang, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni belum menjawab pertanyaan itu melalui whatsapp.  

Terkait SK 36 tadi, janggal juga sebenarnya. Sebab telah bertolak belakang dengan skema keterlanjuran tadi. Lagi-lagi, pada skema keterlanjuran, tidak ada istilah ditolak, tapi diberikan kesempatan; minimal satu daur. 

Kini, semua orang yang lahannya dianggap berada dalam kawasan hutan, benar-benar jantungan. Terlebih yang sudah dipasangi plang. 

Tak hanya mereka yang cuma mengantongi surat lahan yang diteken kepala desa, tapi juga yang sudah mengantongi sertifikat hak milik. 

Nyali mereka benar-benar mengkeret. Maklum, dalam situasi itu, tidak hanya sipil penegak hukum yang mereka hadapi, tapi juga militer. 

Dan yang membikin kondisi itu semakin menakutkan ya itu tadi, tak ada pilihan yang bisa dipilih. Sebab menolak atau tidak, keputusan hanya satu; atas nama negara, lahan diambil.  

Makin ke sini, lahan yang bakal diambil alih dan kemudian diserahkan ke perusahaan yang masih orok tadi, tidak lagi hanya yang berluasan ratusan hektar, tapi juga yang puluhan hektar. 

Tengok sajalah ke Dusun Toro Jaya sana, juga Ujung Gading Julu dan bahkan tetangganya, Simangambat Julu, di Padang Lawas Utara Provinsi Sumut sana. 

Banyak yang kemudian berharap agar penertiban kawasan hutan ini adalah kerja-kerja yang berkeadilan.

Selain mengecek betul akan kebenaran kawasan hutan tadi, juga menaruh harap agar urusan keterlanjuran yang mandeg, dapat segera dituntaskan. Sebab Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 2021 telah mengatur itu. 

Rela membayar denda, tentu menjadi bukti akan kecintaan mereka kepada Tanah Air. Dan sebaiknya, kerelaan anak bangsa itu, dapat dihargai. 

Bila urusan legitimasi kawasan hutan dan pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 2021 itu beres, selanjutnya, Negara melalui pemerintah, silakan membuat aturan-aturan pajak atau pungutan yang masuk akal demi menambah pundi-pundi negara dari sawit. Tak terkecuali pajak atas tanah dan bahkan air. 

Dipastikan mereka akan mau menjalankan aturan-aturan itu. Toh harga sawit mereka berkurang antara Rp250 hingga Rp350 per kilogram demi yang namanya Pungutan Ekspor (PE), sudah direlakan selama bertahun-tahun.    
 
Duit hasil PE itu, puluhan triliun rupiah mengalir ke biodiesel dan kemudian dijual Pertamina. Duit yang mengalir tadi tak kembali lagi meski biodiesel sudah terjual dalam skema solar subsidi dan solar industri.  

Dan oleh sawit mereka pula, tahun lalu, tak kurang dari Rp440 triliun devisa ekspor sawit masuk ke kocek negara. Belum lagi lebih dari Rp140 triliun penghematan devisa didapat akibat skema penggunaan biodiesel tadi. 

Namun bila kesempatan itu benar-benar telah tiada, maka peristiwa ini, bisa jadi akan menjadi catatan kelam dalam sejarah pertanahan dan perkebunan di Bumi Pertiwi. (*)

Catatan:

1. Undang-undang ini telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-undang.   
2. Telah mengalami perubahan melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 dan Perppu Nomor 2 Tahun 2022.
3. Tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Yang Terbangun Dalam Kawasan Hutan Yang Tidak Memiliki Perizinan di Bindang Kehutanan Yang Berproses Atau Ditolak Permohonannya di Kementerian Kehutanan. 

Tags : kawasan hutan, riau, penertiban kawasan hutan, sengkarut kawasan hutan di riau, satgas pkh, kawasan hutan jadi kebun sawit, pungutan ekspor dari sawit,