PENGALAMAN traumatis di masa lalu sebelum melakukan transisi menjadi transpuan diakui Alegra Wolter menjadikannya dokter yang lebih bisa berempati kepada pasien-pasiennya.
Suatu siang pada pertengahan Desember lalu, belasan transpuan dari salah satu komunitas transgender di Jakarta, Yayasan Srikandi Sejati, berkumpul untuk berdiskusi dengan dokter yang mereka tahu juga merupakan seorang transpuan.
Tema siang itu menyangkut pentingnya pemberitahuan terhadap pasangan seksual, apabila suatu waktu mereka terinfeksi HIV. Dengan demikian, status kesehatan pasangan seksual mereka bisa diketahui lebih dini sekaligus mencegah penularan lebih lanjut.
Diskusi itu berjalan hidup. Beberapa peserta dengan terbuka menceritakan pengalaman dan situasi yang kerap dihadapi transgender, termasuk risiko terinfeksi HIV lantaran kerap berganti pasangan sebagai pekerja seks.
Alegra Wolter, dokter itu, menanggapi pertanyaan-pertanyaan dengan sabar dan tanpa penghakiman. "Kita tidak perlu bawa-bawa isu moral, orang tertular [HIV] bukan karena moral atau apa, tapi karena enggak tahu. Kalau tahu pasti enggak akan dilakukan," kata Alegra di sela-sela diskusi.
Alegra menyadari bahwa mayoritas transgender tidak seberuntung dirinya yang bisa mengakses pendidikan dan pekerjaan formal. Tetapi sebagai seorang transpuan, dia pun telah berjuang menghadapi stigma dan tekanan sosial atas identitas gendernya.
Pengalamannya sebagai transpuan lah yang membuat dia berprinsip untuk menjadi seorang dokter "yang lebih berempati". "Identitas gender saya telah membawa saya pada pemahaman yang lebih toleran terhadap perbedaan dan tanpa penghakiman tentunya," kata Alegra dirilis BBC News Indonesia.
"Karena dalam kedokteran, yang paling penting adalah empati, bagaimana kita bisa memahami individu lain dan juga membantunya secara medis," lanjut dia.
"Saya pernah berdoa, 'Tuhan, mohon ubah saya agar tidak feminin lagi'"
Alegra terlahir sebagai seorang laki-laki. Suatu hari, ketika dia berusia empat tahun, Alegra pergi berlibur ke Bali bersama keluarganya dan mengunjungi sebuah taman yang ditumbuhi bunga-bunga liar. Sosok Alegra kecil sangat menyukai bunga. "Saya ingat saya memegang bunga itu di tangan saya dan merasa, 'bunga ini menggambarkan diri saya'," kenang Alegra.
"Itu bukan sesuatu yang bisa saya deskripsikan bahwa 'oh saya adalah seorang transgender', tetapi ada perasaan bahwa saya berbeda."
Sebagai anak laki-laki, Alegra memiliki pembawaan feminin yang menurutnya muncul secara alamiah. Tetapi bagi lingkungan sekitarnya, hal itu dianggap sebagai sesuatu yang 'salah'.
Pembawaannya yang feminin itu membuat Alegra dirundung oleh teman-teman sebayanya. Dia sempat mengalami depresi, kejang absans, hingga dibawa ke psikolog dan psikiater oleh keluarganya. Namun upaya itu tidak menolong keadaannya.
Suatu hari, Alegra bahkan dibawa ke dokter dan disuntikkan hormon testosteron. "Itu malah membuat saya lebih depresi. Saya merasa identitas saya adalah perempuan, tapi malah diberikan hormon yang memaskulinisasi," kata Alegra.
Pengalaman-pengalaman traumatis itu membuat Alegra menganggap femininitasnya sebagai sesuatu yang 'buruk'. Dia menjadi membenci dirinya sendiri. "Saya ingat sekali waktu saya SD, itu saya berdoa kepada Tuhan, saya beli balon, balon helium yang bisa terbang ke langit, waktu itu saya tempelkan surat 'Tuhan mohon untuk ubah saya agar tidak feminin lagi'," tutur dia.
Seiring beranjak dewasa, Alegra mulai memahami bahwa yang dia rasakan adalah gender dysphoria, yakni sebuah kondisi di mana seseorang merasa identitas gender-nya berbeda dengan jenis kelamin saat dia dilahirkan. Namun pada saat itu, Alegra memilih mengubur dalam-dalam perasaannya. Hal itu justru menyebabkan kondisi mentalnya memburuk.
Alegra bercita-cita menjadi seorang dokter. Pengalamannya dirundung hingga menjadi korban kekerasan seksual saat masih kecil telah membawanya sampai pada keinginan itu. Dengan menjadi dokter, Alegra merasa dia bisa membantu banyak orang. "Saya merasakan posisi sebagai pasien dan itu tidak enak ya, sehingga saya menyadari pentingnya memperlakukan orang lain dengan respect and dignity ," ujar dia.
Dia kemudian mengambil kuliah kedokteran di salah satu universitas swasta di Jakarta. Pada masa kuliah itu, setelah sempat mengubur dalam-dalam perasaan terkait identitas gendernya, Alegra mengaku muncul satu momen di mana dia bertemu seorang dosen yang meminta para mahasiswanya untuk tidak merundung seseorang dengan identitas gender berbeda.
Alegra merasa dia bisa berbicara terkait situasinya kepada dosen tersebut. Sejak saat itu, keinginannya untuk bertransisi menguat, tetapi dia mengatakan kesulitan menemukan pelayanan medis yang bisa mengakomodasi kebutuhannya. Beberapa pihak juga menyarankannya menunda transisi setelah lulus kuliah kedokteran.
Namun bagi Alegra, tidak ada pilihan lain yang bisa menghentikan pergolakan batinnya selain bertransisi dan "menjadi dirinya sendiri". "Yang tidak mereka ketahui adalah (keinginan) itu ibarat sudah ada di ujung ubun-ubun, itu perkara hidup dan mati bagi saya," kata Alegra.
"Saya merasa lebih baik saya transisi atau mengakhiri hidup saya. Itu sangat menyedihkan untuk orang bisa berpikir memilih menjadi dirinya sendiri atau mengakhiri hidup."
Alegra akhirnya memutuskan untuk bertransisi, sebab bagi dia, hidupnya masih layak diperjuangkan. "Sebelumnya saya melihat kehidupan itu seperti hitam putih, tapi setelah saya bertransisi saya mulai melihat warna-warna kehidupan," tuturnya.
Bagi Alegra, momen wisuda menjadi salah satu yang paling berkesan dalam hidupnya. Saat itu, Alegra untuk pertama kalinya tampil menggunakan kebaya. Dia akhirnya merasa bisa menjadi dirinya sendiri di hadapan banyak orang.
Lebih dari itu, Alegra juga menjadi transpuan pertama yang terbuka dengan identitas gendernya dan lulus pendidikan dokter di kampusnya. Pencapaian itu dia raih setelah sepanjang masa kuliah, dia merasa lingkungan pendidikannya masih "kebingungan" menghadapi seorang transgender.
Alegra mengaku, dia berulang kali ditegur atas hal-hal yang bersifat pribadi, salah satunya cara berpakaiannya. Hal itu, lanjutnya, membuat dirinya semakin tertekan secara emosional. "Kadang saya merasa banyak teman-teman di pendidikan tinggi yang enggak tahu bagaimana menghadapi saya," kata Alegra.
"Itu karena mereka belum pernah lihat ada transgender yang sampai ke pendidikan dokter."
Tetapi di tengah momen pembuktian itu, Alegra sendiri sempat ketakutan bagaimana identitas gendernya akan mempengaruhi langkah karirnya. Kekhawatiran yang sama juga datang dari keluarganya terkait keputusan untuk bertransisi.
"Mereka (keluarga) takut anaknya bisa enggak mendapatkan pekerjaan yang layak, tetapi saya berhasil mematahkan itu semua ketika saya lulus dan akhirnya bekerja. Itu adalah momen pembuktian saya," ujar dia.
"Seiring berjalannya waktu saya ketemu kolega yang open minded, saya bisa melayani tanpa diusik atau diperdebatkan identitas gender saya. Saya merasa dilihat sebagai manusia yang utuh dan bagi saya itu yang terpenting."
Alegra kini berpraktik sebagai dokter umum di salah satu klinik di Jakarta dan bekerja di sebuah perusahaan rintisan (start up) kesehatan. Di sela-sela karir profesionalnya, Alegra meluangkan waktu sebagai relawan di komunitas-komunitas LGBT untuk mengedukasi mereka terkait isu-isu kesehatan seperti HIV.
Dia juga memilih untuk terbuka dengan identitas gendernya. "Saya yakin ada orang lain di luar sana yang mungkin mengalami kesulitan yang mirip dengan saya, kalau saya bisa menjadi aspirasi positif bagi mereka, tentu itu suatu kehormatan bagi saya," kata dia.
"Saya ingin pengalaman pribadi saya menjadi sebuah kisah tentang harapan, keberanian, dan penerimaan," ujarnya.
Di tengah stigma dan diskriminasi yang melekat, menemukan pelayanan medis yang ramah transgender bukan hal yang mudah di Indonesia. Hal itu dirasakan oleh Rina, bukan nama sebenarnya, yang sedang mendampingi proses transisi anaknya menjadi seorang perempuan.
Sekitar satu tahun yang lalu, anak dari Rina yang berusia 20 tahun membuka diri kepada keluarganya bahwa dia mengalami gender dysphoria.
Sama seperti Alegra, anak Rina terlahir sebagai seorang laki-laki, tetapi merasa identitas gendernya adalah perempuan.
Keluarga Rina memutuskan untuk mendukung penuh keputusan anaknya untuk mengafirmasi identitas gendernya, tetapi penghakiman justru datang dari tenaga medis yang mereka temui.
"Pernah dia ke psikolog ada penolakan, 'mungkin kamu stres karena enggak ada kegiatan' jadi pikirannya ke situ (gender dysphoria)', atau dibilang karena putus cinta atau apa lah," kata dia.
Penghakiman serupa juga pernah didapatkan anaknya dari beberapa dokter spesialis yang harus dia temui dalam proses transisi gender. "Ada juga terakhir dia pergi ke dokter yang seharusnya membimbing ya, dokternya malah men-judge, 'ngapain kamu kayak begini, agama kamu apa?'"
"Jadi anak saya stres kalau mau ketemu dokter, berpikirnya nanti diomongin apa lagi? Kalau ada janji dengan dokter, malam sebelumnya dia enggak bisa tidur," papar Rina.
Rina akhirnya mencari tahu mengenai dokter yang ramah transgender di Jakarta, hingga akhirnya berkenalan dengan Alegra dan melanjutkan konsultasi dengannya terkait gender dysphoria yang dia alami.
Sebagai seorang transpuan, Alegra dianggap lebih bisa memahami apa yang dilalui oleh anaknya. Padahal menurut Rina, seluruh tenaga medis seharusnya memberi pelayanan yang setara untuk kelompok minoritas seperti transgender.
Sebagai seorang transpuan di dunia medis, Alegra kini mengaku memperjuangkan agar sistem kesehatan di Indonesia bisa menjadi lebih inklusif. Dengan demikian, para transgender bisa merasa lebih nyaman untuk mengakses layanan kesehatan tanpa khawatir dihakimi.
Akses kesehatan adalah hal krusial, mengingat transgender di Indonesia menghadapi sejumlah masalah kesehatan seperti kerentanan terhadap HIV, gangguan kesehatan mental, serta kebutuhan untuk mengafirmasi identitas gender mereka.
Studi dari Asia Pacific Transgender Network (APTN) pada 2018 menunjukkan bahwa risiko terbesar transgender terinfeksi HIV dipicu oleh mata pencaharian mereka sebagai pekerja seks karena sulit mengakses pekerjaan formal akibat stigma dan diskriminasi. Dari 250 transgender di Jabodetabek yang menjadi responden, lebih dari setengahnya merupakan pekerja seks.
Studi itu juga mengungkapkan bahwa transgender juga rentan mengalami gangguan kesehatan mental karena tekanan sosial yang mereka hadapi. Sebanyak 56% responden menyatakan pernah merasa sedih, putus asa dan tidak berharga. Selain itu, 24% di antaranya pernah berpikiran untuk bunuh diri. Namun, hanya 18,4% yang mengakses layanan kesehatan mental.
Selain itu, mayoritas transgender tidak bisa mengakses pelayanan medis untuk mengafirmasi identitas gender mereka karena tidak berdaya secara ekonomi, serta minimnya pelayanan yang ramah transgender.
Hanya 1,1% transgender yang bertransisi dengan mengakses pelayanan medis profesional, meski sebenarnya lebih dari 73% ingin melakukan konsultasi medis lebih dulu sebelum bertransisi.
Ketidakberdayaan itu yang akhirnya membuat banyak transgender melakukan terapi hormon tanpa pendampingan medis yang membahayakan kesehatan mereka. Alegra mengatakan, perlu ada intervensi kebijakan untuk menciptakan layanan yang inklusif itu, yang bisa dimulai dengan melepaskan stigma buruk terhadap transgender.
"Masalah untuk komunitas trans dan minoritas lainnya di Indonesia ini tidak akan selesai hanya dengan satu dokter transpuan yang berjuang. Kita butuh sistem yang lebih inklusif untuk memenuhi kebutuhan teman-teman transgender," ujar dia.
Pendiri Yayasan Srikandi Sejati, yang juga merupakan seorang transpuan, Lenny Sugiharto mengatakan beragam persoalan kesehatan yang dialami transgender itu bersumber pada satu hal, yakni penerimaan masyarakat.
Pengucilan dan diskriminasi, kata dia, selama ini telah membuat mayoritas transgender tidak berdaya. Penolakan keluarga membuat akses pendidikan mereka terputus, sehingga mereka berakhir hidup di jalanan, terpaksa menjadi pekerja seks, dan tumbuh dengan trauma atas stigma dan diskriminasi yang mereka hadapi sehari-hari.
"Komunitas waria itu tidak mendambakan perlakuan secara eksklusif, tapi pengakuan keberadaan waria itu lah yang diperlukan sehingga mereka mempunyai jalan yang luas untuk mengakses apa pun itu," ujar Lenny.
Menurut Lenny, sosok Alegra telah membuktikan bahwa seorang transgender bisa mencapai apa pun yang dicita-citakan ketika mendapat akses pendidikan dan pekerjaan yang setara, serta didukung oleh orang-orang sekitarnya.
Harapan serupa juga disampaikan oleh Rina. Anaknya bercita-cita untuk meneruskan pendidikan sarjana di bidang astronomi. "Kalau kita support mereka secara profesional, mereka bisa berprestasi seperti orang lain kok," kata Rini. "Saya pikir Dokter Alegra bisa mengubah stigma itu, bahwa transgender bukan 'lelucon'," ujarnya lagi. (*)
Tags : LGBT, Transgender, Indonesia, Kesehatan, Perempuan,