Polemik eksekusi lahan perkebunan kelapa sawit seluas 3.323 hektare di Desa Gondai, Kabupaten Pelalawan, masih berlanjut. Ada dua putusan Mahkamah Agung (MA) terkait sengketa lahan tersebut.
RIAUPAGI.COM, PEKANBARU - Pengamat hukum dari Universitas Riau Erdiansyah SH mengatakan, Putusan pertama mengenai pidana dan kemudian eksekusi oleh kejaksaan setempat dan petugas Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau. Kedua adalah putusan Tata Usaha Negara (TUN) yang dikeluarkan MA setelah putusan pidana. MA menyatakan surat perintah tugas eksekusi lahan sebagai tindak lanjut putusan pidana tidak sah atau batal.
"Polemik di Desa Gondai hanya bisa diselesaikan secara perdata. Karena masyarakat yang tergabung dalam koperasi mengaku punya SKGR di lahan itu, perusahaan juga," kata Erdiansyah yang juga Dosen di Fakultas Hukum UNRI.
Erdiansyah menyatakan, SKGR merupakan alas hak yang diakui oleh negara. Sehingga kepemilikan lahan oleh masyarakat dengan perusahaan yang juga mengaku punya alas hak harus diuji secara formil di pengadilan. Di pengadilan, Majelis Hakim akan memutuskan siapa yang berhak atas lahan itu. Jika keputusan keperdataan sudah berkekuatan hukum tetap, maka selanjutnya dilakukan eksekusi. "Keperdataan ini harus didudukkan, kalau belum duduk soal perdatanya, masyarakat masih berhak," ucap Erdiansyah.
Sementara terkait penyidikan yang dilakukan Polda Riau, Erdiansyah menyebut penyidik harus membuktikan apakah betul-betul terjadi penyerobotan. Pasalnya, masyarakat di lahan tengah berpolemik itu punya SKGR. Erdiansyah menyebut penyerobotan lahan dilakukan oleh orang yang tidak punya legalitas atau alas hak. Namun jika ada surat seperti SKGR, maka tidak patut disebut sebagai penyerobotan. "Penyerobotan itu bertanam di lahan orang, bertanam tanpa punya alas hak, kalau ada surat berarti bukan penyerobotan" sebut Erdiansyah.
Erdiansyah menyebut masyarakat masih punya hak atas hasil tanaman yang ditanam. Pasalnya masyarakat berkebun atas dasar SKGR sebagai alas hak. Erdiansyah menyebut persoalan SKGR tidak bisa diselesaikan secara pidana. Oleh karena itu, dia menyarankan pihak yang merasa dirugikan harus melakukan gugatan perdata. "Kalau nanti sudah ada putusan perdata, silahkan eksekusi," sebut Erdiansyah pada media, Sabtu (27/3).
Surat putusan pertama, yakni eksekusi, yang kemudian dinyatakan tidak sah atau batal oleh MA, petugas Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau yang menerbitkan surat perintah eksekusi, telah menumbangkan lebih dari 50 persen sawit milik masyarakat tersebut. Hingga kini sudah ada 2.000 hektare lahan dieksekusi. Eksekusi ditunda karena ada perlawanan dari masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari kebun sawit di sana.
Persoalan ini pun kian panjang setelah Polda Riau turun ke desa itu. Penyidik mengusut dua koperasi, yakni Koperasi Gondai Bersatu dan Koperasi Sri Gumala Sakti, dengan dugaan penyerobotan lahan serta panen buah sawit secara ilegal. Polda Riau juga mengusut PT Peputra Supra Jaya karena menerima panen sawit masyarakat yang tergabung dalam koperasi itu. Adapun penyidikan ini berdasarkan laporan PT Nusa Wana Raya.
Pihak PT PSJ melalui kuasa hukumnya, Wiria Nata Atmaja di dampingi Aswam dan Feri Adi Pransista dari kantor hukum Asep Ruhiat dan Partners mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan tindak penyelidikan yang dilakukan oleh Polda Riau. "Melihat proses hukum yang ada, kami merasa sedih. Yang semestinya NWR yang diproses secara hukum bersama DLHK karena diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum pengrusakan dengan membabat habis sawit yang lagi produktif dan meratakannya. Sekarang kami lagi menyiapkan gugatan ganti rugi. mudah-mudahan tidak lama lagi keadilan bisa berpihak pada yang benar," ujarnya. (*)
Tags : Sengeketa Lahan, Desa Gondai, Pelalawan, Sengketa lahan Perdata,