"Surat Edaran Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala, disebut aktivis sudah menyinggung kebebasan beragama"
ktivis juga menilai surat edaran Menteri Agama itu berpotensi menjadi "peluru hampa" jika implementasi pelaksanaannya tidak dilakukan dengan benar dan tanpa adanya sanksi bagi pelanggar.
Alhasil, nasib surat edaran Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas itu, disebut, berpotensi akan sama dengan Instruksi Dirjen Bina Masyarakat Islam Kemenag nomor KEP/D/101/1978, yang tidak dipatuhi.
Surat ini dikeluarkan sebagai "upaya meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga".
Beberapa masjid menyampaikan dukungan terhadap aturan tersebut, namun ada juga penolakan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung aturan tersebut, namun meminta Kementerian Agama (Kemenag) untuk tidak kaku dalam pelaksanannya dan juga disertai insentif kepada tempat ibadah sehingga dapat meningkatkan kualitas pengeras suaranya.
Dewan Masjid Indonesia (DMI) juga mendukung pengaturan tersebut, namun dengan menggunakan pendekatan persuasif karena penggunaan pengeras suara telah menjadi "budaya" dalam masyarakat.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, surat edaran itu untuk "meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga".
'Peluru hampa'
Aktivis dari LSM Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP), Ahmad Nurcholish, menyambut baik upaya pemerintah yang menerbitkan Surat Edaran Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
Namun, aturan tersebut akan sama dengan surat sebelumnya (Instruksi Dirjen Bina Masyarakat Islam Kemenag tahun 1978), tidak dipatuhi oleh tempat ibadah, jika tidak disertai pelaksanaan yang benar dan sanksi yang tegas.
"Bisa menjadi peluru hampa kalau implementasi tidak dikawal dengan benar. Kemenag perlu melakukan edukasi dan penyadaran agar takmir masjid menggunakan pengeras suara sesuai aturan," kata Ahmad Nurcholish seperti dirilis BBC News Indonesia, Selasa, (22/02).
Selain implementasi, Nurcholish juga mendorong diberlakukannya sanksi kepada tempat ibadah yang melanggar aturan, "missal tidak boleh menggunakan pengeras suara luar sama sekali selama seminggu, atau teguran. Tanpa itu rasanya surat edaran ini, tidak akan ditaat," ujarnya.
Nurcholish mengatakan isi surat edaran ini yang tidak rinci dan tegas juga menunjukkan posisi dilematis pemerintah dalam pengaturan pengeras suara.
"Ini memperlihatkan posisi dilematis. Di satu sisi, Kemenag ingin menjunjung kenyamanan, dan keharmonisan antarwarga. Tapi di sisi lain, jika membuat aturan terlalu keras dan ketat bisa dianggap terlalu liberal dan tidak memihak kepada umat Muslim," ujarnya.
Nurcholish mengatakan, sesuai fakta di lapangan yang ia temukan, terjadi kebisingan yang muncul dari pengeras suara masjid- di Jakarta, setidaknya terdapat 4.000 masjid.
Ia mencontohkan, keluhan artis Zaskia Adya Mecca yang mempertanyakan keetisan menggunakan pengeras suara masjid untuk membangunkan sahur.
Bahkan, katanya, dalam beberapa peristiwa masuk dalam ranah pidana, seperti kasus penistaan agama di Tanjung Balai, Sumatera Utara, dengan terdakwa Meiliana yang divonis 18 bulan penjara.
"Surat Edaran ini dapat menjadi pijakan bahwa orang tidak serta merta bisa dipidana karena protes suara keras di rumah ibadah," katanya.
Indra, bukan nama sebenarnya, yang merasa diintimidasi saat mengeluhkan pengeras suara masjid saat tinggal di kos di Jakarta Selatan.
"Kos saya berjarak sekitar 200 meter dari masjid. Subuh sebelum azan, suara speaker keras banget. Saya selalu terbangun dan pasang ear plug (penyumbat telinga)," kata Indra.
"Lalu aktif lagi sejak pukul 8.00 hingga 11.00, lalu jeda dan berlangsung hingga pukul 20.00 baru berhenti. Speaker luar digunakan bukan untuk azan saja tapi mulai dari pengajian, ceramah, salawat dan lainnya."
Dampaknya, Indra menjadi sulit beristirahat dan tidak bisa melakukan kerja berupa rapat pagi secara online.
Indra pun kemudian melaporkan apa yang dialami melalui aplikasi JAKI (Jakarta Kini), dan melampirkan foto.
"Laporan pertama, kondisi tidak berubah. Saya komplain yang kedua. Lalu waktu saya pergi, perangkat pemerintah daerah mendatangi kos saya.
"Penjaga kos bilang kamar saya didatangi sama Satpol PP sambil menunjukkan foto yang saya lampirkan karena sudutnya seperti di depan kamar saya. Penjaga kos kemudian diminta tanda tangan surat untuk tidak melapor lagi," katanya.
Dua hari setelah kejadian itu, ia memutuskan untuk pindah tempat tinggal.
Dari pengalaman itu, Indra memahami bahwa sulit untuk mengeluhkan pengeras suara masjid walaupun sudah ada aturannya.
"Kemudian saya kecewa laporan yang seharusnya anonim malah saya yang dicari, bukannya persoalannya yang diselesaikan.
"Yang diselesaikan harusnya apa yang dikeluhkan, bukan mengintimidasi yang mengeluhkan dengan didatangi. Itu menyebabkan saya takut untuk melakukan hal yang sama lagi di kemudian hari," ujarnya.
Soal surat edaran menteri agama yang baru, Indra berujar, "Walaupun punya 100 peraturan, tapi penegakannya nol, sama saja bohong."
Respons pengurus masjid
Haris Tua Marpaung, pengurus dan mantan imam Masjid Al Maksum, Tanjung Balai, Sumatera Utara, menyatakan tidak setuju jika pengeras suara masjid diatur.
"Masjid adalah tempat ibadah bagi seluruh umat setiap saat. Kalau bisa tidak ada berhentinya. Suara dari masjid tetap berkumandang. Kenapa sekarang dibuat seperti ini? Tidak boleh [diatur], itu termasuk penganiayaan juga terhadap rumah ibadah," keluh Haris.
Haris merupakan pelapor ke polisi dalam kasus penistaan agama dengan tersangka Meiliana karena memprotes pengeras suara azan, di Tanjung Balai, 2016 lalu.
Ia mengatakan, boleh keras atau tidaknya volume pengeras suara berdasarkan kesepakatan pengurus masjid, dan itu disebut tidak menganggu orang lain.
"Suara azan, pengajian dari masjid itu mendengarkan suara ayat-ayat Al-Quran, mendengar itu saja kita sudah bahagia karena itu ayat-ayat Tuhan dan itu nasihat bagi semua orang," katanya.
'Kami dukung dan tak masalah dengan aturan itu'
Berbeda, pengurus Masjid Baitul Hakim, Jakarta Timur Saefudin mendukung surat edaran tersebut.
Bahkan Saefudin mengatakan, Masjid Baitul Hakim sudah menjalankan aturan tersebut sejak 10 tahun lalu.
"Kami mendukung dan tidak masalah dengan aturan itu. Pengeras suara di luar untuk azan dan baca Al-Quran jelang Salat Jumat. Sedangkan kegiatan sehari-hari, pakai speaker dalam semua," katanya.
Saefudin mengatakan, pelaksanaan itu dilakukan agar tidak menganggu masyarakat sekitar yang majemuk.
Senada, Masjid Abdullah Ibnu Mas'ud di Tangerang juga mendukung aturan pemerintah tersebut.
"Kalau kami memang tidak terlalu banyak menggunakan speaker luar, biasanya untuk azan, saat salat pakai speaker dalam.
"Itu pesan dari guru saya, jangan terlalu banyak pakai speaker luar karena menganggu orang kalau berisik apalagi di tempat banyak populasinya," kata ketua DKM masjid Marhali, 60 tahun.
Apa perbedaan surat baru dan sebelumnya?
Terdapat beberapa perbedaan antara Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala dengan aturan sebelumnya dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978.
Beberapa poin di antaranya adalah , dalam SE terbaru, volume pengeras suara diatur sesuai dengan kebutuhan, dan paling besar 100 desibel.
Kemudian, sebelum waktu salat Subuh dan Jumat, pengeras suara luar digunakan paling lama 10 menit untuk pembacaan Al-Qur'an atau selawat/tarhim, dan paling lama lima menit sebelum salat Zuhur, Asar, Magrib dan Isya.
Lalu, suara yang dipancarkan melalui pengeras suara perlu bagus atau tidak sumbang; dan pelafazan secara baik serta benar.
Sementara itu dalam aturan tahun 1978, untuk Salat Subuh, pengeras suara luar digunakan paling lama 15 menit untuk pembacaan Al-Qur'an.
Lalu lima menit menjelang Dzuhur dan 15 menit menjelang waktu Dzuhur dan Jumat. Kemudian, untuk Asar, Maghrib dan Isya digunakan lima menit sebelum adzan.
MUI: Aturan jangan terlalu kaku
Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas mengatakan, secara prinsip MUI setuju dengan aturan tersebut.
Surat edaran itu sejalan dengan Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia yang dilaksanakan pada 2021, yang substansinya juga sudah dikomunikasikan dengan MUI serta didiskusikan dengan para tokoh agama.
Namun ia meminta agar dalam implementasinya untuk tidak terlalu kaku.
"Dan juga jangan disamakan untuk semua daerah, apalagi di daerah yang 100% atau sebagian besar penduduknya adalah beragama Islam, di mana masalah tersebut di sana selama ini sudah menjadi tradisi," kata Anwar.
Kemudian, penggunaan pengeras suara luar yang lima menit dan 10 menit sebelum masuk salat mungkin terlalu pendek, kata Anwar, sehingga perlu diberi rentang waktu.
Wakil Sekretaris Jenderal MUI Ikhsan Abdullah menambahkan, selain aturan, pemerintah perlu juga memberikan insentif kepada masjid untuk memperbaiki kualitas pengeras suara.
"Aturan ini akan menjadi kurang efektif jika hanya di atas kertas. Jadi harus ada solusi.
"Pertama, peningkatan kualitas suara dengan pemberian insentif atau anggaran untuk alat dan muazin. Kedua, pembatasan penggunaan, kalau di satu tempat ada lima masjid, cukup satu dan dua yang bersuara," katanya.
Persuasif dan bertahap
Senada, Dewan Masjid Indonesia juga mendukung aturan tersebut. Namun, Sekretaris Jenderal DMI Imam Addaruqutni meminta agar sosialisasi ke masyarakat dilakukan secara persuasif.
"Mudah-mudahan arah surat edaran ini tidak distortif dan deviatif. Artinya masyarakat menyambut sebagai sesuatu yang baik, bukan mengurangi maksud siar masjid.
"Untuk itu perlu pendekatan persuasif ke masyarakat, karena ada yang reaksioner menolak, kritis dan reseptif," kata Imam.
Imam juga meminta agar pelaksanaannya dilakukan secara bertahap karena di beberapa daerah penggunaan pengeras suara telah menjadi budaya, khususnya di pedesaan.
DMI akan bersifat partisipatif dalam mendukung pelaksanaan panduan tersebut.
Sebelumnya, Menag Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, penggunaan pengeras suara di masjid dan musala merupakan kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah masyarakat.
Namun, di saat yang bersamaan, masyarakat Indonesia adalah beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya, sehingga diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial.
"Pedoman diterbitkan sebagai upaya meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat," ujar Yaqut, Senin (21/2) dalam siaran pers yang diterima.
"Pedoman ini agar menjadi pedoman dalam penggunaan pengeras suara di masjid dan musala bagi pengelola masjid dan musala dan pihak terkait lainnya," tegas Menag. (*)
Tags : Pengeras Suara Masjid jadi Polemik, Sorotan, Surat Edaran Menag RI, Surat Edaran Hanya Peluru Hampa dan Penuh Intervensi,