JAKARTA - International Rice Research Institute (IRRI) memberi sertifikat pengakuan kepada Presiden Jokowi karena Indonesia berhasil mencapai swasembada beras 2019-2021, namun penghargaan ini disebut tak beriringan dengan peningkatan kesejahteraan petani.
Menurut catatan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) terjadi penurunan harga beras di tingkat petani, termasuk pendapatan petani dalam tiga tahun terakhir.
Dalam sebuah pertemuan internasional, Indonesia menyatakan akan menyiapkan kewirausahaan lewat digitalisasi untuk memajukan kesejahteraan petani.
Penghargaan swasembada beras yang diberikan kepada Presiden Joko Widodo oleh International Rice Research Institute mendapat reaksi dari petani padi asal Kulonprogo, Yogyakarta, Etik Linawati.
Menurutnya, penghargaan tersebut tidak ada memberi keuntungan pada petani padi.
Kata dia, meskipun produksinya dikatakan mampu mencukupi kebutuhan konsumen dalam tiga tahun terakhir, tapi saat panen tiba harga padi bisa anjlok.
“Apalagi musim panen, harganya Rp2600. Harga gabah basah dari sawah,” katanya.
Harga padi di tingkat petani selalu fluktuatif. Harganya bahkan tiba-tiba bisa terjun bebas ketika pemerintah menghembuskan wacana impor di musim panen raya, seperti yang terjadi pada 2021 silam.
“Fakta di lapangan, banyak persoalan,” kata Joko Supriyanto petani asal Rembang, Jawa Tengah.
Petani yang aktif menolak pertambangan di Desa Tegoldowo ini menjabarkan, selain persoalan harga padi, mereka juga dihadapkan "cari pupuk yang susahnya setengah mati” dan "lahan pertanian dialihfungsikan sebagai lahan pertambangan”.
"Itu terjadi sudah lama sekali, bertahun-tahun tanpa penyelesaian,” lanjut Joko.
Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) pernah melakukan kajian pada April 2020 silam.
Lembaga ini mengkaji 36 kabupaten sentra produksi padi di mana hasilnya menunjukkan terjadi penurunan harga gabah di tingkat petani hingga Rp1000 selama berbulan-bulan.
Koordinator KRKP Ayip Said Abdullah mengatakan, penghargaan swasembada beras untuk Presiden Jokowi semestinya dijadikan perbaikan kesejahteraan petani.
“Ini jadi satu momentum pemerintah untuk melihat bahwa keberhasilan itu alat ukurnya jangan dari produksi saja, tetapi seberapa mampu program dan kebijakan itu mendorong perubahan kehidupan di subjeknya [petani],” kata Koordinator KRKP Ayip Said Abdullah.
Dalam laporan lainnya, Kementerian Pertanian mencatat terjadi penurunan nilai tukar petani (NTP) subsektor tanaman pangan selama tiga tahun terakhir.
Subsektor tanaman pangan meliputi padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, ubi-ubian, kacang tanah, kacang kedelai, sayur-sayuran, buah- buahan, padi-padian, serta bahan makanan lainnya.
NTP merupakan nilai rujukan kesejahteraan petani.
Jika angkanya di atas 100 (dari tahun dasar), maka kenaikan pendapatan petani lebih besar dari pengeluarannya.
Sebaliknya, jika angkanya di bawah 100 maka kenaikan pendapatan petani lebih kecil dari pengeluarannya.
Pada 2020, NTP petani subsektor tanaman pangan mencapai 101,43. Tapi kemudian turun 98,21 pada 2021, dan sampai Juli 2022 angkanya kembali merosot menjadi 97,98.
"Nilai tukar petani padi selalu lebih rendah dibandingkan NTP petani secara umum. Artinya memang petani padi masih menjadi kelompok yang paling rendah kesejahteraannya,” tambah Ayip.
Tetapi, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono mengatakan untuk mendorong kesejahteraan petani pihaknya akan menggaungkan pengembangan kewirausahaan inovatif melalui digitalisasi pertanian.
Isu ini masuk ke dalam salah satu bahasan pertemuan kelompok kerja Pertanian semua anggota G20 akhir Juli lalu, selain isu sistem pangan yang berkelanjutan dan perdagangan pangan yang transparan.
“Memajukan kewirausahaan pertanian yang inovatif melalui digitalisasi pertanian, untuk meningkatkan kehidupan petani di pedesaan. Diapresiasi kontennya,” kata Kasdi dalam siaran pers.
Namun, sejauh ini tidak ada penjelasan lebih rinci tentang program kewirausahaan pertanian tersebut.
Jangan ‘mengulang zamannya Pak Harto’
Koordinator KRKP Ayip Said Abdullah juga mengingatkan agar pemberian penghargaan swasembada beras ini disikapi dengan hati-hati. Sebab, jika terjerembab pada euforia berlebihan dikhawatirkan bisa mengulang kesalahan era orde baru.
Pada 1984, Presiden Soeharto disebut telah berjasa menyusun kebijakan sehingga Indonesia mencapai swasembada pangan setidaknya sampai 1986.
“Apa yang terjadi 3-4 tahun kemudian sampai sekarang, hancur-hancuran karena agro-eksosistemnya rusak, nggak seimbang, nggak berkelanjutan.
“Model pembangunan pertanian kita masih belum berkelanjutan, karena penggunaan pupuk kimiawi masih sangat tinggi. Dan, itu terus terjadi akan mengulang zamannya Pak Harto kan,” kata Ayip.
Dalam artikel yang ditulis Tirto, Indonesia juga masih mengimpor beras meskipun mendapat status swasembada pangan pada 1984.
Namun tidak diketahui motif di balik penobatan Indonesia sebagai negara swasembada pangan saat itu.
Sementara itu, akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Suryo Wiyono juga memperingatkan agar Indonesia tidak lengah dengan penghargaan swasembada beras ini.
Kata dia, tantangan terkait ketahanan pangan ke depan masih berat.
"Yang pertama adalah dampak dari perang Rusia-Ukraina, yang kedua adalah iklim yang tidak terlalu bersahabat," katanya.
Berkat pembangunan infrastruktur
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo mengatakan sejumlah pembangunan infrastruktur seperti bendungan, embung, jaringan irigasi, pemanfaatan varietas-varietas unggul padi, intensifikasi dan ekstensifikasi yang menjadikan Indonesia dapat mencapai swasembada beras dengan produksi beras yang surplus selama tiga tahun terakhir.
“Seingat saya, sampai hari ini telah diresmikan 29 bendungan besar dan tahun ini akan selesai lagi totalnya 38 bendungan. Dan sampai tahun 2024 akan kita selesaikan kurang lebih 61 bendungan plus embung 4.500 embung, dan 1,1 juta jaringan irigasi yang telah kita bangun selama tujuh tahun ini,” katanya.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik, ketersediaan beras nasional pada April 2022 menjadi yang tertinggi, yaitu 10,2 juta ton.
“Inilah yang menyebabkan kenapa pada hari ini diberikan kepada kita sebuah sertifikat bahwa Indonesia dinilai memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan sudah swasembada pangan,” tambah Presiden Jokowi dalam keterangan pers.
Presiden Jokowi juga memberi apresiasi kepada “para pelaku pertanian Tanah Air dan berbagai pihak terkait yang telah bekerja keras bersama-sama dengan pemerintah mewujudkan swasembada beras di Indonesia.”
Selain itu, Presiden Jokowi juga mendorong diversifikasi pertanian.
“Harus kita mulai untuk jenis-jenis bahan pangan yang lainnya. Telah kita mulai kemarin di Waingapu sorgum, di NTT sorgum, kemudian di beberapa provinsi jagung juga besar-besaran,” katanya.
Dengan produksi jagung yang besar-besaran, kata dia, impor jagung dapat ditekan dari 3,5 juta ton menjadi 800.000 ton.
Impor beras masih berlanjut
Meskipun Presiden Jokowi telah menerima penghargaan atas keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras, namun sejauh ini sebagian bahan pangan ini masih diimpor dari luar negeri.
Berdasarkan laporan BPS, Indonesia mengimpor beras sebanyak 407 ribu ton pada 2021 lalu. Jumlahnya meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 356.000 ton.
Namun jenis beras yang diimpor tersebut diklaim pemerintah untuk kebutuhan khusus seperti hotel, restoran, kafe dan warga negara asing yang tinggal di Indonesia.
Beras khusus ini seperti Basmati, Japonica, Hom Mali serta beras pecah 100%.
Beras ini sebagian besar diimpor dari India, Thailand, Vietnam, dan Pakistan.
Menurut Ayip Said Abdullah, semestinya swasembada beras ini dimaknai Indonesia benar-benar bebas dari impor.
“Harusnya bisa dipenuhi dalam negeri, karena bagaimana pun yang kebutuhan khusus itu volumenya tidak sedikit,” katanya. (*)
Tags : Pangan, Pertanian, Indonesia, Perubahan iklim, Keamanan pangan,