KESEHATAN - Banjir bandang dan lahar di Sumatra Barat, yang sejauh ini menewaskan 61 orang, telah menyebabkan setidaknya 3.396 jiwa mengungsi.
Pakar kesehatan mengkhawatirkan munculnya gelombang tiga penyakit yang dapat menjangkiti kelompok rentan di lokasi pengungsian.
Permasalahan lain yang bakal dialami para pengungsi adalah gangguan stres pascatrauma dan depresi, kata pengamat.
Di sisi lain, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Suharyanto, menuturkan data korban terdampak akan terus bertambah seiring pencarian korban hilang masih terus dilakukan.
Menghadapi situasi seperti itu, Kepala Pusat Krisis Kementerian Kesehatan, Sumarjaya, mengatakan pihaknya telah memantau situasi pengungsi di Sumbar.
Hingga saat ini ditemukan ada warga yang terkena penyakit infeksi saluran pernapasan akut, gangguan pencernaan, penyakit kulit, demam, sakit kepala, dan hipertensi.
"Anak dan dua kakak saya meninggal dunia karena bencana ini," ucap Suryati, salah satu korban selamat banjir bandang dan lahar dingin yang ditemui di lokasi pengungsian, pada Selasa (14/05).
Perempuan 47 tahun ini mengingat kembali detik-detik terjadinya bencana yang meluluh lantakan rumahnya serta 13 tempat tinggal warga lainnya di Jorong Galuang, Kecamatan Sungai Pua, Kabupaten Agam.
Kala itu, kira-kira sekitar Sabtu (11/05) pukul 22:00 WIB dan dirinya baru saja tertidur.
Tiba-tiba dia mendengar bunyi petir yang sangat keras hingga membuatnya terbangun.
"Saya langsung terbangun dan tidak lama berselang, air langsung menghantam rumah dan saya langsung terbawa oleh arus air," katanya dalam bahasa lokal.
Tapi karena tidak sempat menyelamatkan diri, ia terseret banjir beberapa meter dari rumahnya. Tidak hanya itu, dia sempat tenggelam karena debit air yang sangat tinggi.
"Beberapa kali saya tenggelam dan kembali bisa mengambil napas ke atas dan ditenggelamkan lagi beberapa kali," lanjutnya.
Usahanya untuk tetap hidup tidak sia-sia. Suryati berhasil selamat setelah tersangkut akar bambu yang ikut terseret bersamanya.
"Ada akar-akar yang akhirnya membuat saya selamat dan saya mencoba menyelamatkan diri dari air yang begitu deras."
Luka yang terdapat di sekujur tubuhnya sudah tak terasa lagi. Ia langsung menyelamatkan diri ke lokasi yang lebih aman.
Hingga Minggu (12/05) sekitar pukul 01:00 WIB ada tim penolong yang menjemput dan membawanya ke tempat pengungsian yang kini ditinggali untuk sementara waktu.
Suryati menuturkan dirinya mengalami trauma yang sangat mendalam akibat bencana tersebut.
"Sekarang saja, jika ada hujan saya merasa sangat takut kejadian itu akan terulang kembali dan saya tidak ingin mendengar suara hujan," katanya.
Tidak hanya itu, ia juga mengaku trauma saat mendengar bunyi guntur atau petir yang menyambar-nyambar. Karena, sebelum kejadian itu dirinya sempat mendengar suara petir yang sangat kuat.
Ia berharap bencana yang berlangsung sekarang cepat berlalu sehingga dengan begitu dia bisa melanjutkan hidup bersama suami dan anak-anaknya. Meskipun rumahnya hancur.
Koordinator Lapangan (Korlap) Pos pengungsian di Jorong Galuang, Ahmad Jais, mengatakan jumlah warga yang berada di pengungsian sebanyak enam orang saja.
Kebanyakan warga, katanya, memilih tinggal di rumah kerabat mereka.
"Untuk warga yang rumahnya mengalami kerusakan sebanyak 150 orang, tetapi mereka kebanyakan mengungsi ke rumah saudara mereka. Di sini hanya sebanyak enam orang yang mengalami luka-luka saja," katanya.
Menurutnya, tidak ada masyarakat yang terdampak yang mengeluhkan tentang penyakit selama berada di pengungsian. Sebab di tempat tersebut pihaknya sudah menyediakan berbagai obat-obatan.
"Kemarin itu ada yang dirujuk ke Padang dua orang. Tetapi saat ini sudah sembuh dan sudah berada di sini," lanjutnya.
Suryati yang merupakan pengungsi menyatakan dirinya cukup nyaman berada di tempat tersebut, karena mendapatkan perawatan yang baik.
"Sekarang saya hanya merasakan sakit di bagian dada saya, mungkin karena terbentur saat kejadian kemarin," lanjutnya.
Hujan dengan intensitas tinggi di wilayah Sumatra Barat menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor di enam kabupaten/kota di antaranya Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, dan Kabupaten Limapuluh Kota.
Kejadian itu berlangsung pada Sabtu (11/05) sekitar pukul 20:00 hingga 22:00 WIB.
Catatan Kementerian Kesehatan per Selasa (14/05), penduduk yang terdampak akibat musibah ini mencapai 6.523 orang. Adapun jumlah pengungsi tercatat sebanyak 3.392 orang.
Kepala Pusat Krisis Kementerian Kesehatan, Sumarjaya, mengatakan korban luka berat yang dirawat inap sebanyak tujuh orang dan luka ringan 92 orang.
Mereka yang masih dalam perawatan dirujuk ke sejumlah rumah sakit terdekat.
Berdasarkan data petugas kesehatan di lapangan, korban banjir bandang di Kabupaten Agam yang paling banyak menderita penyakit.
Rinciannya, luka robek ada sembilan orang, dyspepsia atau gangguan pencernaan delapan orang, demam, sakit kepala, hipertensi, penyakit kulit dan infeksi saluran pernapasan akut.
"Itu beberapa penyakit yang muncul, dan sudah ada pos kesehatan di beberapa lokasi."
"Kami melihat tenaga kesehatan di sana cukup banyak. Jadi secara kapasitas tenaga kesehatan cukup memenuhi kapasitas."
Namun begitu, Kepala Bidang Penanggulangan Bencana di Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Lucky Tjahjono, mengatakan Kementerian Kesehatan perlu memerhatikan berbagai penyakit menular yang kemungkinan bakal menyerang warga korban banjir bandang beberapa hari setelah bencana itu mereda.
Gelombang pertama, penyakit menular yang berpotensi muncul adalah diare dan penyakit kulit.
Ketika banjir menerjang, warga yang tinggal di daerah yang terkena dampak sudah pasti menyentuh atau menelan bahan organik yang berasal dari saluran air atau selokan.
Kemudian dalam rentang satu hingga tiga hari kemudian, situasi yang disebutnya 'keos' tersebut tidak tertangani dengan baik oleh pemerintah daerah, petugas kesehatan, atau relawa.
Bahkan ada kalanya bantuan belum sampai. Termasuk air bersih.
Dalam kondisi seperti itu, orang dewasa dan anak-anak bakal terkena diare dan penyakit kulit.
"Penyakit itu dari air yang terkontaminasi, jadi baik warga dan relawan harus hati-hati mengonsumsi air di sana. Pastikan airnya higienis dan sudah dimasak," jelas Lucky Tjahjono
"Untuk mencegah, pakai air kemasan. Jangan pakai air sumur dulu, karena masih terkontaminasi apalagi bencananya masif. Air sumur harus disterilkan terlebih dahulu dengan kaporisasi dan harus dicek lagi pakai alat rapid test."
Penyakit menular lainnya yang perlu diwaspadai adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Usai banjir lingkungan terdampak berubah menjadi panas. Situasi yang disebutnya tidak seimbang, kotor, dan penuh sesak oleh para pengungsi turut berperan menyebarkan penyakit ISPA.
"Apalagi kalau daya tahan tubuh turun, gampang kena. Karena ISPA bisa dari virus atau bakteri. Makanya kebersihan dijaga, kalau perlu warga diberikan masker dan vitamin."
"Untuk orang dewasa diberikan suplemen vitamin C dan bayi serta balita dikasih vitamin A."
Tapi selain infeksi saluran pernapasan, petugas kesehatan juga harus bersiap dengan penularan campak pada bayi dan balita – kelompok yang disebutnya sangat rentan.
Menurut Lucky, dalam kondisi tempat pengungsian yang padat pihak otoritas kesehatan perlu memerhatikan adanya penyakit ini.
Sebab jika satu anak saja ketahuan mengidap campak, semua anak yang berada di satu lokasi tersebut harus diimunisasi.
"Satu saja kena campak semua harus divaksinasi."
Gelombang kedua, penyakit yang kemungkinan datang adalah leptospirosis, tetanus, dan hepatitis A.
Masa inkubasi penyakit-penyakit itu berlangsung antara tujuh sampai sepuluh hari setelah banjir.
Leptospirosis atau penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang ditularkan melalui kontak langsung dengan kotoran hewan terutama tikus.
Geala yang biasanya timbul adalah demam, kelelahan, nyeri otot, mual, muntah, dan kulit kekuningan.
"Kita bisa kena dari infeksi atau luka di kaki atau tangan."
Itu mengapa dia menyarankan kepada warga, relawan atau tim pencari mengenakan alat pelindung diri (APD) untuk mencegah.
Akan tetapi leptospirosis, sebutnya, lazim terjadi di area dengan penduduk yang padat, sering banjir, dan manajemen limbah yang kurang baik, serta sanitasinya buruk.
Dalam beberapa kasus, dia mencatat, kasus leptospirosis tertinggi ada di perkotaan dengan populasi padat seperti Jakarta.
"Tapi kalau di Sumbar saya rasa risikonya lebih rendah ada kasus leptospirosis karena permukiman tidak sepadat Jakarta."
Gelombang ketiga, penyakit yang berpotensi muncul setelah banjir adalah demam berdarah serta penyakit komorbid pada orang lansia seperti hipertensi, diabetes, dan stroke.
Demam berdarah yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti cenderung lebih aktif saat suhu tinggi yakni di musim panas.
Kasus demam berdarah disebut bisa muncul dalam beberapa minggu setelah banjir.
Khusus untuk mencegah penyakit ini, Kepala Pusat Krisis Kementerian Kesehatan, Sumarjaya, menyebut tenaga kesehatan biasanya akan melakukan fogging.
Fungsi fogging, menurutnya, tak cuma untuk membunuh jentik-jentik nyamuk tapi juga mencegah penularan penyakit melalui serangga seperti lalat.
"Makanya kami akan lihat kalau di pengungsian lebih dari lima hari akan dilakukan fogging agar tidak ada penyakit menjangkiti tempat-tempat pengungsian," ujar Sumarjaya.
Kepala Bidang Penanggulangan Bencana di Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Lucky Tjahjono, menyebut berbagai studi dan data statistik membuktikan setiap bencana akan menyebabkan warga terdampak mengalami stres.
Kondisi tersebut bisa diakibatkan karena kehilangan anggota keluarga, harta benda, atau mata pencaharian.
Dalam kasus-kasus bencana di Indonesia, katanya, dari korban yang terdampak biasanya terdapat 20%-30% di antaranya harus ditinjau kesehatan mentalnya bahkan dirujuk ke psikolog.
Sumarjaya mengakui keadaan tersebut.
Itu kenapa biasanya warga yang tinggal di pengungsian dalam jangka waktu yang lama akan diberikan dukungan berupa layanan psikososial.
"Kalau istilah sekarang trauma healing. Biasanya standar kita, satu klaster dari 20 orang itu disediakan satu psikiater, dua psikolog, dan dua perawat jiwanya," jelas Sumarjaya.
"Tapi tingkat stres untuk korban banjir biasanya tidak terlalu tinggi. Berbeda dengan gampa bumi atau tsunami lebih tinggi tingkat stresnya karena berlangsung cepat dan seketika."
Merujuk pada catatan Kemenkes, korban banjir bandang dan lahar menempati lokasi pengungsian di fasilitas umum milik pemda seperti sekolah.
Pengungsi terbanyak ada di Kabupaten Tanah Datar yang mencapai 2.039 orang, kemudian di Kabupaten Agam terdata ada 1.159 orang, dan Kota Padang Pariaman sebanuak 198 orang.
Untuk pos kesehatan, Kemenkes menempatkan di Kabupaten Agam mengingat kondisinya yang paling parah.
Pos kesehatan utama berlokasi di SDN 08 Kubang Dui Kuto Panjang, lalu ada juga pos kesehatan Galuang Kapala Kato yang terletak di depan kantor wali nagari Sungai Pua, dan terakhir pos kesehatan Galugua berada di depan puskesmas IV Koto. (*)
Tags : banjir sumbar, pengungsi banjir sumbar, pengusaha terancam gelombang penyakit menular, kesehatan mental, kesehatan, bencana alam,