JAKARTA - Di tahun politik, penjabat kepala daerah menghadapi persoalan menetapkan APBD secara efektif.
Mereka akan bertarung dengan DPRD yang memiliki kehendak agar dana yang dialokasikan berkaitan dengan kepentingan politik.
Tahun 2023, setengah dari total jumlah provinsi, kabupaten, dan kota Indonesia akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah. Ada 271 penjabat kepala daerah di berbagai wilayah dan tingkatan diangkat oleh pemerintah pusat.
Kondisi ini di satu sisi memunculkan ekspektasi sekaligus keraguan terhadap efektivitas pemerintahan daerah dalam menghadapi berbagai tantangan di tahun yang gelap.
Sejak Mei 2022, Kementerian Dalam Negeri memulai gelombang pengangkatan penjabat kepala daerah (Pj).
Dimulai dari Gubernur Banten, Gubernur Sulawesi Barat, Bangka Belitung, Gorontalo, dan Papua Barat pada 12 Mei 2022. Selama 2021, ada 101 penjabat kepala daerah dilantik, terdiri dari 7 penjabat gubernur, 76 bupati, dan 18 wali kota.
Gelombang pengangkatan penjabat pun berlanjut di 2023 dengan jumlah mencapai 170 penjabat, yakni 17 gubernur, 115 bupati, dan 28 wali kota.
Pada masa awal pengangkatan penjabat, masyarakat sipil sempat mengkritik mekanisme pengangkatannya yang cenderung tidak transparan dan akuntabel. Bahkan, Ombudsman RI meminta Kemendagri untuk mengevaluasi mekanisme pengangkatan pengangkatan penjabat kepala daerah, tetapi Kemendagri tetap mengklaim mekanisme pengangkatan penjabat sudah demokratis.
Ekspektasi Kemendagri pun tinggi terhadap kinerja para penjabat ini. Para penjabat dinilai tidak tersandera kepentingan politik diharapkan fokus bekerja untuk masyarakat.
Mereka tidak terbebani kepentingan politik karena bukan berasal dari proses pilkada sehingga diharapkan lebih total dalam bekerja.
Staf Khusus Menteri Dalam Negeri Kastorius Sinaga sseperti dirilis Kompas, Selasa (29/11/2022), menyampaikan, sesuai arahan presiden, Kemendagri bertugas menjaga stabilitas politik dalam negeri, khususnya di daerah.
Setelah sejumlah penjabat kepala daerah diangkat, setiap tiga bulan kinerja mereka dievaluasi. Kemendagri mengevaluasi penjabat gubernur. Sementara penjabat bupati dan wali kota dievaluasi oleh gubernur.
Evaluasi penjabat gubernur juga dilakukan di bawah koordinasi Inspektorat Jenderal Kemendagri.
”Ada beberapa aspek yang kami evaluasi terhadap Pj ini. Ada tiga aspek utama, yaitu pemerintahan, kemasyarakatan, dan pembangunan. Dari aspek itu, kami turunkan ke indikator-indikator yang lebih detail,” katanya.
Misalnya, dalam urusan pemerintahan dirinci lagi dalam sejumlah indikator di antaranya kepemimpinan pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Penilaiannya antara lain di bidang kesehatan: ketersediaan program dan anggaran untuk penanganan kesehatan dan penyediaan sarana dan prasarana kesehatan seperti stunting, posyandu, dan PKK. Untuk aspek pendidikan, dilihat dari penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Aspek infrastruktur, dinilai dari ketersediaan program dan anggaran untuk penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur. Selain itu, juga pelaksanaan pelayanan publik.
Evaluasi terukur
Dengan indikator kuantitatif dan kualitatif itu, Kemendagri yakin bahwa kinerja para penjabat selama tiga bulan terakhir ini bisa dievaluasi dengan terukur. Evaluasi tidak hanya didasarkan pada kinerja tiga bulanan, tetapi juga sebelum mereka menjabat. Misalnya, di Provinsi Papua Barat, angka kemiskinan seperti apa. Setelah tiga bulan ada penjabat, apakah ada penurunan angka kemiskinan di provinsi tersebut.
”Fokus yang harus dijalankan penjabat kepala daerah ini ada lima. Pertama, menjaga stabilitas politik dan keamanan wilayah, penanganan pandemi Covid-19 di daerah, peningkatan ekonomi dengan melibatkan swasta, peningkatan ekonomi berdasarkan peningkatan infrastruktur dan stunting, serta khusus untuk Papua adalah sosialisasi Undang-Undang Otonomi Khusus,” ujarnya.
Untuk kondisi stabilitas politik di Indonesia saat ini, menurut dia, situasinya masih kondusif. Penjabat Bupati Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, Andi Chandra As’aduddin, misalnya, pada saat diangkat menjadi polemik karena berasal dari Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sulawesi Tengah. Pemerintah pusat dituding seolah-olah mengembalikan dwifungsi ABRI dan mengabaikan prinsip supremasi sipil.
Namun, setelah tiga bulan berlalu, Andi dinilai berhasil menangani masalah konflik horizontal dampak konflik tanah pemekaran desa. Sebagai mantan TNI aktif, dia dinilai memiliki kemampuan antisipasi konflik, koordinasi pencegahan, dan sebagainya.
”Teman-teman masyarakat sipil jangan hanya menilai dari sosoknya. Lihatlah apa isinya dan dampak yang terjadi. Penunjukan Bupati Seram itu atas permintaan dari gubernur. Karena penjabat berpengalaman menangani konflik di Poso, konfliknya bisa tereduksi hingga di tingkat enol,” katanya.
Di Papua Barat, Penjabat Gubernur Paulus Waterpauw juga dinilai berhasil sejauh ini menjaga stabilitas politik di Papua Barat. Paulus dinilai mampu menjalin koordinasi dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompinda) dengan kepala Kejaksaan Tinggi, ketua DPRD, dan pemangku kepentingan lainnya.
'Suhu politik menjelang kontestasi pemilu nasional juga akan memanas di level birokrasi. Dalam catatan pemilu pascareformasi, ada kecenderungan aparatur sipil negara kurang netral. Mereka akan berpihak kepada calon tertentu untuk kepentingan pragmatis. Pj berperan untuk menjaga netralitas ASN itu. Pj sebaiknya bisa menjadi contoh yang baik bagi ASN yang dipimpinnya dengan tidak memihak pada parpol atau calon tertentu.'
Dia dinilai bisa menjalin sinergitas dan selalu menjaga komunikasi dengan membentuk program ”Gubernur Menyapa”. Para penjabat juga diminta untuk blusukanbelanja masalah sampai ke akar rumput. Salah satunya untuk mengendalikan inflasi di level daerah.
”Kinerja Pj kami tuntut lebih karena mereka tidak keluar ongkos sepeser pun untuk menjadi kepala daerah. Mereka juga tidak ada kewajiban kepala parpol pengusung. Oleh karena itu, masyarakat yang akan menilai mana yang lebih baik,” ujarnya.
Selain penilaian secara internal, Kemendagri juga akan mengevaluasi kinerja penjabat kepala daerah melalui survei Indeks Demokrasi Indonesia, Indeks Kerukunan Umat Beragama, Indeks Toleransi Beragama, dan Indeks Pembangunan Manusia.
Baca juga: Ketidakpastian Global dan Respons Kebijakan
Para penjabat kepala daerah juga menjalankan misi khusus menyiapkan perhelatan akbar pemilu dan pilkada serentak 2024. Kemendagri akan mengawasi kinerja penjabat kepala daerah untuk menyiapkan pemilu baik dari penyediaan anggaran secara tepat waktu maupun mitigasi kerawanan konflik akibat pemilu dan pilkada.
Tantangan di tahun politik
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengungkapkan, ada sejumlah hal yang harus diperhatikan dan menjadi fokus utama penjabat kepala daerah saat menghadapi tantangan di tahun politik 2023. Para Pj akan menghadapi DPRD yang akan maju berkontestasi dalam pemilu. Karena akan maju, para anggota DPR ini membutuhkan logistik yang bersumber dari dana APBD. Pj harus tangguh bertarung memperjuangkan anggaran yang biasanya terselubung dan sejumlah program dan kegiatan.
”Akan ada nomenklatur anggaran berupa pokir-pokir (pokok-pokok pikiran) yang terselubung di tahun politik. Pj harus mampu berhadapan dengan anggota Dewan,” terangnya.
Artinya, di tahun politik, Pj akan menghadapi persoalan menetapkan APBD secara efektif. Mereka akan bertarung dengan DPRD yang memiliki kehendak agar dana yang dialokasikan berkaitan dengan kepentingan politik mereka. Jika Pj tak pandai mengendalikan, bisa saja terjadi APBD tidak efektif bagi publik. Latar belakang Pj yang berasal dari birokrat sipil ataupun dari TNI/Polri diharapkan mampu menegosiasikan anggaran dengan cara politik.
”Berbicara dengan Dewan itu adalah political talks, bukan bureaucratic language. Ini membutuhkan sense of politics,” ujarnya.
Selain anggaran, Pj juga akan berhadapan dengan penyusunan peraturan daerah yang lebih sarat kepentingan pemenangan politik anggota Dewan. Pj harus lebih berhati-hati dan mewaspadai penyusunan regulasi yang dapat memicu ketegangan politik. Pj harus pandai bermanuver tidak hanya mengakomodasi kepentingan parpol, tetapi juga bekerja dalam koridor hukum dan keberpihakan terhadap kepentingan yang lebih luas.
Djohermansyah juga memprediksi bahwa suhu politik menjelang kontestasi pemilu nasional juga akan memanas di level birokrasi. Dalam catatan pemilu pascareformasi, ada kecenderungan aparatur sipil negara kurang netral. Mereka akan berpihak kepada calon tertentu untuk kepentingan pragmatis. Pj berperan untuk menjaga netralitas ASN itu. Pj sebaiknya bisa menjadi contoh yang baik bagi ASN yang dipimpinnya dengan tidak memihak kepada parpol atau calon tertentu.
”Kepala dinas, bahkan kepala desa bisa dimanfaatkan untuk memberikan dukungan bagi kemenangan suatu parpol atau calon yang akan maju. Ini rawan karena bisa mengancam integritas dan kualitas pemilu. Kami sudah mewanti-wanti agar Pj dan ASN tetap netral,” tegasnya.
Penjabat juga mutlak memberikan dukungan kepada Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu untuk menyelenggarakan pemilu dan pilkada serentak. Pj wajib mendukung kelancaran penyelenggaraan pemilu sampai ke level bawah, misalnya menugaskan orang-orang pemda di sekretariat KPU, supaya sosialisasi dan logistik pemilu lancar.
Potensi masalah
Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasojo mengungkapkan, akan ada sejumlah masalah yang mungkin timbul dalam konteks pengangkatan ASN sebagai penjabat kepala daerah, terutama karena masa jabatan penjabat sangat lama, melebihi setengah dari masa jabatan kepala daerah definitif yang dipilih secara langsung oleh masyarakat. Lamanya masa jabatan ini akan berpengaruh secara signifikan pada tingkat akuntabilitas dan akseptabilitas masyarakat terhadap penjabat (Kompas, 10 Mei 2022).
Eko berpandangan, dalam perspektif teknokratis, para pejabat pimpinan tinggi PNS (madya dan pratama) adalah orang yang mengalami proses panjang pembentukan pengetahuan dan pengalaman dalam urusan pemerintahan. Ini akan menjamin profesionalisme dalam perencanaan, penganggaran, dan juga pelaksanaan pembangunan. Dengan alasan ini, dimungkinkan kinerja pemerintahan yang semakin baik berupa kualitas pelayanan publik dan hasil pembangunan yang tinggi.
Namun, dalam perspektif demokratis, tingkat penerimaan penjabat di mata para anggota DPRD dan masyarakat dapat dipertanyakan karena bukan dianggap orang daerah dari hasil pilkada, melainkan dianggap orang pusat. Ini dinilai bermasalah dalam dukungan politik DPRD dan masyarakat untuk berbagai program pembangunan. Dikhawatirkan terjadi blockade DPRD dalam persetujuan anggaran pembangunan selama dua tahun.
”Aspek demokrasi dan teknokrasi dalam pengangkatan penjabat kepala daerah ini menjadi satu laboratorium politik dan pemerintahan lokal yang menarik sekaligus mengandung risiko kegagalan penyelenggaraan pemerintahan daerah,” tulisnya.
Optimisme
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Adnan Purichta Ichsan menuturkan, karena tahun 2023 adalah tahun politik, penjabat diminta untuk memisahkan antara bekerja di sisi pemerintahan dan sisi politik. Dia berharap Pj menekankan bahwa dia menjalankan tugas pemerintahan karena terjadi kekosongan akibat periodisasi jabatan yang habis sehingga tugasnya bisa difokuskan untuk mempersiapkan pemilu dan pilkada agar bisa berjalan secara jujur, adil, dan demokratis.
Dia mengingatkan kepada penjabat bahwa mereka bukanlah perpanjangan tangan dari parpol. Mereka ditunjuk langsung oleh Kemendagri. Oleh karena itu, kepentingan politik harus lebih sedikit dibandingkan kepala daerah definitif. Dengan demikian, diharapkan Pj bisa menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Kunci utama yang harus dibangun oleh Pj adalah komunikasi dan kolaborasi dengan pemangku kepentingan.
”Kami juga berharap Pj ini tetap membangun komunikasi dengan Apkasi. Kami adalah jembatan karena saat pemerintah pusat ingin mengambil sebuah kebijakan, Apkasi selalu diberi ruang memberikan saran dan masukan,” tuturnya.
Dia juga meminta kepada Pj agar tidak takut membuat inovasi. Menurut dia, ruang berinovasi itu ada karena kewenangan yang dimiliki penjabat sama dengan yang dimiliki kepala daerah definitif. Yang membedakan hanya ruang pemilihannya saja. Adapun ruang menjalankan pemerintahan nyaris sama.
Dengan situasi itu, dia optimistis pada tahun 2023, para Pj bisa menghadapi tantangan ekonomi gelap. Tahun 2020, pada saat pandemi Covid-19 kesehatan masyarakat terancam, perekonomian terganggu, tetapi dengan kekompakan dan kerja sama yang baik, Indonesia relatif mampu melewati tantangan itu. Kini, di tengah ancaman krisis global akibat perang Rusia dan Ukraina, Indonesia juga masih bisa bangkit dari resesi.
”Keberhasilan ke depan sangat ditentukan apabila penjabat kepala daerah mampu berkolaborasi dengan baik,” ujarnya. (*)
Tags : pemerintahan daerah, pemilu serentak 2024, penjabat kepala daerah, ficer analisis, outlook 2023, kompas outlook 2023, tantangan penjabat kepala daerah, efektivitas pemerintahan daerah, tahun politik 2023,