JAKARTA - Sejumlah warga di Jawa Tengah (Jateng) menolak wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa yang dilontarkan sejumlah organisasi pemerintahan desa. Mereka khawatir perpanjangan masa jabatan kepala desa selama sembilan tahun akan rawan korupsi dan penyelewengan.
Peneliti di Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, menerangkan bahwa bila jabatan kepala desa tidak dibatasi dalam periode yang wajar, itu akan semakin mengukuhkan kekuasaan kepala desa dengan minim kontrol. Jika itu terjadi, potensi korupsi akan meningkat.
KPK mencatat ada lebih dari 600 kasus korupsi yang melibatkan aparatur desa sepanjang 2012-2021, menjerat sedikitnya 686 kepala desa.
Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mencatat, jumlah korupsi di sektor anggaran dana desa terus meningkat sejak tahun 2015, ketika program dana desa dimulai.
Tetapi Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Wamendes PDTT), Budi Arie Setiadi, mengatakan gagasan perpanjangan masa jabatan Kades “belum solid” dan masih memerlukan “kajian yang mendalam, komprehensif, tidak tergesa-gesa, dan harus dengan kepala dingin.”
'Masa jabatan kades seharusnya diperpendek'
Agil Sugiman, 44 tahun, warga desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, menyatakan tidak setuju dengan tuntutan sejumlah kepala desa dan perangkat daerah untuk menambah jabatan kepala desa (kades) dari enam tahun menjadi sembilan tahun.
Bahkan, menurut Agil, seharusnya masa jabatan kades diperpendek dari enam tahun menjadi lima tahun.
Ia berpendapat bahwa dalam masa jabatan yang lebih lama kepala desa akan semakin “seenaknya sendiri” dalam mengelola pemerintahan desa dan melayani kepentingan masyarakatnya.
“Dia malah lebih ngawur dengan jabatan yang lama. Harusnya malah diperpendek kalau menurut saya,” kata Agil seperti dirilis BBC News Indonesia, Selasa (24/01).
Kekhawatiran Agil bukan tanpa alasan. Pada September 2022 lalu, kepala desa Berjo, Suyatno, ditahan oleh Kejaksaan Negeri Karanganyar setelah terseret dalam kasus dugaan korupsi dana Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Korupsi tersebut dilaporkan menyebabkan kerugian negara senilai Rp1,16 miliar.
Saat ini, Desa Berjo dipimpin oleh sekretaris desa yang bertindak sebagai pelaksana tugas (Plt) kepala desa. Agil mengatakan ia tidak mau kepala desanya di masa mendatang berurusan hukum karena korupsi.
“Oleh sebab itu, dengan jabatan yang lebih pendek maka akan mengurangi potensi untuk melakukan tindakan korupsi,” ujar Agil.
Penolakan serupa disuarakan sejumlah warga di Banyumas, Jawa Tengah.
Nanang Nurani, 52 tahun, dari Desa Samudra Kulon, Kecamatan Gumelar, mengatakan penambahan masa jabatan berpotensi melanggengkan politik uang.
“Para calon kades yang baru sudah ancang-ancang. Bahkan, saya mendengar sudah ada yang menjual tanah dan mobil. Ini realitas lapangan,” ungkapnya.
Banyak desa di Banyumas menerapkan sistem janggolan, yaitu pembagian lahan sawah yang merupakan kekayaan desa kepada para pejabat teras di pemerintahan desa.
Supaya bisa menang di desa-desa dengan janggolan luas, para calon kades bisa sampai menghabiskan Rp500 juta selama kampanye, kata Nanang.
“Mereka mau keluar uang, karena berdasarkan hitung-hitungan hasil janggolan, modalnya bisa balik. Tetapi ada juga yang maju jadi kades karena prestise,” tuturnya.
Warga lainnya khawatir jika masa jabatan kades diperpanjang menjadi sembilan tahun, akan rawan terjadi penyelewengan keuangan.
Saimin, 56 tahun, dari Desa Pekuncen, Kecamatan Pekuncen, mengatakan bila kades menjabat hingga sembilan tahun ia akan sangat memahami pengelolaan keuangan sehingga akan muncul berbagai cara untuk melakukan penyelewengan.
“Saya juga heran, kades yang sudah memiliki masa jabatan enam tahun demo. Padahal bupati dan gubernur yang tentunya biayanya lebih tinggi tidak demo masa jabatan,” ujarnya.
Kepala Desa Kasegeran, sekaligus ketua Paguyuban Kepala Desa se-Kabupaten Banyumas, Saifudin, mengatakan para kades sudah mempunyai kajian akademik mengenai perpanjangan masa jabatan dari enam tahun menjadi sembilan tahun.
Ada beberapa alasan terkait perpanjangan masa jabatan kades, kata Saifudin. Salah satunya adalah meredam “konflik horisontal” pascapemilihan kepala desa (Pilkades).
“Biasanya butuh dua tahun untuk menyelesaikan konflik. Tahun ketiga memulai visi dan misi. Tahun kesembilan mempersiapkan pemilihan kades,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa konflik horisiontal itu kasuistis namun sebagian besar desa mengalaminya.
Akan tetapi, anggapan itu ditentang warga Desa Karangnangka, Kecamatan Kedungbanteng, Sungging Septivianto. Pria berusia 46 tahun itu berkata bahwa “perang dingin” setelah Pilkades itu hal biasa, dan tidak menggangggu pembangunan desa.
“Jarang sekali mendengar, desa yang situasi politik tidak stabil pascapilkades dan menjadi sulit membangun. Saya jarang mendengar,” tegasnya.
Menurut Sungging, seharusnya seorang kades tidak butuh waktu sembilan tahun untuk melakukan pekerjaan yang berarti.
“Bagi saya kuncinya kreativitas pemimpin. Saya kira satu-dua tahun sudah bisa menorehkan prestasi. Kegotongroyongan di desa cukup kuat. Itu bisa menjadi modal sosial untuk membangun desanya.”
Ia menduga, isu perpanjangan masa jabatan kemungkinan besar terkait dengan ongkos pencalonan. “Karena jika terlalu pendek belum kembali [modal],” katanya sambil terkekeh-kekeh.
Dari mana ide ini berasal?
Isu perpanjangan masa jabatan kepala desa disuarakan sejumlah organisasi pemerintahan desa yang berdemonstrasi di depan Gedung DPR, 16 Januari lalu. Para kades ingin menambah panjang periode jabatan mereka menjadi sembilan tahun.
Saat ini, UU No. 6 tahun 2014 mengatur masa jabatan kades adalah enam tahun. Kemudian, Kades boleh mencalonkan diri untuk dua periode berikutnya sehingga maksimal bisa menjabat selama 18 tahun.
Organisasi-organisasi seperti Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi), Asosiasi Kepala Desa (AKD), dan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) menyampaikan usulan ini sebagai bagian dari revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa.
Selain masa perpanjangan masa jabatan kades, mereka juga mendesak penambahan alokasi dana desa.
Alasan perpanjangan masa jabatan adalah masa jabatan enam tahun tidak cukup untuk membangun desa. Para kepala desa juga meminta Pilkades 2024 ditunda agar tidak mengganggu Pemilu 2024.
Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (MPO Apdesi) Asri Anas mengatakan kepada Kompas.com bahwa ratusan kades yang turun ke jalan menuntut masa jabatan mereka diperpanjang menjadi 9 tahun “digoda” oleh PDI Perjuangan dan PKB. Namun Ketua DPP PDI-P Said Abdullah menyebut klaim itu adalah fitnah.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar, mengatakan, gagasan menambah masa jabatan Kades sebenarnya sudah ia sampaikan sejak Mei 2022 dalam pertemuan dengan sejumlah pakar di Universitas Gajah Mada.
Dia mengatakan konflik polarisasi pasca-pilkades nyaris terjadi di seluruh desa. Konflik tersebut bisa terjadi berlarut-larut sehingga pembangunan desa tersendat dan beragam aktivitas di desa terbengkalai.
Menurut Abdul Halim, yang pernah menjabat wakil ketua DPRD Jatim, dengan menambah masa jabatan menjadi sembilan tahun, Kades bakal punya lebih banyak waktu untuk menyejahterakan warganya dan pembangunan desa dapat lebih efektif.
"Yang diuntungkan dengan kondisi ini adalah warga masyarakat. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah warga masyarakat tidak perlu terlalu sering menghadapi suasana ketegangan yang tidak produktif. Karena yang nggak produktif nggak cuma kepala desanya tapi juga warganya," ujarnya, seperti dikutip dalam siaran pers di situs web resmi Kemendesa PDTT.
Imbuh Abdul Halim, penambahan masa jabatan menjadi sembilan tahun berarti kades hanya boleh menjabat selama dua periode.
"Sama-sama (total selama) 18 tahun. Hanya bedanya, kalau ditambah (masa jabatan) menjadi sembilan tahun berarti hanya dua periode, yang sebelumnya bisa sampai tiga periode," ujarnya.
Apdesi, yang tidak ikut berdemo di depan gedung DPR, bahkan meminta supaya kepala desa bisa menjabat sembilan tahun selama tiga periode, artinya maksimal 27 tahun.
Ketua Apdesi Surta Wijaya mengatakan organisasinya hanya menyampaikan “aspirasi teman-teman di daerah” kepada petinggi-petinggi negara, misalnya Komisi II DPR dan Kementerian Dalam Negeri (Mendagri).
Ia mengatakan persoalan perpanjangan masa jabatan masih perlu dikaji secara ilmiah, dan “kalaupun terjadi jangan sampai mencederai teman-teman kepala desa.”
Surta menjelaskan: “Kalau jadi sembilan tahun kemudian saya sekarang enam tahun, maka jadi kurang bagi yang baru mengabdi satu periode karena dia mengabdi jadi 15 tahun, tidak 18 tahun.
“Kan [kepala desa] yang berjuang bukan yang satu periode aja, yang dua periode, tiga periode ikut berjuang. Bagaimana beliau pada akhirnya merasa ‘lah kan aku ikut berjuang tapi aku cuma mengantarkan’... Jadi banyak polemik di bawah.”
Khawatir menyuburkan korupsi
Namun pegiat anti korupsi khawatir perpanjangan masa jabatan kepala desa berpotensi menyuburkan praktik korupsi.
KPK mencatat 601 kasus korupsi yang melibatkan aparatur desa sepanjang 2012-2021, menjerat sedikitnya 686 kepala desa. Adapun korupsi dana desa menjadi perkara penyelewengan keuangan negara terbanyak ketiga.
Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2021 juga menyebutkan bahwa penegak hukum paling banyak menangani kasus korupsi di sektor anggaran desa. ICW mencatat ada 154 kasus korupsi anggaran desa pada 2021, dengan kerugian negara sebesar 233 kasus.
ICW juga mencatat, jumlah korupsi di sektor anggaran dana desa terus meningkat sejak tahun 2015, ketika program dana desa dimulai.
Peneliti di Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, menerangkan teori tentang kekuasaan yang menyebut “Power corrupts, and absolute power corrupts absolutely”.
Artinya, kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.
Menurut Zaenur, bila jabatan kepala desa tidak dibatasi dalam periode yang wajar, itu akan semakin mengukuhkan kekuasaan kepala desa dengan minim kontrol. Jika itu terjadi, potensi korupsi akan meningkat.
“Karena jika seseorang menjabat, kekuasaannya lama, maka dalam kekuasaan itu, kekuasaan begitu terkonsolidasi sehingga mematikan fungsi-fungsi pengawsan, kontrol, saling mengimbangi. Misalnya dari BPD kepada kepala desa dan aktor-aktor di pemerintahan desa, itu sudah semakin solid,” ia menjelaskan.
Periode yang wajar itu menurut Zaenur adalah enam tahun untuk satu periode, seperti yang diatur saat ini. Enam tahun ia nilai sebagai “titik tengah” dari sifat-sifat kekuasaan di desa yang berbeda dengan demokrasi ala barat.
Zaenur mengatakan periode enam tahun dapat menjadi suatu fungsi kontrol terhadap kekuasaan yang tidak disetujui oleh rakyat.
“Jadi misalnya ketika rakyat melihat kepala desanya itu kinerjanya tidak baik, cenderung menyeleweng, bahkan tidak bisa menjalankan tugas-tugasnya maka cukup satu periode.
“Tetapi kalau sembilan tahun, sembilan tahun itu adalah waktu yang terlalu lama untuk melakukan koreksi terhadap jalannya kekuasaan dengan tidak memilih kembali,” ujarnya.
Bahkan, menurut Zaenur, masa jabatan kepala desa yang 6x3 (satu periode enam tahun dan bisa dipilih sampai tiga periode) sudah merupakan suatu kelonggaran dibandingkan jabatan presiden dan kepala daerah, yaitu 5x2 (satu periode lima tahun dan bisa dipilih sampai dua periode).
“Jangan sampai karena adanya interest politik beberapa elite yang menginginkan dukungan dari desa, termasuk kepala desa dan perangkatnya ini kemudian merusak demokrasi di desa dan menyuburkan tindak pidana korupsi di desa,” kata Zaenur.
Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Wamendes PDTT), Budi Arie Setiadi, mengatakan pemilihan kepala desa tidak bisa disamakan dengan Pilpres, Pileg, atau Pilkada karena di desa proses regenerasi pemimpin tidak selalu berjalan, dan kondisi setiap desa berbeda-beda.
“Kadang-kadang di desa itu nggak ada orang ... Memang kayak Pilpres, Pilgub, bupati regenerasinya banyak? Kadang-kadang di kades itu nggak ada orangnya [yang mau mencalonkan diri],” kata Budi.
Bagaimanapun, Budi mengatakan gagasan perpanjangan masa jabatan Kades “belum solid” dan masih memerlukan “kajian yang mendalam, komprehensif, tidak tergesa-gesa, dan harus dengan kepala dingin.”
“Dan ini bukan komoditas politik,” ia menambahkan.
Menurut Budi, berapa lama pun masa jabatan Kades, pada akhirnya yang paling penting adalah kehendak warga desa dan kemajuan desa.
“Ini sesuai dengan aspirasi warga desa nggak? Ini efektif nggak buat memajukan desa? Alat ukurnya dua itu". (*)
Tags : Kepala Desa, Perpanjangan Jabatan Kades, Penolakan Perpanjangan Jabatan Kades, Perpanjangan Jabatan Dikhawatirkan Lihai Korupsi,