PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Kebakaran hutan dan lahan [Karhutla] adalah suatu peristiwa yang terjadi baik secara alami maupun oleh perbuatan manusia mengakibatkan kerusakan lingkungan yang menimbulkan kerugian ekologi, ekonomi, sosial budaya dan politik.
"Memang adanya penurunan jumlah dan penekanan Karhutla di Tanah Air berhasil, tetapi faktanya dilapangan masih terjadi," kata Ir. Ganda Mora SH, M.Si, Ketua Yayasan Sahabat Alam Rimba [SALAMBA] melalui pesan rekaman alat elektronik Whast App [WA] nya, Rabu (2/10).
Menurut Ganda dampak terjadinya kebakaran hutan mengakibatkan flora dan fauna kehilangan habitat untuk hidup bahkan ancaman kepunahannya.
Akibatnya, makhluk hidup baik fauna dan flora akan kekurangan tempat perlindungan dan suplai makanan yang di sediakan oleh alam.
Sehingga sering kali hewan-hewan akan berpindah tempat ke daerah yang lebih aman bahkan tidak jarang masuk ke pemukiman penduduk dan hal itu sangat meresahkan.
Berbagai upaya di lakukan untuk menanggulangi kebakaran hutan, seperti dengan penanaman pohon kembali baik yang di inisiasi oleh masyarakat maupun pemerintah.
Untuk itu, perlu di bangun kesadaran kolektif dan edukasi kepada masyarakat bahwa hutan dan alam adalah rumah bagi manusia termasuk makhluk hidup lainnya.
“Namun, kunci suksesnya terletak bukan hanya menangani terjadinya kebakaran hutan dan lahan, tetapi harus di cegah sedini mungkin. Agar tidak menimbulkan kerugian yang besar dan meluas,” ujarnya.
"Untuk itu di perlukan upaya pencegahan baik dari masyarakat maupun pemerintah," tambahnya.
Berbagai upaya terus di lakukan pemerintah dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di tanah air.
Sepanjang tahun 2023, upaya yang di lakukan telah menuai hasil, dimana tingkat Karhutla bisa di tekan. Sehingga bencana kabut asap bisa di hindari dan di cegah secara optimal.
Ia menilai upaya pencegahan dan penanganan Karhutla sesuai Instruksi Presiden [Inpres] Nomor 3 Tahun 2020, Tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan di tanah air telah menunjukkan adanya upaya perbaikan yang signifikan.
Namun demikian, upaya peningkatan tetap harus di laksanakan secara berkelanjutan.
Penanganan Karhutla merupakan tanggung jawab besama, karena hal itu menyangkut kepentingan masyarakat baik saat ini maupun di masa depan. Termasuk menjaga nama baik Indonesia di mata internasional.
Kendati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] mengeklaim telah berhasil menekan kebakaran hutan dan lahan [karhutla] sepanjang Januari-Oktober 2023 sebesar 30,8 persen dibandingkan 2019, namun SALAMBA justru menilainya gagal.
Ia mengungkapkan keberhasilan ini terjadi bahkan ketika kondisi tahun 2023 disebut-sebut sebagai lebih kering dibanding tahun 2019.
Sementara KLHK mencatat luas karhutla sampai dengan Oktober 2023 sebesar 994.313,18 hektar.
Pada 2023, terdapat 11 provinsi rawan karhutla khususnya Provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan yang sejak awal tahun telah diupayakan pencegahan karhutla, karena sudah dideteksi musim kemarau panjang akibat pengaruh El Nino.
Namun Ganda menilai klaim penurunan karhutla tahun 2023 dibanding 2019 tidaklah penting.
"Faktanya, masih terjadi karhutla, dan masyarakat gagal terlindungi."
Menurutnya, ada dua kegagalan dari pemerintah.
Pertama, masih terjadinya karhutla karena KLHK tidak pernah melakukan tindakan evaluatif dan korektif terhadap kebijakan yang selama ini dijalankan.
Kedua, KLHK dalam menjalankan kebijakannya tidak pernah bekerja sama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional [ATR/BPN].
"Kenapa harus kolaboratif karena beberapa titik karhutla juga terjadi di area yang merupakan kewenangan Kementerian ATR/BPN," jelasnya.
Pemerintah semestinya belajar dari karhutla 2015 untuk kemudian melakukan monitoring dan evaluasi [monev] guna diterapkan sebuah tindakan efektif pada tahun-tahun berikutnya.
Sementara yang terjadi, kata Ganda, dalam kurun delapan tahun 2015-2023, karhutla masih sama, titik apinya sama di area-area operasional 194 perusahaan yang sama, dengan kualitas dampak yang sedikit berbeda.
"Ini artinya sepanjang delapan tahun tidak ada upaya pemerintah melakukan koreksi mendasar, seperti penciutan dan pencabutan perizinan dan lain sebagainya yang diterapkan pada perusahaan-perusahaan yang area operasinya terbakar selama kurun delapan tahun itu," paparnya.
Apa yang dilakukan Pemerintah dalam konteks hukum dan kebijakan kehutanan dinilainya justru meliberalisasi kawasan hutan agar industri beroperasi di wilayah hutan dan hidrologis gambut.
"Undang-undang [UU] Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 110 A dan pasal 110 B mengampuni perusahaan yang secara ilegal beroperasi di kawasan hutan dan hidrologis gambut dan menjadi penyebab karhutla. Ini yang seharusnya dikoreksi. Selain itu, tak cukup hanya disegel, tapi dicabut izinnya," tegas Ganda.
Kalau kemudian KLHK cukup hanya sampai penyegelan, dalam lima tahun ke depan karhutla pasti akan terus terjadi dengan dampak yang mungkin lebih fatal karena terkait perubahan iklim, pemanasan global, serta El Nino.
Menurut Ganda, evaluasi dan koreksi ini akan menjadi basis tindakan oleh KLHK untuk menghasilkan kebijakan menyeluruh dan sudah seharusnya dilakukan pencabutan izin atau penciutan izin, dan penegakan hukum lainnya.
"Saat ini tidak ada penegakan hukum yang tegas. Kalau itu menjadi satu hal yang ditujukan untuk memberikan efek jera, itu harus dilakukan," tutupnya. (*)
Tags : sahabat alam rimba, salamba, konsesi klhk, karhutla, penanganan kebakaran hutan dan lahan, lingkungan, alam,