KESEHATAN - Penyakit kusta telah ada selama hampir 3.500 tahun, namun para ilmuwan masih belum mengetahui banyak fakta mendasar mengenainya.
Di alam liar, satu-satunya makhluk yang diketahui membawa Mycobacterium leprae, bakteri penyebab kusta, adalah mamalia yang terlihat seperti tikus besar dengan moncong panjang dan mengenakan 'baju besi kulit' - yaitu trenggiling berpita sembilan.
Kusta merupakan penyakit kronis menular yang menyerang kulit, saraf, dan selaput lendir, yang kemudian menyebabkan bercak putih, mati rasa, pelemahan otot dan kelumpuhan.
Namun, terlepas dari akibat yang berbahaya dan kasus-kasus yang kemungkinan telah tercatat sejak 1400 SM, hingga hari ini, masih banyak hal tentang penyakit kuno ini yang masih misterius.
Tidak ada yang tahu bagaimana kusta muncul, atau mengapa di beberapa bagian dunia penyakit ini lebih menyebar dibanding di tempat lain.
Para ilmuwan bahkan masih belum tahu pasti bagaimana penyebarannya – dan masih belum ada cara mudah untuk memeriksa apakah seseorang mengidapnya.
Contohnya adalah trenggiling. Berasal dari Amerika Selatan, hewan pemakan serangga ini sekarang juga ditemukan di seluruh Amerika Tengah dan Amerika Utara bagian selatan.
Di Brasil, satu dari tiga negara yang menyumbang sebagian besar dari 200.000 kasus kusta baru setiap tahun bersama India dan Indonesia, trenggiling diburu untuk diambil dagingnya.
Dalam sebuah studi, para peneliti menemukan bahwa 62% trenggiling yang dibunuh pemburu terinfeksi M. leprae (survei serupa di AS – di mana ada antara 150-250 kasus baru pada manusia yang dilaporkan setiap tahun – telah menemukan 20% dari hewan yang ada di sana membawa bakteri).
Di AS, hewan ini disalahkan atas peningkatan kasus kusta di Florida.
Namun, seperti banyak hal tentang kusta yang masih misteri, sejauh mana trenggiling bertanggung jawab dalam menyebarkan penyakit ini pada manusia secara karakteristik tidak jelas.
Belum lagi fakta bahwa manusia mungkin telah menularkan penyakit pada hewan-hewan ini pertama kali, ketika orang Eropa membawanya ke Brasil sekitar 500 tahun yang lalu.
Mengapa kusta tetap begitu misterius – dan terbukti sangat sulit dipecahkan? Lalu yang terpenting, mungkinkah ini akan terjawab?
Pasien-pasien yang hilang
"Ini adalah penyakit yang sangat kompleks dan banyak tentang kusta masih menjadi teka-teki yang mencekam, bahkan hingga hari ini," kata Gangadhar Sunkara, ilmuwan pengembangan obat dan kepala program global di perusahaan farmasi Novartis.
Terlepas dari kemajuan signifikan dalam mengatasi penyakit ini, hingga tiga juta orang di seluruh dunia masih hidup dengan kusta dan rata-rata 200.000 kasus baru terdeteksi setiap tahun, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Namun, pada tahun 2020, jumlah itu turun menjadi 128.000 kasus, kata Cairns Smith, profesor emeritus kesehatan masyarakat di Universitas Aberdeen dan mantan direktur Misi Kusta.
Sekitar 140.000 kasus selama dua tahun telah lolos dari deteksi, sesuai data WHO, sebuah kelalaian yang sebagian besar diyakini akibat ketegangan yang ditimbulkan pandemi Covid-19 pada sistem perawatan kesehatan di seluruh dunia.
"Mereka belum didiagnosis atau diobati dan berisiko tinggi mengalami kecacatan," kata Smith.
Yang paling memprihatinkan adalah jumlah anak yang belum terdiagnosis karena gangguan akibat pandemi.
Setidaknya 15.000 kasus kusta yang terdeteksi di seluruh dunia setiap tahun menyerang anak-anak.
Mendeteksi penyakit ini sejak dini berarti mencegah kecacatan seumur hidup.
"Namun, jumlah ini [anak-anak yang didiagnosis] sudah menurun menjadi 8.000-9.000 kasus," katanya.
“Artinya, banyak anak-anak yang terancam terkena penyakit ini. Beberapa negara menunjukkan pemulihan, tetapi deteksi kasus masih rendah di negara-negara seperti Myanmar, Sri Lanka, Filipina. Saat ini, kita sedang benar-benar menghadapi tantangan akut," katanya.
Dunia telah membuat langkah besar dalam pengobatan kusta sepanjang empat dekade terakhir, terutama dengan pengenalan terapi multi-obat WHO untuk mengobati kusta multibasiler pada tahun 1982.
Kusta multibasiler adalah bentuk penyakit yang lebih lanjut, sering ditandai dengan lesi kulit dan kecacatan.
Satu pengobatan baru adalah terapi multiobat, (MDT) – kombinasi dari tiga pil, dua di antaranya diminum sebulan sekali dan satu lagi setiap hari.
Pengobatan ini memiliki dampak yang sangat besar dalam menghentikan perkembangan penyakit, membawa kita sedekat mungkin dengan penyembuhan dan mencegah kecacatan di antara mereka yang terkena dampak.
Tapi cara ini belum bisa menghentikan munculnya kasus baru, jelas Venkata Pemmaraju, ketua tim Program Kusta global WHO dan yang telah menangani masalah terkait kusta selama empat dekade terakhir.
Tantangan lama
Jadi apa yang membuat penyakit kuno ini sulit diobati?
Menurut Sunkara, ada sejumlah faktor yang memengaruhi.
Pertama, M. leprae bereplikasi dengan sangat lambat, sehingga perlu waktu antara dua hingga 20 tahun sebelum orang yang terinfeksi menunjukkan gejala penyakit tersebut.
Waktu inkubasi rata-rata (waktu antara paparan bakteri dan gejala pertama kali muncul) untuk penyakit ini adalah lima tahun, dan dalam kasus yang jarang terjadi, pasien mungkin tidak menunjukkan gejala selama dua dekade.
"Bakteri ini memiliki waktu inkubasi yang lebih lama," kata Sunkara.
“Diperlukan waktu sekitar 14 hari bagi satu bakteri untuk membelah menjadi dua di dalam tubuh, dibandingkan dengan bakteri penyebab penyakit lain yang dapat berlipat ganda dalam hitungan menit,” kata Sunkara.
Sebagai perbandingan, dalam kondisi optimal bakteri usus umum Escherichia coli, penyebab kasus keracunan makanan, dapat membelah setiap 20 menit sekali.
Waktu inkubasi yang lama tidak hanya menjadi masalah bagi pasien, tetapi juga orang-orang di sekitarnya.
Selama ini, pasien yang tidak tahu bahwa dirinya telah terinfeksi dapat menularkankan kepada orang lain, terutama kepada kontak dekat seperti anggota keluarga.
Sekali infeksi kusta telah terbentuk dan berkembang menjadi multibasiler, perlu waktu hingga dua tahun untuk mengobatinya, bahkan dengan kombinasi antibiotik.
Masalah lainnya adalah resistensi antibiotik. Pengobatan asli kusta adalah antibiotik dapson, yang ditemukan efektif melawan bakteri pada tahun 1940-an – sebelum itu, penyakit ini tidak dapat disembuhkan.
Namun, pada 1960-an, obat ini menjadi kurang efektif.
Saat ini ada beberapa pilihan yang lebih efektif, terutama antibiotik rifampisin.
Pendekatan modern yang menggunakan beberapa antibiotik secara bersama-sama untuk mencegah perkembangannya kembali resistensi, tetapi ini tetap menjadi perhatian yang berkelanjutan.
Di sisi lain, dengan diagnosis dan pengobatan dini, kusta jauh lebih mudah untuk dihilangkan.
Sayangnya, mendiagnosis kusta sangat sulit.
Saat ini, metode standarnya adalah melakukan biopsi.
Dengan teknik ini, sayatan kecil dibuat pada lesi kulit, di mana darah diambil dan cairan jaringan serta pulp dikumpulkan untuk diuji di bawah mikroskop.
Tetapi metode ini melelahkan dan mahal, membutuhkan keahlian laboratorium dan teknis.
Cara ini sangat menantang di daerah pedesaan, di mana fasilitas laboratorium tidak selalu tersedia, serta di negara berpenghasilan rendah di mana kusta lazim dan sumber daya terbatas.
"Akibatnya, banyak pasien didiagnosis terlambat ketika kerusakan saraf dan kulit telah terjadi," kata Sunkara.
Masalah ini diperparah oleh fakta bahwa para ilmuwan masih belum mengetahui dengan pasti bagaimana kusta menyebar.
Mengejutkannya, sangat sulit untuk tertular penyakit ini, dan seringkali membutuhkan kontak dekat selama berbulan-bulan dengan orang yang terinfeksi.
Konsensus saat ini kemungkinan besar ditularkan melalui tetesan di udara saat seseorang batuk atau bersin, tetapi mungkin ada rute lain seperti melalui kulit.
Baru-baru ini para ilmuwan juga menemukan bakteri kusta ini pada tupai merah yang tinggal di Inggris, tetapi meskipun telah dilakukan upaya ekstensif, belum ada pembawa hewan lain yang ditemukan.
Bahkan ada anggapan bahwa tupai merah mungkin bertanggung jawab atas penyebaran penyakit di Eropa Abad Pertengahan.
Kemungkinan lain reservoir alami lain untuk bakteri tersebut mungkin ada dan bahkan ditemukan bertahan hidup di tanah menurut sampel yang dianalisis dari Inggris, Bangladesh, dan India.
Namun, seperti halnya trenggiling atau armadillo, tidak jelas bagaimana kumpulan kusta liar ini dapat mempengaruhi penularannya pada manusia.
Jadi, alih-alih melalui proses diagnostik yang melelahkan, salah satu pilihannya adalah merawat orang-orang yang mungkin telah terpapar.
“Untuk mencegah penyebaran kusta, pada tahun 2018, WHO memperkenalkan intervensi yang signifikan – kontak dekat pasien kusta dilacak dan diberi rifampisin dosis tunggal,” kata Pemmaraju.
Cara ini memiliki efek perlindungan sekitar 55-60%. Namun, karena pandemi mengganggu upaya untuk mendeteksinya, sebanyak 140.000 kasus tidak terlacak di seluruh dunia, yang berdampak pada penyebaran kusta.
"Dengan asumsi setiap pasien kusta memiliki 10 kontak, itu lebih dari 1,5 juta orang yang berisiko terkena kusta karena mereka belum dapat menggunakan rifampisin dosis tunggal," kata Smith.
Pengobatan rifampisin memiliki dampak yang signifikan di negara-negara seperti Ghana, kata Benedict Quao, yang memimpin Program Pengendalian Kusta Nasional di Ghana, yang merupakan anggota Kemitraan Global untuk Bebas Kusta.
"Untuk pertama kalinya, negara memiliki pedoman medis yang dapat mendorong pemimpin politik untuk bertindak," katanya.
Meskipun pandemi Covid-19 menjadi penyebab utama terganggunya program baru ini, metode ini memperkenalkan satu alat baru yang berguna: pelacakan kontak.
Metode ini sangat membantu dalam melacak kontak pasien kusta di banyak daerah sehingga mereka dapat menerima satu dosis antibiotik pencegah.
Halangannya adalah beberapa negara mungkin tidak dapat memobilisasi sumber daya yang cukup untuk pengiriman rutin rifampisin ke kontak pasien kusta, kata Quao.
"Di Ghana kami memiliki pengalaman itu di enam dari 16 wilayah dan kami ingin meningkatkannya. Ini adalah saat yang tepat bagi kami untuk melakukan intervensi, tetapi ini bukanlah intervensi yang sempurna. Negara-negara menyadarinya."
Jika tes diagnostik cepat yang efektif telah tersedia – yang non-invasif dan efektif, maka banyak dari kasus kusta yang hilang dan kontak dekat pasien dapat didiagnosis, tanpa memerlukan resep rifampisin untuk individu yang berpotensi sehat.
Kabar baiknya adalah tes diagnostik ini sedang dalam pengembangan – meskipun mungkin belum tersedia untuk beberapa waktu.
Untuk mempelajari penyakit dan perkembangannya serta mengembangkan tes diagnostik, para ilmuwan seringkali perlu menyuntikkan M. leprae ke trenggiling, sebuah teknik yang pertama kali dicoba pada tahun 1971.
"Fakta bahwa kita tidak dapat membiakkan [menumbuhkan] bakteri ini dengan mudah di laboratorium adalah faktor lain yang menghambat kemajuan pengembangan tes ini," kata Sunkara.
Cakrawala baru
Sejak tahun 2000, Yayasan Novartis telah bermitra dengan WHO, memasok obat-obatan gratis secara global untuk terapi multi-obat.
Pada Februari 2022, mereka bermitra dengan Fiocruz untuk penelitian yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) dalam mempercepat diagnosis kusta.
"Saya menyebutnya menerapkan teknologi canggih untuk penyakit kuno," kata Sunkara.
Setidaknya ada 20-30 penyakit kulit lain yang memunculkan bercak putih di kulit, kata Sunkara.
Menggunakan algoritma kecerdasan buatan (AI) untuk menganalisis cara cahaya memantulkan secara berbeda dari permukaan setiap penyakit kulit, memungkinkan untuk mengidentifikasi kusta, membedakannya dari kondisi serupa lainnya dengan jauh lebih akurat.
Studi mereka, yang diterbitkan di Lancet Regional Health, mematok akurasi sebesar 90% – tetapi dengan 1.229 gambar kulit, kumpulan data saat ini masih kecil.
Jika berhasil dalam skala yang lebih besar, suatu hari nanti mungkin akan menjadi alat yang berguna untuk membantu mempercepat diagnosis dan pengobatan.
Melanjutkan stigma
Ketika kemajuan penelitian modern dalam pengobatan dan diagnosis kusta telah mengubah hidup banyak pasien, ada satu masalah yang tidak pernah hilang: diskriminasi tanpa henti.
“Kusta tetap menjadi masalah hak asasi manusia yang mengakar,” kata Alice Cruz, Pelapor Khusus PBB untuk penghapusan diskriminasi terhadap orang yang terkena kusta, peran yang dipegangnya sejak November 2017.
Ada lebih dari seratus undang-undang yang mendiskriminasi orang dengan kusta di seluruh dunia, menciptakan stigma kuat yang dapat bertindak sebagai penghalang untuk mendapatkan pengobatan, katanya.
Di beberapa negara, kusta menjadi alasan perceraian. Di India, penyakit ini menjadi masalah perceraian sampai undang-undang diubah pada tahun 2019.
Banyak orang yang terkena penyakit masih berjuang untuk mendapatkan pekerjaan, dan penyakit ini dapat menghalangi akses mereka ke layanan kesehatan dan pendidikan.
"Negara harus melakukan segala daya mereka untuk menghapus undang-undang yang diskriminatif dan menerapkan kebijakan yang dapat menjamin hak ekonomi dan sosial bagi orang yang terkena kusta," kata Cruz.
“Ke depan, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah sistem perawatan kesehatan kita berfungsi untuk memberikan akses penuh kepada orang yang terkena kusta? Ini karena kusta lebih dari sekadar penyakit, itu menjadi label yang merendahkan orang yang terkena penyakit itu". (*)
Tags : kusta, penyakit kuno misterius, kusta hadir hampir 3.500 tahun, kusta belum bisa dipecahkan, ilmuwan, penelitian medis belum temukan obat kusta, kesehatan, organisasi kesehatan dunia,