Sosial   2025/11/16 10:35 WIB

Penyebab Kesenjangan Antara Orang Kaya dan Kelas Menengah yang Makin Anjlok

Penyebab Kesenjangan Antara Orang Kaya dan Kelas Menengah yang Makin Anjlok

SOSIAL - Kesenjangan antara orang kaya dan kelas menengah terus melebar, dan kecepatannya semakin tinggi. Sementara kelas menengah bekerja lebih keras dari sebelumnya, kaum kaya tampak menggandakan kekayaannya dengan mudah.

Ini bukan soal moralitas atau etos kerja, melainkan soal matematika, ekonomi, dan bagaimana sistem keuangan secara struktural menguntungkan mereka yang sudah memiliki modal.

Sistem ini tidak dirancang berdasarkan teori konspirasi, tetapi secara matematis memihak pada kepemilikan modal dibanding tenaga kerja.

Berikut ini 10 alasan mengapa orang kaya makin kaya dan kelas menengah tetap begitu-begitu saja, seperti dikutip dari Newtrader U:

1. Bunga Berbunga: Kawan bagi Aset, Lawan bagi Utang

Kekuatan bunga berbunga (compound interest) adalah hukum dasar dalam dunia keuangan—dan bekerja ke arah yang berlawanan tergantung posisi kita.

Bagi orang kaya, bunga berbunga memperbesar kekayaan mereka. Investasi di saham, properti, atau bisnis menghasilkan keuntungan yang terus berlipat.

Misalnya, Rp1 miliar yang diinvestasikan dengan imbal hasil 8 persen per tahun bisa tumbuh berkali lipat dalam 20 tahun tanpa tambahan modal.

Sebaliknya, bagi kelas menengah, bunga berbunga justru menjadi beban. Kredit kendaraan, cicilan kartu kredit, atau pinjaman konsumtif berarti membayar bunga atas bunga. Harga mobil yang dibeli kredit bisa jauh lebih mahal dari harga tunainya.

Orang kaya paham prinsip ini—mereka tidak berutang untuk membeli aset yang nilainya turun, melainkan menggunakan utang untuk memperbesar aset yang memberi hasil.

2. Sistem Pajak Lebih Berat ke Pekerja daripada Pemilik Modal

Struktur pajak di banyak negara, lebih banyak memajaki penghasilan dari kerja, bukan penghasilan dari aset. Karyawan bergaji tetap harus membayar pajak setiap bulan dari gaji bruto mereka.

Sebaliknya, mereka yang mendapatkan penghasilan dari capital gain, seperti penjualan saham atau properti, sering kali menikmati tarif pajak yang lebih rendah. Bahkan, selama aset itu belum dijual, kenaikan nilainya tidak dikenai pajak sama sekali.

Artinya, seorang profesional dengan gaji Rp30 juta per bulan dipotong pajak rutin, sementara seseorang yang memiliki properti bernilai miliaran bisa melihat kekayaannya naik tanpa kewajiban pajak langsung.

3. Aturan 4 persen vs Aturan 50 persen

Kemandirian finansial bekerja dengan rumus berbeda untuk setiap kelas ekonomi. Mereka yang punya modal besar bisa hidup dari hasil investasi—misalnya menarik 4 persen dari total asetnya per tahun tanpa menggerus pokok modal.

Sementara bagi kelas menengah, kenyataannya berbeda. Setelah dikurangi pajak, cicilan rumah, biaya kesehatan, dan kebutuhan pokok, hanya sekitar 50 persen dari penghasilan bruto yang tersisa untuk hidup.

Untuk mempertahankan gaya hidup setara dengan mereka yang hidup dari investasi, seseorang harus bekerja jauh lebih keras.

4. Ketimpangan dalam Akses Utang dan Leverage

Bank dan lembaga keuangan memberikan syarat pinjaman yang sangat berbeda bagi orang kaya dan kelas menengah.

Orang kaya bisa meminjam dengan bunga rendah karena memiliki jaminan besar—seperti deposito, saham, atau properti—yang bisa digunakan sebagai agunan.

Mereka bisa meminjam dengan bunga 5–7 persen untuk membeli aset yang memberi imbal hasil 10–12 persen. Sementara kelas menengah meminjam untuk rumah, mobil, atau biaya pendidikan dengan bunga lebih tinggi, dan hasilnya bukan menambah aset, melainkan menambah beban.

Leverage (kemampuan memperbesar modal lewat pinjaman) menjadi alat pengungkit kekayaan bagi yang sudah punya aset, tetapi menjadi jebakan bagi yang belum punya.

5. Keunggulan Kesabaran: Saat Orang Kaya Bisa Menunggu

Orang kaya bisa bersabar. Mereka punya bisnis, properti, dan investasi jangka panjang. Saat pasar turun, mereka tidak perlu menjual aset karena kebutuhan uang tunai—mereka justru bisa membeli lebih banyak di harga diskon.

Kelas menengah biasanya menabung di instrumen likuid seperti reksa dana atau tabungan saham. Begitu pasar turun, tekanan psikologis dan kebutuhan sehari-hari memaksa mereka menjual di waktu yang salah.

Yang bisa menunggu akan menikmati keuntungan saat pasar pulih; yang butuh likuiditas harus membayar mahal dengan kehilangan potensi imbal hasil jangka panjang.

6. “Perangkap Dua Penghasilan”

Banyak keluarga kini bergantung pada dua sumber penghasilan—suami dan istri bekerja. Secara nominal pendapatan rumah tangga terlihat besar, tapi setelah dikurangi pajak, biaya anak, transportasi, dan pengeluaran rumah tangga, yang tersisa jauh lebih kecil dari yang terlihat.

Masalahnya, kehilangan satu penghasilan bisa langsung mengguncang stabilitas keuangan keluarga. Sementara keluarga dengan aset dan investasi tidak mengalami tekanan semacam itu—pendapatannya tidak bergantung pada bekerja setiap hari.

7. Nilai Pendidikan Berbeda

Bagi yang Punya Modal Bagi kelas menengah, kuliah sering berarti pengorbanan finansial besar bahkan utang pendidikan. Adapun hasilnya adalah pekerjaan bergaji tetap dengan kenaikan terbatas.

Namun bagi keluarga kaya, gelar pendidikan memberikan akses ke jaringan dan peluang bisnis—bukan sekadar ijazah.

Pendidikan mereka menjadi modal sosial yang nilainya terus bertumbuh lebih cepat daripada gaji. Inilah sebabnya dua orang dengan gelar yang sama bisa memiliki nasib finansial yang sangat berbeda.

8. Inflasi Adalah Pajak Tak Terlihat

Kenaikan harga barang dari tahun ke tahun paling terasa bagi mereka yang menyimpan uang tunai. Tabungan di bank dengan bunga 2–3 persen kalah jauh dari inflasi 4–5 persen. Artinya, daya beli menurun setiap tahun.

Sebaliknya, orang kaya menempatkan uangnya pada aset produktif seperti properti, saham, atau bisnis. Nilainya naik mengikuti inflasi, bahkan sering melampauinya. Inflasi pada dasarnya memindahkan kekayaan dari penabung ke pemilik aset.

9. Nilai Waktu Bagi yang Punya Modal

Bagi pekerja bergaji, satu jam kerja memiliki nilai tetap—tidak bekerja berarti tidak dibayar. Orang kaya tidak menukar waktu dengan uang; uang mereka bekerja sendiri.

Mereka mendapat dividen, sewa, atau kenaikan nilai aset meski sedang liburan. Inilah yang menciptakan jurang eksponensial: kelas menengah berjuang menjaga penghasilan tetap, sementara orang kaya fokus mengambil keputusan yang menggandakan asetnya.

10. Kecepatan Perputaran Uang

Uang orang kaya tidak pernah diam. Properti mereka menghasilkan sewa, saham memberi dividen, bisnis memberi laba, dan hasilnya terus diinvestasikan lagi. Setiap rupiah bekerja 24 jam tanpa henti.

Sebaliknya, uang kelas menengah hanya berputar saat mereka bekerja. Begitu gaji masuk, uang itu digunakan untuk kebutuhan dan habis sebelum bisa tumbuh.

Perbedaan kecepatan perputaran inilah yang membuat jurang kekayaan makin melebar dari tahun ke tahun.

Adakah Jalan Keluar? Sistem ekonomi tidak selalu “curang”, tapi secara struktural memang memihak pada pemilik modal dibanding pekerja. Orang kaya tidak selalu bekerja lebih keras, tetapi uang mereka bekerja lebih keras.

Kelas menengah bukan boros, tapi uang mereka lebih cepat terkikis oleh pajak, bunga, dan inflasi. Kuncinya bukan iri, tapi memahami mekanismenya. 

Memahami kenyataan struktural ini adalah langkah pertama untuk mengubah posisi Anda di dalam sistem. Jalan keluarnya adalah mengubah tenaga kerja menjadi kepemilikan, bahkan secara bertahap.

Setiap rupiah yang disimpan dan diinvestasikan adalah langkah kecil menuju posisi di mana uang mulai bekerja untuk Anda, bukan sebaliknya. (*)

Tags : kelas menengah, orang kaya, kesenjangan orang kaya dan kelas menengah, kelas menengah makin anjlok,