PUTRI DELA KARNETA adalah satu-satunya penyelam perempuan dari Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan [Basarnas] yang ikut dalam evakuasi pesawat Lion Air JT-610.
Perempuan berusia 30 tahun itu menceritakan pengalamannya, ketakutannya, dan bagaimana dia membuktikan bahwa perempuan bukan hanya hiasan dalam tim yang sebagian besar terdiri atas laki-laki.
Nama saya Putri Dela Karneta, 30 tahun, saya satu-satunya penyelam perempuan Basarnas yang ikut dalam evakuasi jatuhnya Lion Air JT-610 di perairan Karawang, katanya singkat seperti dirilias BBC News Indonesia.
Daam pengakuannya,Putri Dela Karneta dirinya baru pertama kali menyelam.
"Cuaca cerah dan air laut sangat biru, seperti tidak ada hal buruk yang pernah terjadi di dalam lautnya. Pelan-pelan saya menyelam, sambil melihat ke alat pengukur kedalaman. 20 meter, 25 meter, kemudian saya melihat dasarnya."
"Saya melihat banyak sekali puing-puing terhampar berantakan di dasar laut. Luas sekali."
"Ada kabel-kabel berserakan, plastik plastik, ada bagian pesawat yang sudah menjadi bagian-bagian kecil."
"Saya merasa sedih, selain karena puing yang berserakan, tapi juga ada bagian-bagian tubuh. Saya berusaha menepis kesedihan itu dengan cara berusaha fokus. Karena jika mengikuti perasaan, pasti saya tidak akan bisa bekerja dengan maksimal," terangnya.
Di dalam laut, rasanya sangat sunyi
Hanya ada saya dan diri saya sendiri. Saya pun berusaha untuk tidak bicara dengan diri sendiri, karena saya tahu itu akan membuat saya tidak fokus.
Karena saya Muslim, cara saya untuk terus fokus adalah dengan berzikir dari sejak masuk ke dalam air sampai keluar. Berzikir membantu saya untuk tetap fokus memperhatikan apa yang ada di sekeliling saya.
Kemudian saya dan tim mulai bergerak dalam lingkaran untuk mencari jenazah, karena Basarnas fokus mencari jenazah, bukan puing.
Tim saya terdiri dari empat orang, satu orang membawa kantong untuk wadah jenazah sebelum dibawa ke permukaan.
Kami sedang mengecek apakah ada bagian tubuh di sekitar puing, saat salah satu rekan menunjuk ke sebuah potongan tubuh. Saya meraihnya, terasa lunak, lalu memasukkannya ke plastik, baru plastik itu dimasukkan kantong mayat.
Ini adalah pertama kalinya saya melakukan penyelaman di laut dalam untuk penyelamatan, diakuinya.
Tetapi operasi yang paling banyak saya lakukan adalah pencarian dan penyelamatan di air, karena di Lampung banyak kasus orang tenggelam. Di sungai, saya menyelam di kedalaman sampai 10 meter.
Laut dan sungai punya tantangannya sendiri. Sungai punya jarak pandang nol. Jadi kami hanya bisa meraba. Kami pakai senter, itupun tidak banyak membantu. Medan lebih sempit, dan di bawah banyak kayu melintang, batu-batu, lubang, kami tidak tahu karena tidak bisa melihatnya dan hanya bisa meraba-raba.
Di laut, meskipun lebih dalam, jarak pandangnya lebih luas, bisa melihat ke sekeliling, depan belakang.
Ketika pertama kali mendengar informasi bahwa ada pesawat yang hilang, saya dengan antusias mengajukan diri untuk ikut dalam evakuasi.
Kapal kami angkat sauh dari Lampung segera setelah pencarian dimulai, dan tiba di perairan Karawang hari Selasa dini hari.
Kapal tak hentinya bergoyang. Dua hari pertama, saya mabuk laut. Semua yang saya makan, keluar lagi. Tapi lama kelamaan perasaan mabuk laut itu hilang, ombak yang tak hentinya menggoyang kapal terasa seperti ayunan.
Saya awalnya merasa ragu dengan kemampuan saya sendiri. Tapi, senior-senior menunjuk saya untuk menyelam, dan memberi semangat sehingga kepercayaan diri saya bangkit. Kalau saya menyerah, saya tidak akan tahu sampai batas mana saya bisa membantu.
Selama 12 hari di Tanjung Karawang, dalam misi pencarian yang sangat melelahkan, justru saya bisa tidur dengan mudah, karena memang capek. Kelelahan, adalah masalah utama yang dirasakan oleh kami tim penyelamat. Tapi kami mencari penghiburan satu sama lain, dengan cara saling bercanda dan memberi semangat.
Namun setelah pulang, pada hari pertama di rumah, baru terlintas di kepala saya. Apa yang kemarin saya saksikan di dalam laut, seperti kembali ke dalam bayangan saya.
Yang paling membekas adalah melihat jenazah anak-anak, karena, anak-anak masih sangat polos. Mereka tidak mengerti keadaan yang akan menimpa dia saat pesawat jatuh, dan berpikir mengenai hal itu membuat saya sedih sekali.
Beberapa orang beranggapan bahwa pekerjaan sebagai petugas penyelamat di Basarnas adalah pekerjaan yang kami lakukan hanya demi gaji. Sebagai pegawai Basarnas, saya adalah PNS golongan II A. Kami memang mendapatkan gaji dari pekerjaan ini, tapi pekerjaan ini akan menjadi beban jika tidak dilakukan dari dalam hati.
Mengangkat jenazah yang sudah tidak normal lagi kondisinya, misalnya saya pernah mengevakuasi jenazah yang sudah satu bulan meninggal, menyelam 12 hari di laut, misi pencarian berbulan-bulan, jika motivasinya hanya gaji, saya rasa akan capek luar biasa dan tidak akan kuat.
Penuh tekanan
Sebenarnya pada setiap operasi penyelamatan, saya merasa ada di bawah tekanan, sebab keluarga korban pasti menaruh harapan besar. Berbekal berbekal kemampuan dan latihan, saya mencoba melawan rasa terbebani itu dengan memberikan yang terbaik.
Saya ingin menunjukkan kepada keluarga korban bahwa kami sudah benar-benar maksimal melaksanakan semua misi. Selanjutnya, keluarga lah yang dapat menilai kinerja kami.
Rasa takut pun pasti ada. Tapi rasa takut itu kalah dengan keinginan menolong orang lain.
Meskipun saya tidak mengenal para korban, saya menempatkan diri di posisi mereka. Bagaimana kalau itu terjadi kepada orang terdekat saya? Saya membayangkan bagaimana orang tuanya, anaknya, istrinya, dan ada juga anak-anak.
Pikiran itu memberi motivasi untuk melakukan apapun yang bisa saya lakukan untuk membantu meringankan beban keluarga korban.
Di tengah misi, ada salah satu rekan penyelam yang meninggal dalam misi penyelamatan. Meskipun tidak kenal secara pribadi, saya sering melihat almarhum saat sama-sama di atas kapal.
Setelah mengetahui kejadian itu, rasa takut saya makin bertambah, tapi itu justru membuat saya jadi makin berhati-hati dan meningkatkan kewaspadaan.
Saat pencarian dihentikan, sebenarnya keinginan mencari masih ada. Tapi kami bekerja berdasarkan arahan. Apalagi, saya pun sudah lelah, menyelam dan tinggal di atas kapal selama 12 hari.
Setiap selesai operasi SAR saya merasa ditegur, saya seperti diberi gambaran untuk memperbaiki diri, meningkatkan kompetensi.
Manusia ini kecil. Kita kecil
Saya melihat jenazah-jenazah itu dan saya sadar bahwa kita tidak punya daya upaya jika yang di atas tidak mengizinkan. Suatu saat nanti, kita tidak tahu kapan, di mana dan dengan cara apa, kita juga akan pergi dari dunia, dan saya hanya bisa berharap, caranya tidak dengan cara musibah besar.
Kesadaran ini mendorong saya untuk mendorong diri saya sendiri untuk banyak belajar lagi dan mendekatkan diri kepada yang di atas.
Dalam operasi pencarian, tugas kami sebagai Basarnas adalah mencari dan menyelamatkan. Kalau sudah dalam kondisi penyelamatan, kami tidak lihat lagi apakah korban orang kaya, apakah dia muslim, apakah dia orang biasa, itu sudah tidak ada lagi. Semua sama dalam kondisi seperti itu.
Saya pernah ada pengalaman mencari orang yang dicari polisi. Dia ditembak, masuk ke air dan tidak muncul lagi. Sebagai buron, artinya kami tahu korban itu seperti apa, tapi itu urusan pribadi dia di kehidupan sebelumnya. Begitu dia sudah jadi jenazah, itulah tugas pokok kami mencari dan menyelamatkan.
Mau nggak mau semua harus ditolong, apapun latarnya, apapun bentuknya apapun keadaannya. Misalnya, saya waktu itu mengevakuasi jenazah yang sudah meninggal lebih dari satu bulan dan harus membawanya dengan kapal.
Dukungan keluarga
Saya bergabung dengan Basarnas sejak tahun 2013. Awalnya, karena saya suka bertualang dan saya ingin menyalurkan kesukaan itu untuk membantu orang lain.
Sejak kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lampung, saya bergabung dengan klub pecinta alam. Almarhum ayah saya dulu adalah anggota TNI AD, dan itu sangat mempengaruhi pilihan saya untuk menjadi anggota tim pencari dan penyelamat Basarnas. Kedua adik saya pun mengikuti jejak saya menjadi anggota Basarnas Lampung.
Ibu saya sangat mendukung pekerjaan saya, tapi setiap kali saya minta izin untuk berangkat operasi SAR, yang pertama kali Ibu bilang pasti "Tapi kamu nggak usah menyelam ya?"
Saya jawab saja, "Insya Allah bu". Padahal, saya tahu bahwa tidak mungkin saya tidak ikut menyelam, karena saya penyelam. Tapi saya berusaha bagaimana caranya untuk menyenangkan orang tua dan membuat ibu tidak cemas, karena dia hanya seorang diri di rumah setelah bapak meninggal.
Kami petugas penyelamat harus menguasai berbagai macam kemampuan yang mungkin akan diperlukan di lapangan. Saya baru ikut pelatihan menyelam open water pada 2016. Setelah itu, saya menjadi sangat tertarik dengan penyelaman, dan memutuskan mengambil kelas lanjutan.
Selanjutnya saya ingin menambah pengetahuan di bidang penyelaman untuk penyelamatan.
Penyelam perempuan
Tidak mudah menjadi seorang penyelamat Basarnas, apalagi sebagai perempuan. Jumlah kami memang minoritas di Basarnas, tapi peran kami sangat penting.
Kami bisa masuk tim penyelamat, komunikasi, humas, staf, dan juga sangat penting dalam operasi.
Di Basarnas, saya merasa tidak dibedakan, teman-teman saya sepertinya sudah menganggap saya seperti cowok juga. Sejak bergabung dari 2013 sampai sekarang, saya tidak pernah merasa ada batasan dalam karier.
Pimpinan pun tidak pernah berkata "kamu perempuan, jangan begini jangan begitu". Saya merasa hak dan kewajiban kami sama.
Tapi kadang-kadang memang saya sering diledek oleh teman-teman. Tapi saya tidak pernah tersinggung, karena begitulah cara kami mengatasi ketegangan saat bekerja 24 jam bersama-sama. Rasanya sudah seperti keluarga sendiri.
Saya tidak merasa perempuan lebih lemah dalam pekerjaan menjadi rescuer. Meskipun sering ada anggapan bahwa rescuer adalah pekerjaan laki-laki, tapi saya adalah buktinya bahwa perempuan pun bisa. Semua pekerjaan rescuer laki-laki bisa kita kerjakan asal mau komitmen, fokus, disiplin dan bertanggung jawab.
Saya mau menepis anggapan bahwa rescuer perempuan di Basarnas itu hanya jadi penghias. Kadang ada anggapan bahwa sebuah tim penyelamat perlu perempuan karena bisa untuk pemanis.
Kepada teman-teman sesama perempuan yang bekerja di Basarnas, saya ingin berpesan bahwa kita sebagai rescuer perempuan di Basarnas harus benar-benar bertugas sebagai pencari dan penolong dan jangan sampai dianggap sebagai penghias.
Kita harus benar-benar bisa menjalankan tugas dengan maksimal untuk membuktikan bahwa perempan bukan hanya hiasan.
Saya berharap saya sendiri dan rescuer perempuan bisa memaksimalkan apa yang ada dalam diri kami, menunjukkan prestasi kerja, agar kami diakui bahwa kami memang bisa diandalkan. (*)
Tags : Hak perempuan, Insiden dan kecelakaan pesawat, Perempuan,