LINGKUNGAN - Indonesia telah mengalami rentetan bencana yang mengakibatkan korban jiwa, kerusakan lingkungan dan infrastruktur misalnya banjir, longsor, angin puting beliung, gelombang tinggi di laut selatan bahkan secara global adalah mencairnya es, badai ekstrim, gelombang panas dan angin tornado.
Setidaknya hal itu diakui, Ir Ganda Mora M.Si, Aktivis Yayasan Sahabat Alam Rimba (Salamba). Ia menilai bencana yang terjadi tidak hanya karena perubahan iklim esktrim tetapi faktor kerusakan lingkungan dan geografi wilayah juga menjadi pendukungnya.
"Daerah dengan topografi tinggi tentunya harus waspada dengan curah hujan karena intensitasnya dapat memicu longsor jika tidak didukung kekuatan lingkungan (pohon yang berakar kuat) untuk menahannya," kata Ganda Mora.
Menurutnya, daerah urban rawan dengan bencana banjir jika tidak mempunyai drainase dan sistem pengelolaan sungai yang baik serta gaya hidup masyarakat dalam pengelolaan sampah.
Selain itu, terjadinya pergeseran musim misalnya musim kemarau yang lebih panjang, musim hujan yang lambat dengan intensitas yang kecil bahkan tiba-tiba ekstrim.
Maka untuk itu, kata dia, pentingnya melakukan edukasi kepada masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim berupa tindakan adaptasi (penyesuaian terhadap kondisi) dan mitigasi (pengurangan risiko bencana).
Perubahan iklim, menurutnya, suatu perubahan unsur alami iklim (suhu, kelembaban, hujan, tekanan, angin, dsb) dalam waktu yang relatif panjang dan hal alami dari siklus kestabilan bumi.
"Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah wadah komunikasi internasional menyatakan bahwa sumber terbesar perubahan iklim akibat meningkatnya suhu permukaan bumi (global warming)."
"Jadi global warming terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer," terangnya.
Gas rumah kaca (GRK) secara alami didapatkan dari sumber penguapan dan erupsi, dalam konsentrasi yang normal dibutuhkan untuk menghangatkan bumi, hanya saja IPCC di tahun 2007 mengeluarkan pernyataan bahwa penyebab terbesar meningkatnya global warming adalah hasil kegiatan manusia yang membentuk gas rumah kaca.
Gas rumah kaca akan memantulkan radiasi matahari kembali ke bumi sehingga suhu bumi meningkat, ujarnya.
Hasil pengamatannya, gas rumah kaca dihasilkan hampir semua sector kegiatan yang menggunakan bahan bakar fosil, limbah organic, bahan pendingin di alat eletronik.
GRK yang berdampak terbesar: Karbon dioksida (CO2), Nitro Oksida (NOx), Sulfur Oksida (SOx), Metana (CH4), Chloroflurocarbon (CFC), Hydrofluorocarbon (HFC).
Bagaimana menyikapi bahwa peryataan pihak BMKG menyampaikan informasi adanya peningkatan suhu 1°C setiap tahunnya dalam waktu 40 tahun terakhir, Ganda menilai informasi tersebut seharusnya menjadi early warning untuk melakukan mitigasi pengurangan emisi CO2 yang dapat memicu perubahan iklim ekstrim.
Kembali disebutkannya, perubahan iklim menyebabkan banjir, kekeringan panjang, tanah longsor, kebakaran hutan yang terjadi.
"Deforestasi hutan dan mangrove sebagai sumber 02 dan tata kelola H20 menjadi salah satu pemicu perubahan iklim global, dimana dengan terbukanya lahan terutama gambut akan mengakibatkan efek rumah kaca sehingga produksi C02 makin besar," sebutnya.
"Akibat iclime off change jadi tidak bisa diprediksi, tetapi kenyataannya kita harus menerimanya, sebab deforestasi hutan yang tidak terkendali akan berubah fungsi menjadi penggunaan lain seperti perkebunan sawit tambang batubara, sementara manggrove juga di ekploitasi menjadi pelabuhan dan perkebunan. Artinya pemerintah dalam hal ini kementerian KLHK juga tidak efektif melakukan pengawasan dan pengendalian," sambungnya.
Tetapi menurut Ganda lagi, umumnya perubahan iklim yang terjadi dan lebih disebabkan pada penggundulan hutan secara besar-besaran, kebakaran hutan, kerusakan lahan rawa dan hilangnya serapan karbondioksida.
"Strategi yang dapat dilakukan untuk menghadapi perubahan iklim dengan pengembangan dan perbaikan jaringan irigasi, manajemen pengelolaan bencana alam terpadu, membangun infrastruktur dan melindungi pantai dari potensi kerusakan akibat abrasi dan naiknya permukaan laut hingga kampanye publik," sebutnya.
Menurutnya, perubahan iklim ini memiliki tantangan terhadap pembangunan dalam aspek lingkungan sosial dan ekonomi secara berkelanjutan serta terhadap pencapaian tujuan pembangunan.
"Untuk mengatasi hal tersebut, perlu segera dilakukan mengintegrasikan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ke dalam sistem perencanaan pembangunan sosial," katanya menilai.
Harapannya, pemerintah bisa mengamankan mata air seperti konservasi sumber air yang ada agar jangan jebol dan rusak, sungai sungai diamankan dan jaringan irigasi diperbaiki untuk efisiensi pembagian air, setelah air ada di lapangan diadakan pengamanan terhadap pantai.
Untuk konservasi, dia juga melihat perlunya pemerintah bersama dengan masyarakat menjaga sumber air yang ada dan tidak melakukan perusakan. (*)
Tags : perbuhan iklim, pemanasan global, dampak perubahan iklim, kerusakan alam, aktivis sorot perubahan iklim, aktivis yayasan sahabat alam rimba, aktivis salamba lihat rentetan bencana alam,