PEREMPUAN cenderung lebih banyak melakukan pekerjaan sehari-hari yang dilakukan secara daring, sehingga kerap kali menciptakan kelebihan beban digital (digital overload).
Ponsel saya tiba-tiba berbunyi dan itu adalah notifikasi dari grup obrolan wali murid yang mengingatkan kami bahwa hari ini adalah hari dengan pakaian khusus.
Saya bergegas menghias pakaian yang akan dikenakan anak-anak kami. Saya melakukannya tanpa berpikir, sesaat kemudian pasangan saya mulai membantu menghias baju untuk anak-anak kami.
Ini merupakan hal yang lumrah di banyak keluarga, karena meskipun pria mengambil peran lebih aktif dalam mengasuh anak, perempuan masih cenderung dipandang sebagai pengatur rumah tangga.
Kini, sebuah penelitian mengungkap bahwa dalam hubungan heteroseksual, perempuan juga melakukan lebih banyak pekerjaan tersembunyi (hidden labour)—mengantisipasi, merencanakan, dan mengatur tugas-tugas yang membuat fungsi keluarga itu berjalan baik.
Pekerjaan yang tersembunyi ini menciptakan beban mental yang substansial antara pekerjaan kognitif dan emosional.
Di sisi lain, teknologi memperburuk hal ini, menempatkan perempuan pada risiko kelebihan beban digital, bahkan kelelahan.
Tentu saja teknologi membantu kita menjadi lebih produktif dalam banyak bidang kehidupan. Namun, di rumah, jelas bahwa teknologi menambah beban kerja mental perempuan yang sudah padat.
Sebuah studi lintas negara baru-baru ini menganalisis data dari Survei Sosial Eropa terhadap lebih dari 6.600 orang tua dari 29 negara yang memiliki sedikitnya satu anak dan satu orang tua yang masih hidup.
Studi tersebut mengungkap bahwa beban mental pada perempuan—terutama ibu—diperburuk oleh teknologi.
Penelitian ini menemukan ada pembagian kerja berdasarkan gender dalam hal komunikasi digital terkait pekerjaan dan kehidupan keluarga.
Tim peneliti mengamati penggunaan teknologi di antara responden. Pria cenderung paling banyak menggunakan teknologi di tempat kerja, tetapi perempuan menggunakan teknologi baik di tempat kerja maupun di rumah.
"Kami menemukan bahwa perempuan punya kemungkinan lebih besar terpapar beban ganda komunikasi digital, baik dalam kehidupan kerja maupun keluarga," kata Yang Hu, penulis utama studi dari Lancaster University di Inggris, yang melakukan penelitian bersama Yue Qian dari University of British Columbia di Kanada.
Perempuan yang bekerja dari rumah juga mengalami lebih banyak beban ganda ini.
Masalah ini makin parah karena kini kita lebih banyak menghabiskan waktu secara daring, dan karena bekerja dari rumah menjadi lebih umum setelah pandemi Covid-19.
Para peneliti menemukan bahwa perempuan 1,6 kali lebih mungkin melakukan komunikasi digital ganda di tempat kerja dan di rumah dibanding pria.
Contoh nyata dari apa yang dimaksud dengan hal ini tidak sulit ditemukan.
Kelompok percakapan ibu-ibu di aplikasi tukar pesan di daerah saya lebih aktif ketimbang kelompok ayah, dan memiliki lebih banyak peserta—sekitar ratusan.
Di grup obrolan inilah para ibu berbincang tentang berbagai kejadian, termasuk soal ruam, dan masalah pengasuhan anak.
Meskipun suatu kelompok diberi label sebagai kelompok orang tua, menurut saya, peserta yang paling vokal biasanya adalah perempuan.
Seorang ibu yang saya kenal mengatakan kepada saya bahwa ia membagi sebagian komunikasi digital ini dengan pasangannya, dengan dirinya di ruang obrolan kelas sementara pasangannya di surel—tapi sayangnya percakapan di surel jauh lebih sepi daripada obrolan instan lewat teks.
Bahan makanan rumah tangga, pakaian, dan perlengkapan sekolah semuanya juga dapat dibeli secara digital. Tugas-tugas yang biasa dilakukan perempuan di dunia nyata, kini meluas di dunia digital.
Banyak pasangan yang ingin hidup egaliter tetapi pola gender sering muncul tanpa disadari masing-masing.
Itulah mengapa penting untuk mengenali peran teknologi saat mencoba membagi beban di rumah dengan lebih baik.
Kita cenderung menggunakan perangkat digital untuk bersantai dan bekerja, sehingga sulit untuk membedakan mana penggunaan pribadi yang bersifat rekreasi dan mana untuk keluarga—yang berarti itu pekerjaan yang tak terlihat (hidden labour).
Seperti yang disoroti oleh feminis Joan Acker, untuk melawan ketidaksetaraan, kita perlu membuat yang tak terlihat menjadi terlihat.
Jika Anda tidak dapat melihatnya, kemungkinan besar kita tak akan menyadarinya.
Faktor pendukung lain yang mendorong perempuan mengambil lebih banyak pekerjaan digital berkaitan dengan fakta bahwa perempuan cenderung bekerja lebih fleksibel daripada pria, dengan mengambil peran paruh waktu untuk kebutuhan pengasuhan anak.
Hal ini mengungkap "paradoks fleksibilitas”—gagasan bahwa kerja fleksibel lebih mengeksploitasi perempuan dibanding pria, karena lebih menekankan status utama mereka sebagai pengasuh.
Bekerja dari rumah sering ditawarkan sebagai cara bagi individu, khususnya perempuan untuk menyeimbangkan tanggung jawab keluarga dan pekerjaan, kata Hu.
Akan tetapi, fleksibilitas itu sendiri dapat mendorong perempuan untuk mengambil lebih banyak pengelolaan pengasuhan anak, yang saat ini sebagian besar diatur secara digital.
Konsekuensi yang tidak diharapkan dari hal ini adalah semakin banyak pekerjaan rumah yang dilakukan perempuan, semakin sedikit ruang mental yang mereka miliki untuk kehidupan profesional mereka, yang memicu kesenjangan gaji berdasar gender, meningkatnya stres, dan semakin tingginya ketidakpuasan dalam hubungan.
Heejung Chung, seorang sosiolog di King's College London di Inggris yang mempelajari fleksibilitas di tempat kerja, mengatakan bahwa kerja fleksibel memperburuk semua aspek pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak.
"Perempuan yang bekerja secara fleksibel atau dari rumah cenderung melakukan lebih banyak pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak dibandingkan dengan perempuan yang tidak [bekerja dari rumah], karena mereka memiliki fleksibilitas untuk memasukkan sebanyak mungkin jam kerja yang dibayar dan tidak dibayar ke dalam hari mereka."
Ia menemukan bahwa perempuan juga merasakan tekanan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak saat bekerja dari rumah, sedangkan ayah cenderung memiliki batasan, bahkan jika dia juga berada di rumah.
Hal ini terkait dengan sejarah panjang norma bahwa laki-lai adalah pencari nafkah dalam pasangan heteroseksual—yang membuat lingkungan kerja pria secara historis lebih terlindungi.
Tampaknya hal ini masih berlaku bahkan jika perempuan menduduki posisi manajerial dengan gaji tinggi, kata Chung, karena norma sosial yang mengharuskan perempuan lebih terlibat dalam mengatur kehidupan keluarga.
Meskipun beban teknologi ini tidak terlihat, ada beberapa kemajuan dalam pembagian pengasuhan anak, karena pria mengambil porsi yang lebih besar dibandingkan dengan 50 tahun yang lalu, meskipun masih lebih sedikit daripada perempuan.
Bagaimana pasangan membagi beban secara merata?
Ada beberapa cara bagi pasangan untuk membagi beban secara lebih merata.
Jika masing-masing pasangan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga atau tugas mengasuh anak secara tuntas, alih-alih salah satu dari mereka mengatur dan yang lain mengerjakan, hal itu juga akan memastikan beban mental tidak hanya lebih terbagi tetapi juga lebih terlihat.
Banyak tugas rumah tangga juga memiliki unsur tugas-tugas digital, yang berarti aspek itu juga akan dibagi.
Bayangkan skenario salah satu dari pasangan berbelanja kebutuhan pokok secara daring dan yang lain memasak, sehingga tugas ini terasa dibagi.
Ini berarti yang bertugas membeli adalah orang yang paling mungkin untuk selalu mengingat bahan makanan apa saja yang dibutuhkan. Memasak hanyalah separuh dari pekerjaan.
Untuk memperbaiki beban mental pada perempuan, berbagi aspek tugas-tugas yang terlihat tidaklah cukup.
Chung merekomendasikan untuk membagi semua aspek komunikasi digital dalam kehidupan keluarga, baik itu melakukan penelitian dan pemesanan klub ekstrakurikuler atau menjadi aktif dalam kelompok masyarakat.
Ia menyarankan untuk melakukan percakapan terbuka tentang apa yang dilakukan masing-masing pasangan, termasuk membahas semua perencanaan dan kekhawatiran tentang pengasuhan anak.
Seorang ibu yang saya kenal mengatakan kalender bersama telah membantu dia dan pasangannya mengatur jadwal mingguan mereka tanpa harus saling bertemu.
Pasangan lain yang memiliki dua anak mengatur jadwal ekstrakurikuler untuk masing-masing anak, yang melibatkan penelitian, pemesanan, dan mengantar mereka ke sana.
Agar pengaturan seperti ini berhasil, mereka mengatakan komunikasi yang teratur adalah kuncinya.
Saran terbaik yang diberikan Chung adalah agar para ayah lebih banyak mengurus anak, didukung oleh kebijakan seperti cuti yang dibayar.
Gagasannya adalah bahwa pengasuhan anak yang lebih aktif pada waktunya akan diterjemahkan ke dalam organisasi digital juga.
"Maka Anda akan mendapatkan lebih banyak kesempatan yang sama. Intinya adalah tentang siapa yang bertanggung jawab atas anak dan rumah tangga dalam masyarakat."
Hal ini menyoroti kontradiksi besar lainnya dalam masyarakat modern.
Kita mengharapkan perempuan untuk bekerja dan banyak keluarga bergantung pada pendapatan ganda—namun masih ada anggapan bahwa perempuan adalah pengasuh utama anak-anak kecil.
Seperti yang saya tulis dalam buku saya The Motherhood Complex, perempuan merasa dihakimi atas cara mereka mengasuh anak lebih dari ayah, membuat mereka merasa seolah-olah perlu mengambil alih lebih banyak peran dalam organisasi juga.
"Anggapan semacam itu perlu dipatahkan agar kita dapat melakukan diskusi atau perubahan yang berarti terkait isu-isu ini," kata Chung.
Hal ini mungkin saja terjadi, ambil contoh Swedia, negara yang menerapkan cuti orang tua berbayar yang telah menghasilkan distribusi pekerjaan yang lebih adil.
Salah satu cara untuk mulai mengangkat beban teknis tersembunyi ini ke permukaan adalah dengan mengakui pekerjaan ekstra ini dan secara eksplisit membaginya sejak awal.
Solusi sederhananya adalah dengan mengikutsertakan para ayah dalam grup obrolan, mendorong mereka untuk menyelenggarakan lebih banyak acara bermain—termasuk terlibat dalam semua komunikasi—dan memastikan berbagi beban teknologi dari berbagai email sekolah, tugas pekerjaan rumah, dan administrasi klub.
Semakin banyak pasangan berbagi dalam semua aspek kehidupan rumah tangga, semakin banyak pula beban teknis ini yang akan dibagi. (*)
Tags : Media sosial, Internet, Teknologi, Hak perempuan, Gaya hidup, Pekerjaan, Kesehatan perempuan, Perempuan, Telepon selular dan telepon pintar, Gender,