JAKARTA - Pakaian Presiden Joko Widodo di acara kenegaraan lagi-lagi mencuri perhatian.
Pada peringatan hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-77, Jokowi mengenakan baju adat Dolomani dari Buton, Sulawesi Tenggara. Di tahun sebelumnya, Jokowi memakai pakaian adat Tanah Bumbu, Batulicin, Kalimantan Selatan.
Kemudian pada 2018 dan 2019, Presiden Jokowi memilih baju adat Aceh serta Klungkung dari Bali.
Selain lewat pakaian, Jokowi juga kerap menyebut empat titik paling pinggir di barat, timur, utara, dan selatan Indonesia dengan kalimat: Saudara-saudara dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote.
Kebiasaan itu sudah dilakukan sejak 2014 lalu. Tapi tak cuma di acara kenegaraan, saat berkunjung ke daerah dia juga sering memakai pakaian adat. Misalnya ketika menyambangi Tidung, Kalimantan Utara, Jokowi mengenakan baju adat ulun khas Tana Tidung.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengatakan, beragam pakaian adat yang ia kenakan demi menunjukkan semangat ke-Indonesiaan dan bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta, bukan hanya Jawa, katanya dalam menyampaikan pidato kenegaraan Sidang Bersama DPD-DPR tahun 2019.
"Indonesia adalah seluruh pelosok Tanah Air," ujarnya.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Airlangga Surabaya, Suko Widodo, menyanjung mimpi Presiden Jokowi itu. Meskipun menurutnya, pesan itu belum begitu terlihat di jajarannya.
Salah satu yang ia kritik yakni penggunaan logo berbentuk segitiga yang menyerupai Gunungan dalam pewayangan di beberapa forum atau acara multilateral hingga internasional dan dimaknai bernuansa Jawa.
Semisal tema di perhelatan G20 Bali, Piala Dunia U-20 2021, ASEAN Para Games 2022, dan Halal Indonesia.
Sejumlah warganet bahkan mengkritik desain logo tersebut karena cenderung bernuansa Jawa-sentris atau menjadikan Jawa sebagai pusat.
Empat logo itu, kata Suko Widodo, sebetulnya kurang mengena kalau ingin merepresentasikan keragaman di Indonesia seperti yang diinginkan presiden.
Meskipun penduduk Jawa mendominasi 40% suku bangsa di Indonesia, tapi semestinya pembauran kebudayaan turut melahirkan simbol identitas baru, katanya
"Makanya harus dipikirkan identitas yang plural itu seperti apa? Karena pesan presiden soal pluralitas. Kalaupun simbol itu identik dengan Jawa, harus digabungkan dengan sesuatu yang ada unsur pluralisme di sana," imbuh Suko Widodo dirilis BBC News Indonesia, Rabu (17/08).
Soal memilih para pejabat publik setingkat menteri pun, menurut Suko Widodo, masih kurang merepresentasikan keragaman suku bangsa. Walaupun diakuinya hal itu tidak mudah karena harus berbenturan dengan kepentingan politik.
Namun setidaknya, kata dia, kebijakan di pemerintah Jokowi tidak lagi Jawa-sentris.
Hal itu ia nampak dari keputusan presiden membangun banyak jalan di luar Pulau Jawa di antaranya Trans-Sumatera, Trans-Kalimantan, dan di Sulawesi.
"Itu untuk meratakan pembangunan dan simbolik yang tepat."
Akan tetapi, untuk mengubah cara pandang Jawa-sentris tidak mudah selama pemerataan pembangunan dan persamaan hak masih timpang.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebelumnya menyebut Indonesia masih mengandalkan Pulau Jawa sebagai denyut ekonomi. Dampaknya kecepatan pertumbuhan Pulau Jawa terlampau tinggi dan menciptakan ketimpangan dibandingkan luar Pulau Jawa.
Saat ini, penduduk Pulau Jawa sekitar 150 juta dari 270 jutaan penduduk Indonesia dan memberikan kontribusi ekonomi hingga 58%. Bahkan, kalau lebih spesifik ke kawasan Jabodetabek atau Metropolitan Jakarta, kontribusi ekonominya hingga seperlima atau 20%.
Ketimpangan akan semakin melebar apabila kondisi itu terus dibiarkan tanpa ada upaya lebih. (*)
Tags : Joko Widodo, Indonesia, Peringatan 17 Agustus, Presiden Jokowi Pakai Baju Adat Butoneni budaya,