PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Larshen Yunus, Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik [HMPB] Satya Wicaksana sempat gelisah melihat peristiwa kabut asap hasil dari kebakaraan hutan dan lahan [Karhutla] yang terjadi sepekan terakhir.
"Direktur Kantor HMPB Satya Wicaksana protes kabut asap yang sempat menyelimuti bumi Riau."
"Pemerintah sebaiknya menambah dan memfasilitasi team gugus tugas untuk memitigasi serta pengawasan yang lebih intens pada kawasan yang rentan terbakar," usulnya.
Dia juga meminta pemerintah untuk memperkuat regulasi yang mengatur tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan dan bisa mendirikan posko pencegahan dan penanggulangan penyakit yang diakibatkan oleh kabut asap secara gratis di wilayah Riau.
"Jadi pemerintah dalam hal ini seharusnya memperbanyak sekat kanal ataupun sumur bor yang berfungsi untuk tempat penyimpanan air di kawasan rentan terbakar," kata Larshen Yunus yang juga sebagai Ketua Dewan Pengurus Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia [DPD I KNPI] Provinsi Riau ini menjelaskan, Kamis (12/10/2023).
Tetapi Larshen juga berharap aparat hukum untuk bisa menangkap dan mengadili oknum atau perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran lahan secara transparan.
"Bukan itu saja, pemerintah juga bisa untuk mencabut izin perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran lahan. Cabut izin perusahaan yang terbukti tidak bertanggung jawab dalam pencegahan dan penanganan karhutla serta perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran Iahan," ungkapnya.
Dalam perkara kabut asap hasil kebaran hutan ini, Larshen juga menyinggung soal intruksi Presiden Joko Widodo [Jokowi] tentang kewaspadaan atas ancaman kebakaran hutan pada kemarau panjang ini yang menegaskan; Pangdam dan Kapolda yang kebobolan kobaran api bisa dicopot dari jabatannya.
Bunyi intruksi Presiden Jokowi diantaranya; untuk segera padamkan api secara dini sebelum kobarannya meluas dan membesar.
Lebih baik mencegahnya dengan patroli dan deteksi dini. Kalau ada yang coba bermain-main api untuk membuka lahan dengan membakar belukar, utamanya di lahan besar konsesi korporasi perkebunan/perhutanan, segera lakukan penegakan hukum.
Namun, jangan lupa untuk pencegahan jangka panjang, upaya pembasahan kembali (rewetting) lahan gambut perlu diteruskan dan diperluas dengan membangun embung-embung.
Empat butir instruksi itulah yang disampaikan Presiden Joko Widodo di depan peserta Rapat Kordinasi Nasional Kebakaran Hutan dan Lahan (Rakornas Karhutla) di Istana Negara, Jakarta pada 6 Agustus 2019 lalu.
Presiden Jokowi menunjukkan pesan yang jelas, agar semua pihak siap siaga. Memperhatikan kemarau panjang yang kering, Presiden tak mau ada kelengahan yang memantik bencana kebakaran hutan yang besar.
Pesan kesiapsiagaan itu secara eksplisit dialamatkan kepada seluruh jajaran pemerintahan. Mulai dari Kapolda dan jajarannya hingga ke Kapolres, ke Panglima Kodam dan jajarannya hingga ke komandan kodim, gubernur, bupati, Panglima TNI, Kapolri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Badan Penanggulangan Bencana daerah (BPBD).
Presiden Jokowi mengingatkan, agar kebakaran besar 2015 tak terulang. Ketika itu, kebakaran melanda di banyak provinsi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua, hingga memanggang 2,6 juta ha lahan.
Asapnya menyiksa jutaan warga, bahkan mengganggu negeri tetangga Malaysia dan Singapura. Sebagai contoh, pada kemarau 2019 lalu ada indikasi kenaikan hotspot dibanding 2018.
‘’Harusnya setiap tahun turun, tidak boleh naik,’’ ujar Presiden di depan Rakornas yang dihadiri sejumlah menteri, Panglima TNI, Kapolri, Kepala BNPB hingga ke gubernur itu.
Sejak kebakaran besar terjadi 2015, Presiden memerintahkan dilakukan pencegahan, penanganan, dan penegakan hukum yang tegas.
Hasilnya, sejak 2015 hingga pertengahan 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) telah menjatuhkan 740 sanksi administrasi kepada korporasi yang dinilai melakukan pelanggaran tata kelola kawasan hutan.
Banyak di antara pengurus korporasi yang juga diajukan ke pengadilan atas tuduhan kejahatan terhadap lingkungan. Hasilnya, kejaksaan pun menangani dan melimpahkan 663 perkara ke pengadilan. Sebagian terdakwa dinyatakan berrsalah, divonis, dan dijebloskan ke bui.
Dampaknya cukup signifikan. Jika pada 2015 sekitar 2,6 juta ha area terpangggang, pada 2016 angka itu menyusut menjadi 438 ribu hektar, lalu 165 ribu ha pada 2017, kendati naik lagi ke 510 ribu ha pada 2018. Hingga Mei lalu, Karhutla tercatat di areal 43 ribu ha.
Namun, Presiden perlu mewanti-wanti, karena menurut prakiraan Badan Meteorologi dan Klimatologi dan Geofisikan (BMKG), kemarau tahun 2019 ini akan lebih panjang, lebih kering, dan panas meranggas.
Api lebih mudah tersulut. Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan, dinyatakan rawan karena kondisi udaranya sangat kering.
Sejumlah titik api pun telah muncul dan sedang dihadapi oleh Satgas Karhutla, yang dikordinasikan oleh BPBN, dengan melibatkaan TNI, Polri, aparatur daerah, dan unsur masyarakat.
Belum seluruhnya padam, hingga asap jelaganya gentayangan ke sana-ke sini. Palembang, Pekanbaru, dan Palangkaraya telah dirayapi asap, dan sejumlah lainnya terbang sampai Singapura.
Memasuki bulan Agustus kemarin sejumlah media Singapura pun semakin sering memberikan peringatan ke masyarakat pembacanya: Singapura Akan Menerima Kiriman Asap Tipis dalam Beberapa Hari ke Depan. Begitu halnya dengan media di Malaysia. Semua dikaitkan dengan kebakaran lahan hutan di Pulau Sumatra.
Mengantisipati situasi yang tak diinginkan, Presiden Jokowi punya amanat khusus untuk TNI dan Polri. ‘’Aturan main 2015 itu masih berlaku. Jadi, Kepada Panglima TNI dan Kapolri saya ingatkan lagi. Copot jajaran yang tidak bisa menangani karhutla,’’ katanya.
Bahwa TNI dan Polri mengemban penugasan khusus, sehingga ada “aturan main” Pangdam dan Kapolda akan dicopot bila daerahnya kebobolan api, boleh jadi karena kedua badan ini lebih punya daya tangkal kuat di lapangan.
TNI dan Polri juga punya personel yang sewaktu-waktu bisa digerakkan. Secara legal, keduanya diperintahkan terjun dalam penanganan karhutla seperti tertuang pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 11 tahun 2015.
Melindungi masyarakat dan lingkungan hidup menjadi salah tugas pokok Polri sebagaimana amanat UU nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagi TNI, ikut menangani karhutla adalah salah satu bentuk pelaksanaan operasi militer selain perang (military operation other than war) sebagaimana diatur dalam UU No. 34 tahun 2001 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Jadi, menurut Larshen Yunus, yang Juga Wakil Sekretaris Jenderal [Wasekjend] DPP KNPI Pusat Jakarta ini mengulang intruksi Presiden Jokowi berbunyi, perintah pencopotan pejabat militer dan Polri jika bobol menangani karhutla di daerah kerjanya, adalah tindakan yang sah menurut hukum. (*)
Tags : polusi, polusi udara, peristiwa kabut asap, kebakaran hutan, riau, penanganan polusi udara, News,