JAKARTA - Peristiwa kekerasan dan penggunaan "kekuatan berlebihan" kepolisian terhadap aksi protes menolak pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Pilkada pada 22 Agustus hingga 26 Agustus 2024 silam adalah repetisi dari aksi represif polisi dalam menghadapi demonstrasi. Mengapa terus berulang?
Dua pekan setelah demonstrasi menentang pengesahan revisi UU Pilkada dimulai pada 22 Agustus silam, sejumlah demonstran di berbagai daerah mengaku masih merasakan dampak akibat aksi kekerasan yang diduga dilakukan aparat polisi. Salah satu di antara mereka terancam mengalami kebutaan.
Di Jakarta, Bandung, dan Semarang, aparat kepolisian membubarkan massa dengan gas air mata, meriam air dan pentungan. Bahkan sejumlah aparat terekam kamera memukuli dan menendang pengunjuk rasa yang tak berdaya.
Polisi juga menangkap ratusan pengunjuk rasa, sebagian dari mereka kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengkritik sikap polisi yang alih-alih melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, justru “melihat masyarakat ini sebagai sebuah ancaman dari keamanan dan ketertiban”.
“Malah peran polisi ini seolah-olah menggantikan peran militer di era Orde Baru. Itu lebih militeristis,” ujar Bambang Rukminto pada wartawan, akhir Agustus silam.
Minimnya pengawasan dan impunitas, tambah Bambang, membuat polisi makin sewenang-wenang.
Kepolisian mengeklaim “sama sekali tidak melakukan tindakan represif kepada massa” dan pembubaran unjuk rasa dilakukan “dengan mematuhi SOP (prosedur operasi standar).
Sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo, pengerahan kekuatan yang berlebihan kerap menjadi jawaban bagi berbagai protes publik, misalnya dalam gelombang aksi “Reformasi Dikorupsi” pada 23-30 September 2019 lalu.
Aksi represif serupa juga terjadai saat protes UU Cipta Kerja, protes warga Air Bangis di Sumatera Barat, Rempang-Galang di Batam, hingga protes warga Dago Elos di Bandung.
Warga menggunakan istilah “brutalitas polisi” untuk menggambarkan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dalam menangani demonstrasi.
Mata rusak parah akibat lembaran batu
Andi Andriana tidak pernah menduga keikutsertaannya dalam aksi menolak revisi UU Pilkada di Kota Bandung, Jawa Barat pada Kamis (22/08), harus dibayar mahal.
Mata kiri mahasiswa semester lima Universitas Bale Bandung (Unibba) ini rusak parah terkena lemparan batu. Ia mengeklaim lemparan batu itu datang dari arah barisan polisi.
“Alhamdulillah, bola mata kiri Andi tidak harus diambil, masih bisa dipertahankan. Cuma kalau kondisi penglihatannya apakah mengalami kebutaan atau tidak, harus menunggu beberapa hari setelah operasi,” ungkap Fauzi Septian, kawan Andi Andriana, Jumat (23/08).
Fauzi, yang juga ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unibba, mengungkapkan saat situasi mulai memanas dan kerusuhan pecah di depan Gedung DPRD Jawa Barat, pada Kamis (22/08), Andi bersama mahasiswa Unibba lainnya berupaya menyelamatkan diri ke Gedung Sate—titik yang dianggap aman.
Namun, kata Fauzi, Andi dan satu orang temannya memutuskan kembali ke lokasi bentrokan demi membantu massa aksi lainnya. Andi kemudian terbawa arus massa dan berada di barisan terdepan.
Bentrokan antara massa dan polisi makin menjadi. Massa melempari batu atau benda lainnya ke arah barikade polisi di depan Gedung DPRD Jawa Barat.
Di tengah situasi kacau itu, menurut Fauzi, sepatu Andi terlepas yang memaksanya berjongkok untuk memperbaiki sepatu. Saat bangkit, sebuah batu melayang lalu menghantam mata kirinya.
Tubuh Andi terjengkang dan jatuh. Mata kirinya terluka parah. Tim medis segera membawanya ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
Setelah mendapat perawatan di rumah sakit pendidikan tersebut, Andi dirujuk ke Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung untuk menjalani operasi mata.
Sempat beredar kabar, bola mata kiri Andi hancur dan harus diambil. Namun setelah menjalani operasi, dokter berhasil menyelamatkannya.
Andi sudah kembali ke rumahnya di Baleendah, Kabupaten Bandung. Saat ini, kata Fauzi, Andi sedang fokus memulihkan diri.
Sementara itu, pening dan sakit di bagian belakang kepala sebelah kiri masih dialami Deti Sopandi. Perempuan berusia 33 tahun itu kini tak kuat jalan atau duduk terlalu lama. Dia mengaku kepalanya kerap berdenyut yang membuatnya kesakitan.
Nyeri juga masih Deti rasakan di bagian tubuhnya yang lain.
“Tangan sempat terkilir dan bengkak, kepala juga bengkak memar dan efeknya masih ada sampai sekarang seperti pusing. Ada [rasa] nyut-nyutan belum hilang, walaupun sudah ke rumah sakit,” tutur Deti, Kamis (26/08).
Derita yang dialami pendamping hukum di Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PHBI) Jawa Barat ini akibat tindak kekerasan yang dialami dalam aksi unjuk rasa menolak revisi UU Pilkada pada Jumat (23/08).
Deti masih ingat kekacauan itu terjadi pada malam hari, sekitar pukul 20.00 WIB.
Situasi aksi yang semula damai berubah ricuh kala polisi mulai menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa.
Saat berupaya melarikan diri, Deti menyaksikan salah satu pengunjuk rasa yang diseret dan dipukul seorang yang dia klaim sebagai aparat polisi.
Deti mencoba menghentikan aksi aparat tersebut namun tiba-tiba seseorang yang dia sebut berbadan “tegap dan agak botak” memukul bagian belakang kepalanya—dengan sejenis batang kayu atau bambu.
Seketika tubuhnya roboh ke jalanan. Kepalanya sakit sekaligus pening.
“Tiba-tiba ada sepertinya pihak aparat menendang, menendang kaki saya, badan saya, nendang sambil menyeret.”
Sambil menyeretnya, pria tersebut melontarkan kata-kata kasar kepadanya. Badan Deti diseret pria tersebut kira-kira sejauh lima meter, sampai tangan kirinya terkilir akibat ditarik.
Di tengah sakit yang menderanya, Deti berteriak menyebutkan identitasnya sebagai pendamping hukum dari PBHI Jabar dengan harapan si pelaku menghentikan aksi kekerasannya. Namun tak digubris oleh pria tersebut.
Tak lama kemudian dunia Deti tiba-tiba gelap dan ketika sadar, dia sedang dikerumuni tim medis yang memberinya perawatan. Tim medis kemudian mengevakuasi Deti ke Posko Medis di Universitas Islam Bandung (Unisba).
Di sana, dia temukan banyak orang—baik laki-laki dan perempuan—yang senasib dengannya.
“Aku lihat ini banyak banget korban-korban yang mengalami kekerasan,” cetus Deti.
Posko Medis Unisba mencatat ada sekitar 88 orang korban luka di aksi hari kedua, Jumat (23/08) malam.
Ketika dirawat di posko medis, Deti tiba-tiba muntah. Pada saat itulah dia kemudian dievakuasi ke rumah sakit. Di sana, Deti menjalani serangkaian pemeriksaan, termasuk CT Scan.
“Kalau dari CT Scan sih enggak ada apa-apa, cuman kalau misalkan ada efek seperti ada pusing atau hal lainnya, harus check up lagi, dan dokter menyarankan harus bed rest karena ada pukulan keras tadi di kepala,” jelas Deti.
Sehari sebelumnya, pada Kamis (22/08), jurnalis Alza Ahdira ditugaskan meliput aksi menolak pengesahan revisi UU Pilkada yang berpusat di Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Jawa Barat.
Aksi berjalan aman dan kondusif sepanjang siang itu, menurut pria berusia 27 tahun tersebut. Tapi pada sore hari, sekitar pukul 17.00 WIB, Alza mengungkap massa mulai melakukan pelemparan batu, mencoba merobohkan pagar kompleks DPRD, serta membakar ban dan pembatas jalan.
Situasi kian memanas sekitar pukul 18.30 WIB ketika “polisi mulai represif” dan “mulai menggunakan tear gas (gas air mata)”, kata Alza.
Bentrokan antara massa dan aparat akhirnya terjadi. Sementara masker yang dia kenakan tak mampu membendung efek gas air mata yang membuat mata perih.
Dia pun memutuskan untuk menjauh dari lokasi. Namun, di tengah jalan, seseorang di antara rombongan aparat meneriakinya.
“’Woy itu ngapain ngerekam’,” ujar Alza menirukan perkataan pria tersebut. Padahal, kala itu dia hanya memegang ponsel, tanpa merekam.
“Saya [balas] teriak, ‘saya jurnalis’,” katanya kemudian.
Sahutan itu tak meredam situasi. Alih-alih, klaim Alza, sekitar empat hingga lima orang—yang diduga dari rombongan polisi—mendekatinya dan langsung mengerumuninya. Salah satu di antara mengenakan baju tanpa lengan dan celana pendek, serta ada tato di kakinya.
“Di situlah mereka langsung melakukan pengancaman dengan bilang, ‘Ngapain kamu ngerekam-ngerekam?’. Saya berkeras bahwa saya tidak merekam saya hanya lagi megang HP, tapi mereka enggak percaya. Di situ HP saya disita,” aku Alza.
Spontan dia merebut kembali ponselnya, yang justru membuat pria tersebut semakin mengintimidasinya.
Alza kemudian menjelaskan bahwa dia adalah jurnalis seraya menunjukkan kartu pers. Namun, menurut Alza, itu tak digubris oleh orang-orang yang mengerumuninya.
“Di situlah saya sudah mulai agak gentar, maksudnya di situ ada lima orang, saya sendiri, dikerubungi kayak gitu. Mereka masih terus melakukan pengancaman-pengancaman dan di situlah mereka akhirnya berusaha membuka isi HP saya,” terang Alza.
Sekelompok orang diduga aparat itu kemudian menyuruh Alza menghapus semua foto dan video terkait dengan demonstrasi. Merasa terancam keselamatannya, Alza menuruti kemauan mereka.
“Tiba-tiba dari belakang, saya merasa ada satu atau dua kali pukulan tepat ke arah kepala saya, atas kepala.”
Salah satu dari gerombolan itu memukulnya dengan bambu yang mereka bawa. Pukulan bambu itu juga membuat tangannya luka.
“Saya terasa banget, bambu itu yang dipakai buat mukul saya dari belakang. Satu dess, dua kali dess.”
Pukulan bambu itu juga membuat tangannya luka.
Setelah memastikan semua ratusan foto dan video dihapus, orang-orang pergi meninggalkan Alza dengan membawa kartu persnya sambil mengancam: “’Identitas kamu saya tandain’”.
Ketika ditanya siapa sebenarnya orang-orang yang melakukan intimidasi dan menghalangi kerja sebagai jurnalis, Alza tak bisa memastikannya.
“Satu sisi mereka jalannya itu beriringan dengan si polisi-polisi ini. Artinya kemungkinan besar salah satu dari mereka. Tapi satu sisi mereka tidak ada yang menggunakan identitas.”
“Jadi enggak ada yang menggunakan seragam, enggak ada yang menggunakan atau menunjukkan bahwa mereka aparat,” terang Alza.
Terkait dugaan bertindak represif saat pengamanan unjuk rasa pada 22 dan 23 Agustus 2024 di DPRD Jabar, Kabag Ops Polrestabes Bandung, AKBP Sumari, beralasan tindakan kepolisian kala itu adalah “tindakan bertahan untuk mempertahankan status quo” dalam pagar DPRD.
Sementara pada saat itu, klaim Sumari, massa terus melakukan “tindakan anarkis” dengan melakukan pelemparan batu dan benda lain ke arah petugas.
“Karena waktu sudah larut malam dan massa belum bubarkan diri, maka pihak Polri mengambil sikap untuk membubarkan massa ke arah timur dengan mematuhi SOP yaitu pendorongan massa dan sama sekali tidak melakukan tindakan represif kepada massa,” jelas Sumari.
Dia juga membantah informasi bahwa terdapat 100 orang terluka akibat tindakan represif polisi di Bandung.
“Info tersebut sama sekali tidak benar,” tegasnya, seraya menambahkan bahwa saat itu pihaknya mengamankan sebanyak 25 orang yang kemudian diminati keterangan.
“Setelah dimintai keterangan, Sekitar pukul 00.00 WIB kemudian mereka dipulangkan ke keluarganya masing-masing,” ungkap Sumari.
Gelombang demonstrasi penolakan pengesahan revisi UU Pilkada terus terjadi hingga sepekan sesudah DPR membatalkan pengesahannya. Di sejumlah daerah demonstrasi berujung ricuh, seperti terjadi di Semarang, Jawa Tengah, pada Senin (26/08).
Massa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Jawa Tengah Menggugat (Geram)—menuntut yakni tiga hal, yakni mengawal PKPU Pilkada, menolak revisi UU TNI/Polri, pengesahan UU Perampasan Aset, dan meminta Presiden Joko Widodo turun dari jabatannya—terlibat aksi dorong dengan aparat polisi.
Demi mengurai massa, polisi menembakkan air mata dan meriam air ke arah demonstran. Imbas dari bentrokan dan gas air mata, sebanyak 33 demonstran dilarikan ke sejumlah rumah sakit.
“Ada yang kena pukul, ada yang kepala bocor, dan ada yang kena pukul di bagian badan, lengan dan lainnya,” ujar paramedis jalanan Nur Colis, kepada wartawan Kamal yang melaporkan dari Semarang.
Situasi semakin ricuh, beberapa kali meriam air dan gas air mata disemprotkan. Imbasnya, sebagian pengunjuk rasa berlarian melarikan diri ke mal Paragon Kota Semarang yang berjarak hampir satu kilometer.
“Untungnya Mal Paragon itu tidak tutup sehingga Mal Paragon menjadi safe zone (zona aman) seluruh peserta aksi yang terkena gas air mata yang sampai sesak napas dan lain sebagainya," jelas Nur, seraya menambahkan banyak korban jatuh pingsan di dalam mal akibat gas air mata yang berlebihan.
Asap dari tembakan gas air mata yang berlebihan masuk ke perkampungan Sekayu yang terletak di belakang mal tersebut. Sejumlah anak diduga menjadi korban gas air mata yang ditembakkan kepolisian.
“Gas air mata itu terbawa hingga sampai kampung Sekayu, terutama ke ruangan masjid. Pada saat itu anak-anak kami yang sedang mengaji kena dampak gas air mata,” ujar Kepala pengajar TPQ Masjid Taqwa Sekayu, Johan Alfandi.
Dalam video yang viral di media sosial X—dulu bernama Twitter—terlihat sejumlah anak yang sedang berada di dalam sebuah masjid menutup area hidup dan mulut usai terkena gas air mata.
Mereka tampak mengenakan pasta gigi di area muka untuk mengurangi dampak gas air mata yang dirasakan.
“Anak-anak menangis karena takut. Di sini juga banyak mahasiswa yang masuk masjid karena takut dikejar petugas [kepolisian]. Kondisi masjid ramai tidak bisa buat proses mengaji. Ramai mahasiswa dan juga gas air mata," papar Johan, menceritakan kondisi masjid saat itu.
"Banyak anak kami yang merasa pedih matanya dan sesak nafas. Tapi alhamdulillah setelah kejadian itu, setelah jam 19.00 WIB mereda gas air matanya, sehingga anak-anak kami pulangkan ke rumah masing-masing," jelasnya.
Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Artanto, beralasan petugas di lapangan terpaksa melontarkan gas air mata itu karena dipicu oleh aksi anarkis beberapa demonstran.
"Tembakan gas air mata ke pendemo yang anarkis, mereka bubarkan diri dengan masuk ke mal. Tidak ada yang ditembakkan ke mal, pendemo dari jalan raya lari ke mal," kata Artanto seperti dikutip dari Kompas.com, Selasa (27/08).
Rangkaian kekerasan dan aksi represif polisi dalam menghadapi demonstrasi pada 22 Agustus hingga 26 Agustus 2024 dikecam oleh sejumlah pihak, termasuk aktivis HAM dan pengamat kepolisian.
Mereka menilai bahwa pendekatan kekerasan oleh aparat tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga memperburuk situasi dan mengancam demokrasi.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menegaskan kekerasan yang kembali dilakukan aparat keamanan “sulit ditoleransi”.
“Penggunaan gas air mata yang tidak perlu dan tidak terkendali hingga pemukulan menyebabkan korban sipil, terutama anak-anak di bawah umur,” ujar Usman Hamid, dalam keterangan tertulis pada Selasa (27/08).
Tindakan ini, menurutnya, jelas melanggar hak asasi manusia dan berbahaya bagi keselamatan warga—terutama anak-anak yang terkena dampak.
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengatakan alih-alih menggunakan cara-cara represif, kepolisian semestinya berpegang pada prosedur penanganan massa seperti tertuang dalam dua Peraturan Kapolri (Perkap).
Perkap Nomor 1 Tahun 2009 mengatur tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian dan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara republik Indonesia.
“Dalam Perkap 8 tahun 2009 misalnya, [diatur] bagaimana penggunaan kekuatan, bagaimana prosedur penanganan massa harus dimulai dari himbauan. Kalaupun menggunakan kekuatan, juga harus lebih soft (lunak)," jelas Bambang.
“Mungkin dengan tembakan air, bukan dengan gas air mata yang kemudian dampaknya bisa menyebar luas. Bukan hanya pada mereka yang terlibat dalam aksi unjuk rasa, tapi juga ke masyarakat yang lain.”
Pasal 43 ayat (2) dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009 berbunyi:
Setiap anggota Polri dalam rangka mengatasi kerusuhan dilarang melakukan tindakan berlebihan yang dapat mengakibatkan kerusakan tempat kejadian atau lingkungan tanpa alasan yang sah.
Adapun Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009 berbunyi:
(1) Setiap anggota Polri dilarang melakukan tindakan kekerasan dengan dalih untuk kepentingan umum atau untuk penertiban kerusuhan.
(2) Setiap anggota Polri dilarang keras melakukan tindakan kekerasan terhadap orang yang telah menyerahkan diri atau yang ditangkap
Oleh karena itu, penggunaan kekuatan dan gas air mata, kata Bambang, juga harus “harus dibatasi” dan “harus melihat situasi dan kondisi”.
“Jangan sampai masyarakat yang bukan pelaku terdampak. Ini terjadi di Semarang dan di beberapa kasus, langsung dilontarkan oleh kawan-kawan kepolisian, kemudian dampaknya juga menyebar ke masyarakat yang lain.”
Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Artanto, menjelaskan demo yang berlangsung di depan Kantor Balai Kota mulanya berjalan dengan kondusif, sebelum beberapa oknum memprovokasi petugas dengan mendorong dan melempari benda-benda keras, seperti batu dan kayu.
Untuk menghindari eskalasi yang lebih berbahaya, aparat mengambil langkah tegas dengan mendorong massa menjauh dari lokasi menggunakan gas air mata.
Artanto mengaku, sebelum melakukan tindakan tersebut, pihaknya telah melakukan langkah sesuai prosedur yang tercantum dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dan Tindakan Kepolisian.
"Sebelum mengambil tindakan tegas, kami telah melakukan berbagai upaya untuk meredakan situasi. Mulai dari negosiasi serta berbagai perintah lisan untuk tidak melakukan tindakan anarkis, hingga penggunaan kendali tangan kosong ketika massa berusaha menerobos ke dalam Balai Kota," ujar jelas dia.
Penggunaan gas air mata, menurut Artanto, didasarkan pada prinsip hanya dilakukan ketika perlu, agar tidak memperparah situasi.
Menurutnya, gas air mata akan menimbulkan efek bagi yang tidak terbiasa, seperti mata perih dan tidak nyaman. Namun, hal itu hanya bersifat sementara.
"Kami memahami bahwa angin yang membawa gas air mata ini bisa mengenai siapa saja, dan ini adalah hal yang tidak diinginkan. Kami selalu berupaya meminimalkan dampak tersebut untuk menjaga keselamatan bersama," ujarnya.
Apa yang disebut sebagai “brutalitas polisi” oleh para pegiat HAM tak hanya kali ini saja terjadi.
Amnesty International Indonesia mencatat, sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo, pengerahan kekuatan yang berlebihan kerap menjadi jawaban bagi berbagai protes warga, mulai dari aksi "Reformasi Dikorupsi", protes UU Cipta Kerja, protes warga Air Bangis di Sumatera Barat dan Rempang-Galang di Batam, hingga protes warga Dago Elos di Bandung.
“Saat akuntabilitas atas penyimpangan aparat tidak kunjung dipenuhi, muncul kesan bahwa aparat memaklumi atau bahkan mengizinkan dan membenarkan penggunaan kekuatan berlebihan, kekerasan yang tidak perlu serta tindakan represif lainnya,” kata Usman Hamid dari Amnesty International.
Pengamat kepolisian Bambang Rukminto tak memungkiri polisi kini cenderung “menjauh” dari tugas pokok dan fungsi (tupoksi) untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
“[Polisi] malah melihat masyarakat ini sebagai sebuah ancaman dari keamanan dan ketertiban,” ujar Bambang.
Hal ini, menurutnya, tak lepas dari pola pikir polisi yang “masih sama dengan sebelum Reformasi”—sebelum pemisahan TNI dan Polri.
“Malah peran polisi ini seolah-olah menggantikan peran militer di era Orde Baru. Itu lebih militeristis.”
Di sisi lain, lanjut Bambang, tak ada upaya memberi sanksi kepada aparat yang melakukan pelanggaran prosedur seperti tertuang dalam Peraturan Kapolri.
Apalagi, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam)—unsur pengawas dalam tubuh Polri—malah bertindak seolah-olah melindungi kawannya sendiri, klaim Bambang.
“Jadi nyaris tidak ada sanksi pada mereka dan pelanggaran itu dianggap sebagai sebuah kewajaran.”
“Kemudian aksi-aksi represif kepada masyarakat itu dianggap tidak bermasalah dan sesuai prosedur. Jawabannya pasti akan normatif sesuai prosedur,” kata Bambang.
Sementara itu, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) telah menyurati Mabes Polri untuk mengevaluasi penggunaan gas air mata saat pengamanan demonstrasi.
Kompolnas juga meminta Polri untuk menjamin profesionalitas institusi penegak hukum itu dalam melaksanakan tugasnya untuk menghindari korban jiwa akibat penggunaan gas air mata yang berlebihan. (*)
Tags : peristiwa kekerasan, kekuatan berlebihan, aksi protes, revisi uu pilkada, kekerasan terus berulang, hak asasi, politik, hukum, demonstrasi, protes ,