"Mengingat kembali masa jayanya pertambangan timah di Dabo Singkep penuh dengan kisah yang tak terlupakan oleh masyarakatnya hingga hari ini masih menyisakan arogansi masa lalu"
asil pantauan dalam beberapa dekade ini, wilayah Kecamatan Dabo Singkep, Kabupaten Daik Lingga Kepulauan Riau masih menyisakan bangunan-bangunan pendukung bekas operasional pertambangan timah yang sempat berjaya masa tempo dulu.
Sisa-sisa arogansi masa lalu ketika mesin keruk timah masih beroperasi di Singkep yang pernah sempat menjadi tulang punggung perekonomian daerah pulau terletak dijalur laut Cina Selatan itu masih terlihat.
Singkep pernah mengalami masa kejayaan di bidang ekonomi dan pembangunan karena kegiatan penambangan timah yang sudah ada selama hampir dua abad dan mendukung segala kemajuannya.
Dulunya, rumah berarsitektur khas Belanda yang ada di bumi Melayu itu menjadi tempat tinggal pejabat UPTS (Unit Pertambangan Timah Singkep).
Daerah ini merupakan ciri khas dan kebanggaan kota yang berdiri indah di atas bukit dan dikelilingi oleh pohon pisang kipas dan beraneka ragam pohon-pohon rindang lainnya.
Beberapa bangunan kini diubah oleh pemerintah daerah menjadi aset negara.
Setelah berhenti beroperasi pada tahun 1992 semua aset perusahaan yang dapat diangkut dibawa ke Jawa hanya menyisakan tumpukan bangunan tanpa rencana peralihan kepemilikan.
Akibatnya, aset bangunan yang tersisa tidak dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat setempat karena kurangnya pengetahuan tentang pemeliharaan aset.
Salah satu bangunan besar yang terbengkalai adalah bekas pengolahan bijih timah di dekat Pasar Dabo. Bangunannya keropos dan atap seng banyak lubangnya.
Sebuah bank dengan kantor yang cukup megah yang dulunya sibuk dengan transaksi keuangan akhirnya turun statusnya menjadi unit kantor yang sepi.
Bekas gedung kantor UPTS ini kosong, terkadang digunakan sebagai tempat berkumpulnya para pensiunan perusahaan.
Gudang dan bengkel terbengkalai yang ditumbuhi rumput liar.
Bandara itu juga sempat jarang dikunjungi pesawat. Ruko-ruko yang berjejer di pinggir jalan banyak yang kosong, hanya sedikit yang menggeliat hingga pukul lima sore, hampir semuanya tutup.
Rumah sakit milik perusahaan yang dulu memiliki reputasi pelayanan dan fasilitas yang canggih kini menjadi rumah sakit daerah.
Ketika tambang berhenti, peralatan medis, seperti alat pendeteksi jantung dan peralatan bedah lainnya, hilang. Akibatnya, jika ada pasien yang sakit parah harus dirujuk ke Tanjungpinang.
Bekas puing-puing bangunan pabrik tambang timah di Dabo Singkep.
“Saat timah berhenti beroperasi, habis lah sudah. Segala macam barang, mebel diangkut ke Jawa oleh para insinyur dan pekerja dari Jawa. Hanya menyisakan gedung."
"Saat itu kami sangat bergantung pada Timah sehingga ketika kami berhenti, kami sangat terkejut. Semuanya sulit, sebagian besar pria pergi ke luar negeri untuk bertahan hidup. Banyak keluarga yang berpisah dan berakhir dengan perceraian. Beberapa bahkan menjadi pelacur untuk bertahan hidup,” kata Hermawan, lelaki paroh baya yang usia nya sudah mulai menua itu.
Teman-temanya yang seangkatan pernah karyawan tambang timah pun berujar serupa, umumnya mengeluhkan pada kondisi saat itu, semuanya marah.
Mereka marah pada kondisi yang tidak mampu mereka ubah. Beberapa pemukiman berada di lahan bekas tambang.
Lahan-lahan tersebut mati karena dibiarkan tanpa proses rehabilitasi pascatambang.
Tanpa daya dukung ekologi, tanah tidak dapat digunakan untuk kegiatan ekonomi masyarakat, seperti pertanian dan perkebunan, bahkan menjadi sumber penyakit dan masalah sosial.
'Jatuhnya Singkep'
Gejolak ekonomi Singkep mulai terjadi pada awal 1990-an ketika UPTS berhenti beroperasi.
Tanda-tanda penurunan sudah dimulai sejak tahun 1985, ketika tin crash atau bencana timah ditandai dengan jatuhnya harga timah di pasar dunia.
Harga timah turun dari US$16.000 menjadi US$8.000 per ton.
Penurunan harga membawa serangkaian dampak yang mengakibatkan lesunya aktivitas penambangan timah di Singkep.
Intensitas eksploitasi berkurang, keuntungan menurun drastis, beban biaya meningkat sehingga eksploitasi kegiatan penambangan timah terhenti sama sekali.
Terjadi PHK massal.
Sebanyak 2.400 karyawan diberhentikan, mereka menyebutnya "pensiun menunggu", karena mereka dipensiunkan oleh perusahaan dengan pesangon yang tidak seberapa.
Beberapa dijanjikan uang pesangon tambahan ketika "masa tunggu" berakhir ketika mereka berusia 56 tahun.
Tapi janji itu menguap seiring waktu.
Penghentian penambangan timah membawa perubahan drastis karena hampir semua orang di Singkep bergantung pada keberadaan UPTS.
Denyut nadi ekonomi melemah, ada arus orang keluar dari Singkep.
Bekas tambang timah di Dabo Singkep
Mantan karyawan, anak muda usia produktif dan pengusaha memilih merantau untuk mencari peluang baru ke Batam, Tanjungpinang, atau kota-kota lain di Indonesia.
Seketika Singkep menjadi sepi, populasinya menyusut drastis. Pada tahun 1990, penduduk Singkep masih tercatat 39.000 jiwa.
"Lima tahun kemudian, hanya 21.000 orang yang tersisa."
Situasi pasca penambangan timah menyebabkan pulau Singkep jatuh. Singkep sedang mengalami masa transisi dengan berbagai masalah ekonomi, sosial dan lingkungan.
Tanpa kegiatan ekonomi yang menyerap banyak orang, kemiskinan dengan cepat menyebar.
Terjadi krisis mental akibat halusinasi kemewahan masa lalu, penduduk tertekan pada puncak usia produktifnya, banyak keluarga yang terpisah karena tuntutan hidup.
Meskipun daftar angka perceraian relatif konstan pada tahun-tahun tersebut, namun dengan menurunnya jumlah penduduk, terlihat bahwa proporsi angka perceraian suami-istri meningkat selama waktu tersebut.
Selain itu, areal bekas tambang timah yang hampir tidak ada proses rehabilitasi lahan mengakibatkan krisis ekologis.
Hamparan lahan bekas tambang menjadi mati dan tidak bisa lagi digunakan untuk kegiatan produktif seperti pertanian dan perkebunan.
Ada sekitar 130 lubang bekas galian tambang timah yang terbengkalai. Di daratan Pulau Singkep seluas 829 km2, bisa melihat lubang galian yang tersebar secara acak dan berdekatan dengan kedalaman puluhan hingga ratusan meter.
Jumlahnya mencapai ratusan dan menyerupai danau.
Lubang ini terlihat terus mengikuti jalur pengerukan timah yang telah terjadi selama dua abad.
Mulai dari ujung Pantai Timur hingga ujung Pantai Barat, ratusan lubang menganga (danau) yang tersebar juga menyimpan kengerian tersendiri karena letaknya yang dekat dengan pemukiman penduduk, tanpa pagar pembatas atau rambu peringatan, sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat dan seringkali menimbulkan korban tenggelam.
Pulau Singkep kini terbagi menjadi 4 kecamatan dari Kabupaten Lingga yang resmi dideklarasikan 14 tahun lalu.
Saat memasuki kawasan Singkep akan mendapatkan kesan bahwa kawasan ini sepi dari kegiatan produktif.
Banyak pria usia produktif menghabiskan berjam-jam nongkrong di kedai kopi, dari pagi hingga sore.
Gejala ini terlihat seperti perilaku kolektif masyarakat Singkep.
Ada masalah mental yang sulit diubah pada masyarakat yang sudah lama menggantungkan mata pencahariannya pada pertambangan.
Saat itu, hampir semua kebutuhan pokok seperti beras, gula, sayur dan buah, daging, minyak goreng dan margarin, susu dan telur, semuanya berasal dari Jawa.
Tidak ada upaya sistematis dan serius untuk membangun mata pencaharian yang lebih beragam atau mengembangkan ekonomi lain yang lebih berjangka panjang dan berkelanjutan.
"Kemewahan seolah membuat orang lupa bahwa tambang pada akhirnya tamat."
Pada kenyataanya beberapa komunitas pada akhirnya cenderung gagap menyesuaikan diri ketika harus menggarap sektor baru selain pertambangan.
"Masalah mental ini terlihat pada masyarakat Singkep. Segala upaya diversifikasi bidang usaha, mata pencaharian, dan sumber ekonomi baru selalu menemui kendala," kata Misran, Kepala Desa Kuala Raya menanggapinya.
"Masyarakat kesulitan move on dari tambang."
"Alhasil, wacana pembangunan ekonomi yang bisa serasi dengan kondisi masyarakat harus kembali bergelut dengan sektor pertambangan," sebut Misran.
Keadaan ini juga sejalan dengan potensi wilayah Lingga yang kembali dilirik oleh perusahaan karena potensi pertambangan bauksit, pasir dan lain-lain," sambungnya.
Meskipun saat ini sudah banyak peraturan pemerintah yang mengatur tentang tata kelola lingkungan di wilayah pertambangan, hampir tidak ada upaya sistematis untuk membuat masyarakat di sekitar tambang lebih mandiri dan mandiri dari industri pertambangan.
Singkep adalah monumen eksploitasi tragis tambang tanpa tanggung jawab untuk pelestarian lingkungan dan pembangunan masyarakat yang berkelanjutan.
Wilayah ini bagaikan terkoyak oleh tanah, lahan pertanian hampir tidak ada.
Masyarakat menjadi kurang antusias merintis keran ekonomi baru.
Tetapi dua faktor produksi tradisional, yaitu tanah dan tenaga kerja, telah menghilang dan tidak berdaya saing, kata Misran lagi.
Sangat sulit untuk menuntut tanggung jawab dari UPTS yang kini telah menjelma menjadi PT Timah, sebuah perusahaan milik negara dengan reputasi internasional dan pemimpin dalam produksi timah dunia, untuk berpartisipasi dalam memecahkan masalah ini.
Masalah hukum tampaknya tidak memiliki celah. Hanya tanggung jawab moral, jika masih ada.
Misran, yang juga seorang pemuda yang cukup terpelajar di Singkep mengatakan: “Masyarakat Singkep mengira hanya dijadikan susu. Kekayaan alam diambil untuk pembangunan Jakarta, dan semua masalah, kesedihan dan penyesalan ditinggalkan."
"Dulu, ketika timah sedang memuncak, hampir setiap minggu perusahaan mendatangkan artis dari ibu kota untuk menghibur warga,” kata Misran yang kini menjabat sebagai Kepala Desa Kuala Raya.
"Setelah perusahaan berhenti, mereka mengirimkan seorang ustadz ternama untuk memberikan ceramah menghibur kami, seolah-olah menasihati kami untuk tetap sabar dan menerima kenyataan hidup. Itu hanya sekali, seingat saya, sekitar tahun 1994," sebutnya.
Pengalaman Singkep menjadi pelajaran penting sekaligus peringatan bagi daerah lain di Indonesia yang masih terlalu bergantung pada sektor pertambangan untuk pembangunan dan pembangunan sosial ekonomi.
Indikasinya, PDRB sebagian kabupaten masih disumbang oleh sektor pertambangan dengan proporsi konsisten di atas 90% selama beberapa dekade, dan kualitas sumber daya manusia yang diproyeksikan oleh Indeks Pembangunan Manusia, khususnya sektor pendidikan, masih di bawah rata-rata nasional.
"Jika tidak ada upaya sistematis untuk mengatasi hal tersebut, dipastikan dampak sosial dan ekonomi yang terjadi di Singkep akan terulang kembali di daerah ini," sebutnya.
Sejarah Singkep
Menyimak kembali Pulau Singkep yang merupakan salah satu dari tiga pulau besar yang ada di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau.
Pulau ini juga dikenal sebagai salah satu pulau yang terdapat tambang timah terbesar selain Pulau Bangka di Sumatera Selatan.
Kala itu, di Indonesia hanya ada tiga pulau penghasil timah yaitu Bangka, Belitung dan Singkep.
Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883), yang merupakan Sultan Riau-Lingga pertama yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, kebijakan kerajaan adalah memfokuskan program kerjanya untuk meningkatkan penghasilan rakyat.
Selain menggalakkan pertanian sagu, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II juga menggalakkan penambangan bijih timah di Pulau Singkep.
Pulau itu pun mengalami masa kejayaan, baik dibidang perekonomian maupun kesejahteraan dikarenakan adanya pertambangan timah cukup besar yang menopang segala kemajuan di Pulau Singkep.
Seiring dengan berkembangnya Lingga sebagai pusat Kesultanan Riau-Lingga dan membaiknya perekonomian kerajaan, Belanda semakin berusaha untuk mengetatkan kendali terhadap perekonomian Kesultanan Riau-Lingga itu.
Pada tanggal 1 Desember 1857 dilaksanakan perjanjian antara sultan dengan Belanda tentang diizinkannya pengusaha Belanda untuk membuka tambang timah.
Penambangan timah di Pulau Singkep dan semua akitifitasnya pernah dipindahkan ke Karimun dan Kundur.
Tetapi sekian tahun lamanya Singkep berada pada masa-masa transisi yang dipenuhi berbagai masalah, baik ekonomi, kesejahteraan, krisis kejiwaan karena halusinasi masa-masa kemewahan.
Sejak berhentinya operasional tambang timah yang menakutkan bagi masyarakat Singkep seperti datangnya penyakit malaria yang menyerang karena lobang-lobang (kawah) bekas galian PT. Timah terus tergenang air, tanpa adanya upaya dilakukan penutupan.
Tambang timah tutup, kembali hadirnya Perusahaan Penambangan Pasir Tailing Timah sejak 1993.
Pola pembangunan yang ada pun tidak jelas karena tidak memiliki landasan ekonomi yang kukuh.
Masa kehadiran perusahaan penambangan timah sejak 1812 hingga 1992 (direct atau indirect) telah meninggalkan infrastruktur yang sekarang menjadi aset Pemda setempat dan departemen teknis.
Seperti bandara, pelabuhan laut, jalan raya, prasarana listrik, air minum, telekomunikasi, rumah sakit, bangunan bank, perkantoran perusahaan timah, unit-unit bangunan perumahan karyawan, dan sebagainya.
Bandara Dabo dapat didarati pesawat jenis Fokker-27, sedangkan pelabuhan laut telah mengalami renovasi dari anggaran APBN , dengan harapan dapat disinggahi oleh kapal-kapal ukuran menengah dari Jakarta, Bangka menuju Batam atau Tanjung Pinang.
Sementara fasilitas komunikasi dengan kode area 0776 sudah menyediakan kontak Saluran Langsung Jarak Jauh (SLJJ) di sana sejak dulu.
Dibanding 2 ibukota kecamatan lainnya di kabupaten Lingga saat ini, populasi kota Dabo Singkep relatif lebih besar hampir sama luasannya dengan Pulau Batam.
Sejak ditinggalkan oleh PT. Timah, aktivitas komersial di kota Dabosingkep menurun drastis.
Tidak seperti Tanjung Balai Karimun atau Tanjung Pinang yang memiliki keuntungan karena kedekatan wilayah dengan Singapore, aktivitas perdagangan dan komersial lainnya di kota ini sangat terbatas.
Kini sisa-sisa masa kejayaan tambang timah bisa dilihat dari bangunan infrastruktur dipakai untuk puskesmas, perumahan, instalasi air minum, serta jaringan jalan.
Bangunan yang terbengkalai antara lain bangunan pengolahan bijih timah—dekat Pasar Dabo.
”Sejak PT Timah ditutup, persoalan dasar di Dabo yaitu tidak ada lapangan pekerjaan, dan peninggalan PT Timah yang belum terurus,” kata Abu Hazim warga setempat.
Sisa-sisa beberapa bangunan masa kejayaan tambang timah.
Perjalanan sejarah yang panjang
Penambangan timah di Dabo Singkep dimulai sejak 1812. Setelah Indonesia merdeka, PT Timah mengambil alih pengelolaan tambang tersebut.
Mereka membangun infrastruktur hingga terbentuk kota baru.
Sejarah timah di Pulau Singkep, merupakan rentetan perjalanan sejarah yang sangat panjang.
Sekitar dua abad lalu, masa Sultan Riau-Lingga yaitu Sultan Abdul Rahman Syah ( 1812 – 1832) yang menetap di Lingga, timah di Pulau Singkep sudah didulang secara tradisional.
Ketik itu, keadaan di Lingga, sebagai pusat Kerajaan Riau – Lingga bertambah ramai karena telah ada tambang timah di Pulau Singkep yang menghasilkan bijih timah.
Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883), yang merupakan Sultan Riau-Lingga pertama yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, kebijakan kerajaan adalah memfokuskan program kerjanya untuk meningkatkan penghasilan rakyat.
Selain menggalakkan sagu, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II juga menggalakkan penambangan bijih timah di Pulau Singkep (Daud Kadir, 2008 : 188).
Namun demikian, seiring dengan berkembangnya Lingga sebagai pusat Kesultanan Riau-Lingga dan membaiknya perekonomian kerajaan, Belanda semakin berusaha untuk mengetatkan kendali terhadap perekonomian Kesultanan Riau-Lingga.
Tambang timah tradisional.
Pada tanggal 1 Desember 1857 dilaksanakan perjanjian antara sultan dengan Belanda tentang diizinkannya pengusaha Belanda untuk membuka tambang timah (Daud Kadir, 2008:171). Perjanjian tersebut antara lain berbunyi :
Fasal yang kesepuluh
Maka berdjandjilah Paduka Sri Sultan dan mentri2nja hendaq ia melebihkan kebadjikan ra’jatnya dan memegang pemerintahan dengan adil dan memeliharakan perusahaan tanah dan segala perusahaan orang dan hal perniagaan dan pelajaran kapal dan perahu didalam keradjaan dan tiada dia hendaq membuat barang suatu aturan yang boleh memberi kesukaran pada segala perkara itu.
Fasal yang kesebelas
Maka berdjandjilah Paduka Sri Sultan dan mentri2nja tiada dia hendaq melepaskan haqnja akan menggali didalam tanah serta beroleh hasil daripada penggaliannya itu kepada orang jang bukan anaq buminya djika tiada dengan mupaqat dan sebitjara dengan wakil Paduka Sri Jang Dipertuan Besar Gubernur Djenderal di Riau supaja penggalian itu diaturkan dengan ditjahari seboleh2nja untung Paduka Sri Sultan dan mentri2nja dan dengan tiada diambil oleh gubernemen sebahagian daripada untung itu hanjalah dengan menilik kepada pergunaan tanah Hindia Nederland jang sedjati serta dengan serta keputusan Baginda Sri Maharadja Nederland jang terputurs pada 24 hari bulan Oktober tahun 1850 ……..
(Arsip Nasional Republik Indonesia, 1970: 96-97)
Penjelasan dari Fasal di atas adalah: Bahwa inilah titah kita Sri Paduka Baginda Magaradja Willem Ketiga yang bersemajam dengan segala kebesaran dan kemuliaan diatas tachta keradjaan negeri Nederland dan segala rantau ta’luqnja”. Adapun kita telah melakukan aturan jang tersebut dibawah ini
Fasal jang pertama
Adapun diberi idzin akan buka tambang didalam daerah tanah Hindia Nederland kepada sekalian orang Welanda kepada sekalian orang Walanda jang dudu’ dinegeri Nederland atau ditanah Hindia Nederland jang empunja perolehan tjukup akan pekerdjaan itu jaitu atas timbangan gubernemen beserta dengan aturan jang tersebut dibawah ini ja’ni
Fasal jang kedua
Segala perdjandjian hal idzin buka tambang itu akan dibitjarakan dan ditetap dengan Sri Paduka Jang Dipertuan Besar Gubernur Djendral dari tanah Hindia Nederland maka segala permintaan akan membuka tambang itulah akan diatur terus kepada Sri Paduka Jang Dipertuan Besar itu atau kepada Tuan Menister jang melakukan hal pemerintahan segala negri jang ta’luq kepada Nederland
Fasal jang ketiga
Apabila orang minta’ idzin buka tambang jang belum diperiksa kekajaan tanahnja maka Sri Paduka Jang Dipertuan Besar Gubernur Djenderal akan suruh periksa kekajaan itu beserta dengan haq anaq negeri atas tanah tambang itu supaja tahu berapa patut akan gantinja dan disuruh periksa djuga besarnja modal jang tjukup akan melakukan pembukaan tambang itu dengan patut maka jang hendaq buka tambang itu boleh djuga menjuruh suruhan atas belandjanja sendiri ikut pemeriksaan itu bersama2 jang disuruh oleh gubernemen.
Fasal jang keempat
Pekerdjaan buka tambang itu akan dibantu dan dilindungi oleh Gubernemen dengan segala upaja jang dipikir harus dan dibitjarakan dengan jang beroleh idzin akan pekerdjaan itu. Adapaun segala belandja baharu jang dikeluarkan sebab perbantuan atau lindungan itu akan dibajar oleh jang beroleh idjin itu dan mereka itu akan diberi tanggungan pembajaran itu maka sekali2 gubernemen tiada akan memberi pandjaran.
Fasal jang keenam
Adapun djika jang diberi idzin buka tambang tiada boleh dapat orang2 negeri merdeka akan bekerdja tambang itu dengan perdjandjian jang patut maka gubernemen akan beri idzin kepadanja akan djemput orang bekerdja merdeka daripada negri lain dengan aturan supaja tiada berubah ketetapan di dalam negeri.
Fasal jang ketudjuh
Adapun pekerdjaan buka tambang itu akan melaku dengan seharusnja kepada waktu jang ditentukan didalam surat Perdjanjian..sjahdan apabila pada waktu itu pekerdjaan itu belum berlaku maka segala perdjanjian djadi sia2 tetapi jang diberi idzin buka tambang itu akan ganti djuga segala belandja gubernemen akan pemeriksaan tanah tambang dan idzinnja2.
Fasal jang kedelapan
Apabila diberi idzin buka tambang kepada sehimpunan orang sekutu maka jang djawatan pekerdjaan itu hanjalah orang Welanda yang dudu’ dinegeri Nederland atau ditanah Hindia Nederland dan sebagai lagi jang diberi idzin buka tambang baik seorang sendiri baik sehimpunan orang sekutu ta’ dapat tiada ia angkat seorang djadi wakil muthlaqnja ditanah Hindia Nederland.
Fasal jang kesembilan
Adapun jang telah beroleh idzin buka tambang tiada boleh serahkan haqnja itu baik semata2 baik sebagianja kepada orang lain hanjalah dengan idzin gubernemen Hindia Nederland dan sekali2 haq itu tiada boleh pindah kepada barang siapa hanjalah orang Welanda terberi kepada 24 hari hari bulan Oqtober tahun 1850 bertanda oleh Sri Paduka Maharadja Willew bertanda oleh Tuan Minister jang melakukan hal pemerintahan segala negri jang ta’luq kepada negri Nederland (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1970: 96-97)
Dalam perkembangannya, perusahaan Belanda Pulau Singkep Tin Maatschaappij (SITEM) pada tahun 1934 menggarapnya secara besar-besaran. Tahun 1959, penambangan timah pun diambil alih pemerintah sampai akhirnya pulau itu ditinggalkan di awal tahun 90-an. Sejarah panjang ini, membuat penuturan warga Pulau Singkep sudah menyatu dengan timah. (*)
Tags : operasi tambang timah, dabo singkep, kepri, tambang timah menyisakan kemiskinan, tambang timah menyisakan bumi terkoyak oleh tanah, Sorotan, riaupagi.com,