"Sekitar 3,12 juta hektare perkebunan sawit melakukan aktivitas di dalam kawasan hutan tanpa tindakan keras dari pemerintah"
rganisasi lingkungan Greenpeace dalam laporannya yang terbit Kamis 21 Oktober 2021 menyampaikan sekitar 3,12 juta hektare perkebunan sawit melakukan aktivitas di dalam kawasan hutan tanpa tindakan keras dari pemerintah. Pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja disebut semakin melonggarkan sanksi.
Laporan yang disusun Greenpeace dan lembaga ahli geospasial TheTreeMap itu menemukan bahwa pada akhir 2019 terdapat 3,12 juta hektare kelapa sawit ditanam di kawasan hutan — sekitar 19% dari total luasan perkebunan sawit di Indonesia. Ini termasuk 183.687 hektare yang sebelumnya merupakan habitat orang utan, dan 148.839 hektare habitat harimau sumatera.
Sawit, sebut laporan itu, ditanam di setiap kategori kawasan hutan, mulai dari taman nasional, suaka margasatwa, bahkan situs UNESCO, dan tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Aktivis lingkungan dari Greenpeace melakukan demo di depan Gedung DPR, Oktober 2021.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus menanggapi temuan-temuan dalam laporan ini, namun tidak mendapatkan respons. Pada Maret 2021, KLHK mengakui kepada DPR bahwa ada 2,6 juta hektar perkebunan sawit di kawasan hutan yang tak mempunyai proses permohonan pelepasan kawasan hutan.
Untuk laporan yang diberi judul 'Perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan: Karpet merah oligarki' ini, Greenpeace bersama TheTreeMap membuat analisis spasial penanaman kelapa sawit di Indonesia sejak awal 2001 hingga 2019.
Analisis dari pemetaan citra satelit ini mendapati 3.118.804 hektar kelapa sawit ditanam di dalam kawasan hutan, yang melanggar hukum kehutanan nasional. Sebanyak 469 perusahaan perkebunan menanam masing-masing lebih dari 50 hektar sawit di dalam kawasan hutan, sementara sisanya merupakan perkebunan swadaya masyarakat.
Jumlah ini, bila dibandingkan dengan total cakupan kelapa sawit nasional yang dirilis oleh Kementerian Pertanian pada 2019 — yakni 16,38 juta hektar — mencakup 19%-nya. Apa signifikansi temuan ini? Laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang berisi 'kode merah bagi umat manusia' menyatakan bahwa setelah penggunaan bahan bakar fosil, perubahan fungsi lahan menjadi penyumbang terbesar perubahan iklim.
Alih fungsi hutan primer menjadi kelapa sawit, kata Greenpeace, tak diragukan lagi menjadi salah satu kontributor terbesar bagi emisi gas rumah kaca Indonesia. Pada saat yang sama, pemerintah Indonesia mencanangkan untuk mengurangi gas rumah kaca sebanyak 29% pada 2030 berdasarkan skenario business-as-usual.
"Ini akan sulit dicapai apabila kelemahan pada penegakan hukum saat ini tetap berlangsung hingga 2030 dan seterusnya," kata Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, saat peluncuran laporan ini pada Kamis (21/10).
Perusahaan bersertifikat ISPO 'terlibat dalam jumlah mengkhawatirkan'
Menanami kawasan hutan dengan sawit, menurut peraturan hukum Indonesia, adalah ilegal, menurut Undang-undang Kehutanan No.5 Tahun 1967 dan UU Kehutanan No.41 Tahun 1999.
Namun sejak 2012 hingga 2020, Greenpeace menilai pemerintah tak memberikan cukup sanksi pada perusahaan yang melanggar aturan. Alih-alih, sebut mereka, tiga amnesti diberikan "yang berturut-turut semakin ringan". Dua yang pertama, pada 2012 dan 2015, dipenuhi dengan berbagai ketentuan dan diskresi kementerian.
Ketentuan amnesti pertama menyediakan peluang enam bulan di mana perusahaan sawit dapat mengajukan kepada menteri, dan menteri memiliki diskresi untuk menerbitkan pelepasan kawasan hutan.
Orangutan terkapar di kebun sawit.
Pada amnesti kedua, masa tenggang ini diperpanjang menjadi satu tahun. Cakupan hutan yang bisa dilepaskan juga diperlebar, termasuk wilayah hutan lindung dan hutan konservasi.
Sementara amnesti ketiga, yang diterbitkan bersamaan dengan Undang-Undang Cipta Kerja — atau Omnibus Law — pada 2020 dikatakan Greenpeace semakin "membuka lebar pintu bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit menduduki kawasan hutan yang sebelumnya tidak memenuhi syarat pada amnesti-amnesti sebelumnya".
UU Cipta Kerja mengubah ketentuan di banyak peraturan yang sudah ada, termasuk UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Masa tenggang diberikan dengan durasi lebih lama, yakni tiga tahun setelah diundangkan, dan mengganti sanksi pidana yang sebelumnya diberlakukan dengan sanksi denda administratif atau pembatalan izin.
Perkiraan luas kawasan hutan yang bisa dirambah di bawah Omnibus Law, menurut laporan ini, adalah seluas 665 ribu hektar. Sebagai perbandingan, luas area Tokyo yang merupakan kota terbesar kedua di dunia berdasarkan area daratannya, adalah 699 ribu hektar.
Organisasi lingkungan ini juga mengatakan, berbagai perusahaan yang telah memiliki sertifikasi RSPO dan ISPO turut terlibat, "dalam jumlah yang mengkhawatirkan". RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) adalah badan sertifikasi nirlaba yang menyatukan para pemangku kepentingan dari semua sektor industri kelapa sawit dan bertujuan mewujudkan produk sawit berkelanjutan.
Sementara ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) adalah sertifikasi sawit berkelanjutan yang merupakan inisiatif Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian. Sejumlah pihak, terutama kelompok peduli lingkungan, mengkritik ISPO belum cukup kredibel secara internasional — sesuatu yang terus dibantah oleh pemerintah Indonesia.
Laporan Greenpeace menyebutkan hampir 100 perusahaan anggota RSPO memiliki masing-masing lebih dari 100 hektare kebun sawit di kawasan hutan; delapan perusahaan masing-masing memiliki lebih dari 10.000 hektar. Sementara perusahaan bersertifikasi ISPO, secara total memiliki 252.000 hektare kebun sawit di area hutan.
Skema ISPO juga secara spesifik melarang operasi di kawasan lindung, namun Greenpeace mengaku menemukan 10 konsesi minyak kelapa sawit bersertifikat ISPO menduduki hutan lindung dan kawasan konservasi.
Gajah, orang utan, dan harimau terdesak
Laporan ini merinci, ada setidaknya 29 kawasan konservasi yang di dalamnya memiliki lebih dari 100 hektar perkebunan kelapa sawit. Dua di antaranya adalah Taman Wisata Alam Gunung Melintang di Kalimantan Barat, yang memiliki 1.117 hektar perkebunan sawit, dan Suaka Margasatwa Bangkiriang di Sulawesi Tengah yang memiliki 802 hektare perkebunan kelapa sawit.
Keduanya telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi oleh Kementerian Kehutanan. Imbas dari alih fungsi lahan di kawasan hutan ini, habitat para satwa dan keanekaragaman hayati di area-area tersebut rusak dan hilang.
Melalui analisis spasial, lembaga lingkungan ini menghitung angka kehilangan habitat di dalam kawasan hutan untuk spesies orang utan, harimau, dan gajah. Hingga akhir 2019, sebanyak 183.687 hektare kawasan hutan yang menjadi habitat orang utan (Pongo spp.) yang terpetakan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Satwa harimau mulai bingung lahan hutan jadi kebun sawit.
Untuk gajah, hingga kurun waktu yang sama, sebanyak 18.hektar kawasan hutan yang merupakan habitat gajah dikonversi menjadi perkebunan sawit. Populasi gajah sumatera (Elephus maximus spp. sumatranus) di alam liar diperkirakan menurun hingga 50% sejak 1985 karena deforestasi.
Perubahan habitat ini juga kerap memicu konflik antara gajah dengan manusia, termasuk saat gajah masuk ke area perkebunan sawit atau permukiman warga. Bagi harimau, sebanyak 148.839 hektare kawasan hutan yang merupakan habitat mereka dikonversi menjadi perkebunan sawit. Populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) kini hanya berkisar 600 ekor saja.
Selain hewan-hewan liar, dibabatnya hutan primer — atau hutan hujan yang masih tidak terganggu — mengandung karbon dalam jumlah tinggi. Sawit, menurut penelitian yang diterbitkan pada 2018, mengandung jauh sedikit karbon.
Baru-baru ini, penelitian yang menyeluruh terhadap konversi hutan menjadi sawit di Provinsi Jambi, Sumatera, menghasilkan kerugian karbon sebanyak 173,5 metrik ton karbon per hektar. Secara keseluruhan, ketika hutan primer dibuka demi kelapa sawit, banyak kandungan karbon yang hilang.
'Jika tidak ditindak, mau jadi apa?'
Sebelum laporan ini dirilis, Greenpeace mengaku telah menghubungi perusahaan-perusahaan sawit yang perkebunannya ditemukan oleh mereka tumpang tindih dengan kawasan hutan.
"Sebanyak 17 perusahaan menandatangani balasan bersama," kata Arie Rompas, dari Greenpeace Indonesia dalam pernyataannya pada pers.
Mereka mengklaim telah "patuh kepada peraturan dan perundang-undangan Indonesia yang berlaku terkait penggunaan izin lahan untuk perkebunan kelapa sawit".
"Jawaban ini tampaknya dirancang dengan seksama agar menghindar dari tuduhan tidak patuh hukum, terutama Undang-Undang Kehutanan," kata Arie.
Orangutan tergusur.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sebaiknya mengomentari temuan-temuan dalam laporan Greenpeace ini, namun hingga laporan ini ditulis belum ada tanggapan.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR RI pada Maret 2021, Plt. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, Ruandha Agung Sugardiman, mengakui ada 3,3 juta hektare perkebunan sawit yang ada di dalam kawasan hutan.
Seluas 2.611.000 hektare di antaranya tanpa proses permohonan pelepasan kawasan hutan, seperti dirilis Antara. Menanggapi keterangan Ruandha tersebut, Ketua Komisi IV DPR RI Sudin meminta KLHK menindak perusahaan-perusahaan yang melanggar hukum tersebut. "Kalau 2,6 juta hektare itu sudah melanggar dan merugikan negara, dan tidak ditindak, mau jadi apa?" ujar Sudin.
"Sedang kami intensifkan untuk identifikasinya. Ini rencana kita akan selesaikan pengenaan denda administratif," jawab Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani, kala itu. (*)
Tags : Indonesia, Perubahan iklim, Lingkungan,