Pendidikan   2021/10/20 11:10 WIB

Perlukah Menghadiahi Anak Agar Lebih Rajin Belajar dan Berprestasi?

 Perlukah Menghadiahi Anak Agar Lebih Rajin Belajar dan Berprestasi?
Manfaat motivasi intrinsik tidak terbatas pada anak-anak.

KEINGINAN untuk belajar didorong keingintahuan alami dan keinginan untuk mendapat imbalan. Tetapi mana yang lebih baik untuk memotivasi anak-anak belajar?

Mungkinkah membuat anak-anak belajar demi ilmu pengetahuan, dan bukannya belajar demi nilai A, agar tidak dapat nilai F? Terdengar seperti fantasi, bukan? Mungkin tidak. Dari saat anak-anak masih balita, mereka secara alami tertarik menjelajahi lingkungan mereka.

Dari mengamati sehelai rumput hingga bermain dengan hewan peliharaan, balita ingin tahu bagaimana cara kerja suatu hal. Menurut para ahli, baru ketika anak agak lebih besar, mereka belajar bahwa mereka bisa melakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah atau menghindari hukuman, misalnya bagaimana harus duduk diam di meja camilan.

Dua pendorong perilaku ini dikenal sebagai motivasi intrinsik (keingintahuan alami) dan motivasi ekstrinsik (terkait dengan pemberian hadiah). Tetapi mana yang lebih baik untuk membantu anak-anak belajar? Dan dapatkah Anda memupuk kesenangan anak untuk belajar tanpa memberikan hadiah?

"Motivasi intrinsik ada sejak awal. Anak-anak bertindak proaktif. Mereka pada dasarnya penasaran," kata profesor Frédéric Guay, seorang pakar motivasi di Universitas Laval di Quebec seperti dirilis BBC.

"Guru dan sistem yang diterapkan di sekolah perlu memupuk motivasi ini."

Guay dan rekan-rekannya melakukan meta-analisis, yang akan segera diterbitkan, terkait motivasi intrinsik. Mereka meneliti lebih dari 20.000 orang, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga universitas dan lebih dari 344 bidang studi. 

Siswa menyelesaikan kuesioner yang dirancang untuk mengukur berbagai jenis motivasi, dan nilainya mereka laporkan sendiri atau dilihat dari rapor mereka. Para peneliti menemukan bahwa siswa yang lebih menggemari mata pelajaran tertentu memiliki prestasi yang lebih tinggi juga menunjukkan kegigihan dan kreativitas pada bidang-bidang tersebut.

Penelitian lain mendukung gagasan bahwa anak-anak yang termotivasi secara intrinsik lebih baik dalam belajar. Satu studi dari Jerman menemukan bahwa siswa berusia tujuh hingga sembilan tahun yang merasa 'tenggelam' dalam cerita yang mereka baca, punya tingkat pemahaman membaca yang lebih tinggi daripada mereka yang didorong oleh keinginan bersaing dengan siswa lain.

Penelitian Jerman lainnya menemukan hubungan timbal balik antara motivasi membaca secara intrinsik dan prestasi membaca pada siswa berusia delapan hingga 10 tahun. Tapi tidak ada hubungan seperti itu ketika motivasi itu adalah secara ekstrinsik. Dan manfaat motivasi intrinsik tidak terbatas pada anak-anak.

Satu studi yang meneliti motivasi taruna di akademi militer West Point menemukan bahwa mereka yang murni termotivasi secara intrinsik lebih cenderung menjadi perwira dan mendapat promosi awal daripada mereka yang termotivasi secara intrinsik dan ekstrinsik.

Jadi, mengapa kita memberikan hadiah pada anak-anak?

Terlepas dari bukti tentang pentingnya memelihara motivasi intrinsik, budaya penghargaan merayap ke dalam kelas sejak dini. Anak-anak mendapatkan hadiah seperti stiker untuk mendorong perilaku yang baik.

Satu studi menemukan bahwa guru-guru dari TK hingga kelas 5 SD yang diteliti menggunakan hadiah, seperti pujian, pada para siswa. Hampir 80% juga menggunakan hadiah nyata setiap minggu, seperti token untuk membeli hadiah.

Bentuk hadiah umum lainnya termasuk hak istimewa kelas, seperti memutuskan suatu kegiatan atau waktu ekstra untuk kegiatan yang menyenangkan. Christine Dewart, yang telah mengajar anak-anak berusia lima hingga enam tahun di California selama sembilan tahun, mengatakan ketika dia mempelajari perkembangan anak di universitas, ada penekanan pada pentingnya motivasi intrinsik dan menghindari terlalu banyak hadiah.

Tetapi dalam pengalaman profesionalnya sehari-hari, ia melihat manfaat menggunakan hadiah untuk mengelola kelasnya. Dia menemukan bahwa "memberi pengakuan bahwa seorang siswa telah berperilaku baik, akan membantu siswa lain melakukan hal yang sama".

Dewart mengutip kasus seorang siswa yang punya masalah kecemasan dan agresi fisik. "Saya tidak ingin menunjuknya karena perilaku itu, jadi saya memberikan imbalan. Untuk setiap 15 menit ia mampu mengendalikan dirinya, ia mendapat satu menit waktu luang untuk digunakan nanti."

Persyaratan 15 menit itu kemudian menjadi 30 menit dan akhirnya merentang ke seluruh pelajaran di mana ia bisa tetap tenang dan penuh perhatian, sebuah proses yang dimulai dari hadiah.

Jika mendidik anak-anak adalah gabungan dari memelihara rasa ingin tahu dan memberi mereka penghargaan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang mungkin kurang menarik, dapatkah kita berbuat lebih banyak untuk menjadikan tugas itu sendiri sebagai hadiah?

Sarah McGeown, dosen senior psikologi perkembangan di University of Edinburgh, mengatakan ada hal-hal yang dapat dilakukan guru dan orang tua untuk meningkatkan motivasi intrinsik anak.

Salah satu contoh adalah membaca untuk tujuan rekreasional.  "Membantu anak-anak menemukan genre atau penulis yang mereka sukai sangat penting," katanya.

Guay percaya bahwa sangat penting untuk mendukung anak-anak dengan cara yang membuat mereka merasa memiliki pilihan dan melakukan hal-hal sesuai keinginan mereka sendiri. "Daripada berfokus pada penghargaan, fokuslah pada kualitas hubungan dengan siswa," katanya.

"[Itu] berarti mendengarkan anak-anak dan bahkan mengakui perasaan tidak suka anak yang normal."

Dia menyarankan mencari waktu untuk mengatasi perasaan tidak suka anak terhadap suatu kegiatan dan menjelaskan mengapa kegiatan itu penting meski tidak terlalu menyenangkan.

"Siswa yang menganggap belajar itu penting, bahkan jika mereka tidak menikmatinya, akan menghasilkan hasil positif yang sama seperti yang diperoleh mereka yang memiliki motivasi intrinsik tinggi."

Baik Guay dan McGeown mengatakan fokus pada nilai harus dikurangi dan yang harus diperhatikan adalah proses. Tetapi beberapa guru ingin melangkah lebih jauh. Aaron Blackwelder, seorang guru bahasa Inggris sekolah menengah, berpartisipasi mendirikan grup Facebook "Teaching Going Gradeless" (mengajar tanpa memberi nilai) tiga tahun lalu.

Grup itu kini memiliki lebih dari 5.000 anggota. Dia terinspirasi oleh serangkaian studi pada 1980-an di mana siswa berusia 10-12 dibagi-bagi untuk menerima nilai saja, nilai dan masukan, atau hanya masukan saja. Minat dan kinerja tertinggi ditunjukan oleh siswa yang hanya menerima masukan, sementara nilai dan nilai plus masukan membuat minat dan kinerja mereka menurun, kata studi itu.

Alih-alih memberikan nilai, Blackwelder mendukung siswa menguasai keterampilan yang mereka butuhkan dan murni memberikan masukan pada mereka. Beberapa guru skeptis dengan metodenya, tetapi dia yakin itu berhasil. "Mereka percaya kepada saya untuk memberi masukan yang konstruktif karena tindakan saya tidak dianggap sebagai hukuman," katanya.

"Siswa saling mempercayai karena tidak ada kompetisi untuk mendapatkan poin terbanyak dan mendapatkan nilai tertinggi di kelas. Alih-alih, siswa mengandalkan kekuatan satu sama lain untuk menjadi sukses."

Meski begitu Blackwelder masih diharuskan memberikan nilai pada akhir semester. Namun, Adam Tyner, peneliti Institut Thomas B. Fordham, yang fokus pada reformasi pendidikan, mengatakan nilai sekolah memang memiliki tujuan praktis.

"Manfaat utamanya adalah untuk menyaring kinerja siswa menjadi nilai tunggal yang dapat dipahami orang tua dan siswa. Guru dapat memasukkan hasil akademik dan perilaku sehari-hari ke dalam nilai siswa, yang berarti bahwa mereka dapat memperhitungkan 'keterampilan non-kognitif' seperti seberapa baik siswa bekerja sama dan berkolaborasi. "

Haruskah memberi hadiah?

Tyner merujuk ke Program Kesiapan Perguruan Tinggi untuk bidang studi Matematika dan Sains di AS, yang memberi insentif untuk siswa dan guru SMA yang sukses.

"Evaluasi ketat oleh ekonom Universitas Northwestern Kirabo Jackson menemukan bahwa program ini meningkatkan pendaftaran di perguruan tinggi sebesar 4,2 persen. Beberapa efek subkelompok juga mengejutkan. Siswa dari grup Hispanik mengalami kenaikan penghasilan 11% ketika terpapar program ini."

Tyner menambahkan bahwa meskipun motivasi ekstrinsik dapat merusak motivasi intrinsik tinggi yang sudah ada, itu tidak selalu terjadi, dan anak-anak tidak selalu termotivasi secara intrinsik untuk memulai sesuatu.

"Satu hal yang peneliti sampaikan adalah bahwa motivasi ekstrinsik mungkin berbahaya ketika motivasi intrinsik sudah sangat tinggi dan insentif membingkai ulang pengalaman itu sebagai sesuatu yang harus dibayar, bukan sesuatu yang dilakukan untuk bersenang-senang," katanya.

"Saya ragu bahwa untuk sebagian besar tugas sekolah remaja, terutama dalam mata pelajaran yang sulit dan teknis seperti matematika, ada banyak motivasi intrinsik siswa yang perlu kita khawatirkan."

Ia percaya kedua motivasi itu dapat saling mendukung. "Ada mitos bahwa motivasi intrinsik dan ekstrinsik adalah dua hal yang berlawanan. Namun, jika motivasi ekstrinsik membuat siswa belajar, dan belajar dapat memberdayakan siswa, maka motivasi ekstrinsik dapat secara tidak langsung memberdayakan siswa". (*)

Tags : Pendidikan, Anak-anak, Keluarga,