"Perusahaan galangan kapal mulai kewalahan, akhir-akhir ini kesulitan bahan baku mulai dari kayu hingga besi membuat tak bisa memperbaiki kapal-kapal nelayan yang butuh perbaikan"
erusahaan galangan kapal di Kabupaten Daik Lingga, Kepulauan Riau [Kepri], akhir-akhir ini mulai kesulitan bahan baku baik kayu hingga besi. Perusahaan galangan kapal nelayan pun akhirnya tak bisa memperbaiki kapal-Kapal nelayan yang butuh perbaikan.
"Sebenarnya cukup banyak kapal-kapal milik nelayan, maupun kapal ikan yang butuh perbaikan, namun kami tolak untuk memperbaiki, karena sulitnya untuk mendapatkan bahan baku kayu untuk mengganti badan kapal yang sudah rusak," kata Saleh, salah seorang pemilik usaha patungan galangan kapal nelayan di Desa Bakong dalam percakapannya dengan riaupagi.com via ponselnya, Minggu [23/8].
Ia mengaku sampai-sampai sakit kepala memikirkan bahan baku yang kian sulit didapat, "walaupun Daik Lingga boleh dibilang masih banyak sumber-sumber kayu berkualitas untuk keperluan pembuatan kapal nelayan namun tak semudah itu untuk memperolehnya," sebutnya.
Dengan keterbatasan bahan baku kayu kualaitas terbaik itu, Ia kini hanya menerima kapal-kapal kayu nelayan untuk dilakukan renovasi ketimbang dengan membuat baru kapal-kapal yang bahan bakunya terbuat dari kayu yang tahan terhadap air laut. "Setiap bulan cukup banyak kapal-kapal kayu meminta perbaikan, namun terkadang kami tolak karena sulitnya kayu berkualitas untuk pergantian rangka kapal yang sudah lapuk," katanya.
Menurut Saleh, usaha patungan galangan kapal yang dibangun sejak 1990 itu, hingga kini masih tetap bertahan, walaupun hanya mengutamakan kapal kayu untuk diperbaiki. "Kapal-kapal yang masuk dalam perbaikan di galangan itu, umumnya milik nelayan sejenis kapal ikan," katanya.
Perbaikan kapal membutuhkan waktu sesuai dengan kondisi kerusakan kapal. Kapal yang masuk dalam perbaikan biasanya memakan waktu antara 20 hingga 25 hari dengan tingkat kerusakan antara 10-35 persen. "Kalau kapal-kapal kayu yang berbobot 30 gross tonnage (GT) hingga 40 gross tonnage (GT), biasanya butuh waktu hingga satu bulan lebih, disebabkan ada mesin harus diganti dipesan dari luar Daerah dan bahkan impor, sehingga membutuhkan waktu cukup lama," ujaranya tanpa menyebut biaya perbaikan untuk setiap kapal.
Walau sulit bahan baku kayu, pengusaha tetap bertahan
Panjang dan lebar serta ketinggian kapal kayu yang dibuat cukup bervariasi, sesuai dengan jenis, tonase, dan bentuk yang dikehendaki. Seperti kapal mini poursein 25 gross tonnage (GT) memiliki panjang 22 meter, lebar 5,6 meter, dan tinggi 2,2 meter. Bahkan ada kapal berukuran lebih besar lagi hingga dua-tiga kali lipat, disesuaikan dengan kapasitas mesin yang mencapai 60-120 GT.
Pesanan kapal dari luar wilayah Provinsi Kepri juga cukup banyak, sayangnya industri kapal di Bakong ini tidak bisa memproduksi kapal dengan cepat sebab hampir sebagian besar kapal dikerjakan secara manual oleh tangan-tangan terampil, diakui salah satu pemilik galangan kapal Saleh.
Belakangan para pengusaha galangan kapal di Desa Bakong kesulitan bahan baku kayu. Kayu Resak yang biasa dijadikan bahan bakunya mulai terbatas. Selain kuat dan tahan air, harganya pun selangit. Kayu jenis Resak sebagai bahan baku menjadi langka, akibatnya ilegalloging (Illog) pun terjadi. Kayu Resak diburu oleh para pelaku illog diperoleh dari hutan lindung di Pulau Lingga, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Pengusaha galangan kapal di Desa Bakong bukan hanya Saleh yang berusaha untuk bertahan dari terpaan sulitnya bahan baku, melainkan seperti Acai, Ato, Toni, Smin, Alai dan Ationg yang kesemuanya beroperasi di Dusun II Desa Kuala Raya dan Desa Bakong, Kecamatan Singkep Barat, Kabupaten Lingga merasa kesulitan bahan baku Kayu Resak, mereka mengandalkan pembelian bahan baku kayu yang tak tau asal muasal kayu diperoleh.
"Berdasakan informasi yang saya dapat dari warga di Desa Bakong sampai kini pengusaha galangan kapal itu belum ditertibkan, bang," kata Zuhardi dari lembaga swadaya masyarakat (lsm) Gema Lingga dalam bincang-bincangya dikontak melalui ponselnya belum lama ini.
Untuk bahan kapal ini pengusaha galangan menggunakan kayu jenis Resak, “tapi jika dibiarkan kegiatan ini terus berlangsung, hutan terus terusik,” sebutnya menambahkan, lemahnya pengawasan oleh instansi terkait mengakibatkan hutan negara bisa hancur. Di Desa Bakong sejak lama sebagai tempat operasi usaha galangan kapal. Salah seorang pengusaha galangan kapal yang minta tidak disebutkan namanya mengaku, kesulitan untuk memenuhi bahan kayu untuk pembuatan kapal. "Kami harus pandai-pandai untuk mendapatkan bahan kayu, bermitera dengan Azam salah seorang pengusaha kayu. Dari Azam diperoleh bahan kayu yang selanjutnya bisa memenuhi permintaan konsumen untuk membuat kapal seukuran 30 GT," ungkapnya.
Para pengusaha galangan kapal di Desa Bakong disebut-sebut dikoordinir oleh seseorang yang bernama Berlin, yang konon sebagai putera asli Desa Bakong dan dia mengatur semua hal atas keamanan kegiatan galangan kapal termasuk soal kedekatannya dengan aparat hukum. Berlin sendiri dikontak ponselnya, membantah soal keterlibatannya terhadap para pengusaha galangan kapal di Desa Bakong. "Coba hubungi mereka sajalah, saya tak dapat komentari soal itu,” sebutnya singkat sambil menutup ponselnya.
Akibat aktivitas galangan kapal ini, kayu jenis Resak yang tumbuh di kawasan hutan lindung di Lingga terusik karena pengusaha galangan kapal memenuhi pesanan kapal dari beberapa daerah baik dalam dan luar wilayah provinsi Kepri yang menjadikan pohon kayu Resak menjadi korban. Namun Abu Hasyim Sekdakab Lingga dihubungi ponselnya kepada wartawan mengatakan, "nanti akan saya cek dan maaf saya lagi sibuk,” sebutnya.
Pemkab sebaiknya bantu kapal nelayan
Asmin Patros, putra asli kelahiran Dabo Singkep berharap Pemkab Lingga dapat membantu kesulitan para nelayan demi meningkatkan taraf perekonomian di daerah, "solusinya pemkab dapat memberikan keberpihakan kepada penggiat hasil sumber daya kelautan yang sudah jelas menjadi andalan wilayah Kabupaten Tanah Bunda Melayu [Daik Lingga]," sebutnya.
“Sebagai kawasan berporos maritim sebaiknya Pemkab Lingga memperhatikan kelompok-kelompok nelayan untuk diberi bantuan kapal yang lebih baik,” ujar politisi yang duduk di Komisi II DPRD Provinsi Kepri ini pada media belum lama ini.
Menurutnya, jika kelompok nelayan mendapat bantuan kapal yang besar, Asmin memperkirakan akan mendapatkan hasil yang lebih baik pula. Sebab, menurut pria kelahiran Pulau Singkep ini, semakin ke tengah laut, ikan yang didapat tentunya ikan yang bernilai ekonomis lebih tinggi. Tentunya, kapal bertonase besar tersebut harus memiliki fasilitas yang mendukung pula, seperti alat pendingin untuk mengawetkan ikan dan sebagainya agar hasil tangkapan dapat dijaga mutunya dan tentunya bernilai ekonomi tinggi. Dia juga mencontohkan sejumlah negara yang membekali nelayannya dengan kapal besar dan sarana yang lengkap.
Jika ini berjalan dengan baik, Asmin memperkirakan dapat membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat Tanah Bunda Melayu ini. Hal ini dikarenakan kondisi geografis Kabupaten Lingga terdiri dari laut yang luas dan kaya akan hasilnya. Pemkab Lingga melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Lingga telah banyak memberikan bantuan alat tangkap dan sejumlah kapal seperti Inkamina dan bantuan lainnya. Namun kapal bantuan ini belum sesuai dengan yang dimaksudkan Asmin Patros.
Dia menyebutkan kapal besar yang berangkat hingga satu-dua bulan di tengah laut, tentunya akan membawa ikan lebih besar dan lebih banyak. Otomatis mendapatkan hasil bernilai ekonomi yang lebih baik pula. “Galangan kapal di Batam sangat banyak, mungkin pemerintah dapat bekerjasama dengan mereka untuk membuatkan kapal ikan yang besar,” ujar Asmin.
Namun Asmin mewanti-wanti agar bantuan kapal tersebut tentunya bukan diberikan kepada perorangan, melainkan kepada kelompok nelayan yang tepat agar dapat dioperasikan dengan baik dan benar. Sehingga menjadikan kesinambungan pendongkrak pendapatan di daerah penerima bantuan tersebut. Walau demikian, Asmin memberikan apresiasi kepada Bupati Lingga Alias Wello dengan trobosan pemindahan kantor DKP dari Daik Lingga ke Senayang. Trobosan ini dianggap perlu sebagai langkah awal dan mempermudah penyerapan aspirasi masyarakat khususnya nelayan karena menjadi lebih dekat. (*)
Tags : galangan kapal, kapal nelayan, bahan baku, daik lingga, kepri,