
Awal tahun 2025 membawa tantangan serius bagi keberlanjutan hutan Indonesia.
PEKANBARU - Polemik penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan masih berlanjut. Pemerintah sendiri telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Namun regulasi baru ini pun makin memperpanjang pro dan kontra.
Adalah Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA) yang berharap, penertiban kawasan hutan harus benar benar menyelamatkan hutan, terutama pembukaan lahan pasca UU No 10 Tahun 2020 tentang cipta kerja.
"Hutan lindung, konservasi dan swaka margasatwa harus benar-benar diselematkan. Sedangkan penertiban kawasan hutan dalam kawasan keterlanjuran yang sudah ditanami kelapa sawit dengan Perpres No 5 Tahun 2025 harus tepat sasaran dan jangan menyasar ke petani kecil (luasan 5-10 Ha)," kata Ir Marganda Simamora SH M.Si, Ketua Umum SALAMBA, Kamis (22/5).
Dia juga berharap untuk kawasan lindung, konservasi dan margasatwa setelah di tertibkan dan disita setelah satu daur agar langsung di lakukan pemulihan dan jangan justru di legal kan menjadi perkebunan sawit permanen, "hal tersebut mengakibatkan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah sehingga kuasai dulu lalu hutankan kembali," sarannya.
Sementara secara terpisah, Praktisi Hukum Alhamran Ariawan SH MH juga menyikapi soal Perpres nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan dikhawatirkan memberi dampak buruk dan berdampak terhadap industri kelapa sawit nasional.
Alhamran Ariawan dalam penilaiannya saat dikontak ponselnya, Kamis menyebutkan, operasional di perkebunan kelapa sawit bisa terganggu, beban finansial membengkak, dan bisa terjadi PHK massal.
Dia menilai, kebijakan penetapan kawasan hutan kontraproduktif.
Saat ini kawasan hutan yang tidak menjadi hutan atau tanah terlantar dan semak belukar luasnya mencapai 31,84 juta ha. Sementara, yang menjadi dispute (permasalahan) antara kawasan hutan dan perkebunan hanya seluas 4,27 juta hektar, termasuk di dalamnya perkebunan sawit seluas 3,37 juta ha.
“Dengan proporsi antara lahan hutan yang terlantar dan lahan produktif perkebunan sawit yang tampak kecil itu (3,37 juta ha), mengapa yang menjadi fokus perhatian para penyusun peraturan justru lahan yang berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit saja,” tegasnya.
Padahal, menurut Alhamran Ariawan, jika seluruh luasan tersebut akan dihutankan, program pemerintah untuk Indonesia Emas 2045 terancam tidak akan jalan.
Ditengah pemberhentian pemberian izin baru untuk kelapa sawit (moratorium) dan stagnasi produksi yang sudah terjadi beberapa tahun ini tidak akan bisa memenuhi kebutuhan untuk program mandatori biodiesel dan hilirisasi lainnya.
“Dengan penetapan kawasan hutan ini potensi berkurangnya luasan lahan perkebunan kelapa sawit dan berimpas pada produksi nasional. Sedangkan untuk mewujudkan visi Indonesia emas sawit menjadi salah satu tulang punggung pertumbuhan perekonomian,” terangnya.
Sementara itu, Agus Suryoko, Kasi Gakkum Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau sekaligus Ketua Tim Substansi Penegakan Hukum Provinsi Riau, mengatakan informasi bahwa perubahan-perubahan status kawasan itu memang terjadi.
Di Provinsi Riau, misalnya, ada 1,83 juta ha lahan yang sudah terbangun kemudian ditetapkan sebagai kawasan yang masuk ke dalam kawasan hutan.
Di atas lahan tersebut sudah terbangun perkebunan, pertambangan dan usaha lainnya seperti tambak, pertanian bahkan permukiman penduduk.
Tetapi Alhamran Ariawan balik menyampaikan, Perpres No. 5 Tahun 2025 yang merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja, memang membawa semangat percepatan penyelesaian persoalan tumpang tindih kawasan hutan.
Meski demikian, regulasi ini juga memunculkan kekhawatiran akan potensi pengabaian prinsip-prinsip keadilan ekologis dan sosial yang telah ditegaskan dalam konstitusi, UU Cipta Kerja, putusan Mahkamah Konstitusi, serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
“Jadi tetap ada dampak Perpres ini, khususnya terhadap hak masyarakat sekitar hutan, status kawasan hutan, dan perlindungan ekosistem,” ujarnya.
Harus ada pemetaan persoalan yang komprehensif serta rekomendasi strategis untuk memperkuat tata kelola kawasan hutan yang lebih adil, partisipatif, dan berkelanjutan.
Dia setuju harus dibuat reformulasi kebijakan kehutanan yang lebih berpihak pada perlindungan lingkungan hidup serta penghormatan terhadap hak-hak masyarakat.
"Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dibentuk dalam situasi yang dianggap mendesak oleh pemerintah."
“Satgas ini diharapkan bisa menjadi booster untuk mendorong penyelesaian carut-marut kawasan hutan yang tumpang tindih dengan usaha lain seperti perkebunan dan pertambangan, yang selama 79 tahun belum pernah terselesaikan,” sebutnya.
Menurut Alhamran Ariawan, pembentukan Satgas PKH juga berkaitan dengan kebutuhan negara akan pemasukan untuk mendukung pembangunan nasional.
Dia menilai, jika langkah ini dipandang sebagai sebuah inovasi, sangat penting mendapat masukan dan penguatan dari berbagai pihak.
“Tujuan akhirnya tetap untuk kemakmuran rakyat. Tapi kita juga perlu mendorong kementerian dan lembaga terkait agar segera menyelesaikan sengketa produk hukum yang tumpang tindih, sehingga persoalan bisa diurai tanpa melanggar hak-hak masyarakat dan tetap menjaga iklim investasi,” jelasnya.
Tetapi hingga saat ini Satgas PKH telah memverifikasi total lahan seluas 620 ribu hektare. Dari jumlah tersebut, sebanyak 399 ribu hektare telah diproses, dan sekitar 221 ribu hektare telah diserahkan kepada PT Agrinas pada tahap pertama.
Pada tahap kedua, Satgas PKH merencanakan penyerahan tambahan seluas 216 ribu hektare kepada PT Agrinas, serta penguasaan kembali oleh negara atas lahan seluas 75 ribu hektare.
Rencana kerja tahap kedua ini akan difokuskan di enam provinsi, yakni Aceh, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur, dengan total luasan sasaran mencapai 1 juta hektare.
Alhamran Ariawan menilai, terbitnya Perpres No. 5 Tahun 2025 justru jangan pula menimbulkan keresahan di kalangan petani sawit, terutama mereka yang lahannya telah bersertifikat resmi.
Dia mencontohkan seperti petani sawit perusahaan rakyat yang dulu PIR Transmigrasi yang sudah bersertifikat, "sudah 30 tahun bersertifikat, eh malah, tahu-tahu ditunjuk jadi kawasan hutan. Nah, itu yang buat petani jantungan,” ujarnya.
Karena itu, Alhamran Ariawan berharap, dengan adanya UU Cipta Kerja dan Perpres No. 5 Tahun 2025, permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan baik, sehingga tidak menambah keresahan di kalangan petani, tetapi justru memberikan solusi yang mendorong kesejahteraan mereka.
“Apalagi, sesuai undang-undang adalah semua kekayaan bumi laut, itu adalah kemampuan rakyat. Jangan pula rakyat jadi tidak makmur lagi gara-gara peraturan-peraturan ini,” imbuh dia.
Menurutnya, Perpres Nomor 5 Tahun 2025 secara eksplisit menjadikan kawasan hutan sebagai objek utama penertiban.
Persoalan kawasan hutan tidak dapat dilepaskan dari sejarah penetapan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1982, yang saat itu berlaku untuk seluruh provinsi di Indonesia.
Padahal, sebelum peta TGHK tersebut diterbitkan, sudah ada peta-peta administrasi tanah yang lebih dulu digunakan masyarakat dan pemerintah daerah. Namun, justru dari peta TGHK inilah lahir dasar penetapan kawasan hutan secara nasional.
“Cuman masalahnya sekarang ini apa yang diamanatkan dalam TGHK itu tidak terselesaikan, ada diktum-diktum di dalam menentukan kawasan hutan itu sampai sekarang belum dijalankan. Artinya dijalan tapi belum bisa optimal,” kata dia.
Misalnya, kenapa hak-hak masyarakat tetap ada di sana yang tidak terselesaikan, malah menimbulkan konflik, karena sesungguhnya menentukan kawasan hutan itu sudah menjadi kawasan hutan atau belum, itu tidak serta-merta bisa diputuskan begitu saja, karena ini adalah produk administratif.
“Karena ini adalah produk administratif, maka langkah-langkah dalam menentukan kawasan hutan yang ditunjuk juga harus memperhatikan adanya tata batas. Misalnya, jika saya menunjuk seorang wanita dan mengatakan dia istri saya, apakah dia benar-benar istri saya hanya dengan pernyataan itu? Begitu juga dengan penunjukan tanah, jika saya menunjuk tanah tanpa tindak lanjut, padahal di situ sudah ada hukum lain yang berlaku. Maka, tata ruang sangat penting. Tata ruang ini adalah dasar yang harus melibatkan pemerintah daerah,” jelas dia.
Lebih lanjut, Alhamran Ariawan mengharapkan agar cara kerja Satgas PKH kali ini berbeda dari pendekatan yang diterapkan sebelumnya.
Dia menekankan perlunya mematuhi norma-norma dalam kehutanan dengan benar.
“Jika pengukuhan kawasan dilakukan, hak masyarakat yang terdampak harus diselesaikan terlebih dahulu. Contohnya, seperti yang dialami oleh Ketua Aspekpir dan pelaku usaha perkebunan lainnya, yang sudah menjalani transmigrasi dan diberikan hak atas tanah, namun kini tanah tersebut masuk dalam kawasan hutan."
"Lalu terhadap hak atas tanah seperti SHM, HGU, HGB mesti di-enclave yang harus diselesaikan, apalagi hak yang diberikan oleh pemerintah/ negara yang merupakan hak konstitusi bagi pemegang hak yang dijamin oleh UUD 1945 dan UUPA tahun 1960,“ jelasnya.
Benarkah Perpres penertiban kawasan hutan bisa jadi solusi atau bencana?
Awal tahun 2025 membawa tantangan serius bagi keberlanjutan hutan Indonesia. Setelah pada akhir 2024 Presiden menyatakan bahwa hutan dan sawit “sama-sama tumbuhan”, kebijakan pembukaan lahan 20 juta hektar untuk pangan dan energi maka disusul dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, yang menuai kekhawatiran luas.
Marganda Simamora melihat salah satu tujuan utama Perpres ini adalah mengoptimalkan penerimaan negara (Pasal 2 (1)).
Alur logikanya adalah tindakan penertiban pemanfaatan kawasan hutan untuk mengoptimalkan sumber pendapatan negara.
Aturan denda administratif yang menjadi salah satu fokus Perpres ini juga dapat diartikan sebagai langkah untuk memonetisasi pelanggaran.
Di tengah situasi konflik tata batas kawasan hutan, ketidakpastian hukum, dan ketimpangan akses menjadi isu kronis, apakah Perpres ini mampu menjawab tantangan tersebut, atau justru memperparah situasi? Dalam lima tahun terakhir saja, terdapat 9.124 konflik pertanahan yang terkait dengan transmigrasi, perkebunan, dan kawasan hutan.
Legal but not legitimate, adalah salah satu yang diutarakannya ketika membicarakan akar masalah konflik tenurial di dalam dan sekitar kawasan hutan.
"Proses pengukuhan kawasan hutan yang tampak “legal” di atas kertas tidak serta-merta diakui oleh masyarakat sebagai “legitimasi” jika langkah-langkahnya mengabaikan partisipasi publik."
"Pada tahun 2023, pengukuhan kawasan hutan di atas kertas telah mencapai 99,6 juta hektar, dengan panjang batas yang telah ditata mencapai 332.184 km (88,88% dari total panjang batas kawasan hutan)."
"Meskipun ini tampak sebagai progres positif di atas kertas, kenyataannya konflik agraria justru meningkat, mengindikasikan bahwa pengukuhan ini lebih fokus pada formalitas administratif daripada penyelesaian masalah di lapangan," sebut Ganda Mora, nama sehari-harinya ini.
Menurutnya, secara teori, hal ini bisa menjadi landasan untuk penyelesaian konflik di lapangan. Namun, karena proses pengukuhan kerap dilakukan tanpa keterlibatan masyarakat dan lebih menekankan pencapaian target administratif (panjang kilometer), legitimasi proses ini diragukan.
Selain itu, bahwa banyak konflik tata batas berakar pada perbedaan persepsi antara masyarakat lokal dan pihak yang melakukan pengukuhan, yang sering kali dipaksakan tanpa solusi konkret terhadap masalah di lapangan.
Dari 3,4 juta hektar perkebunan sawit yang berada dalam kawasan hutan, maka baru 576.983 hektar yang sedang dalam proses pelepasan kawasan hutan.
Ketimpangan ini mencerminkan bahwa proses pengukuhan kawasan hutan lebih berfokus pada angka administratif tanpa mencerminkan kondisi sosial dan ekologi di lapangan, yang pada akhirnya memperburuk konflik struktural yang mendasarinya.
Angka ini juga, kata dia, mengindikasikan bahwa banyak pelaku usaha besar memiliki pengaruh yang cukup besar untuk tetap beroperasi di kawasan yang status hukumnya tidak jelas, sementara masyarakat adat dan lokal sering kali menjadi pihak yang dikorbankan.
"Kondisi ini diperparah oleh fakta bahwa proses pengukuhan sering dilakukan secara sepihak tanpa dialog transparan dengan masyarakat terdampak, memperkuat persepsi bahwa kebijakan ini hanya berpihak pada aktor-aktor besar dengan akses politik dan ekonomi."
Dengan situasi ini, kehadiran Perpres No. 5 Tahun 2025 lebih terlihat sebagai alat yang berpotensi memperkuat ketidakadilan struktural dalam tata kelola kehutanan.
Menurutnya, penertiban kawasan hutan tanpa mempertimbangkan keberadaan Masyarakat Adat berisiko melanggar hak asasi mereka, memperkuat marginalisasi yang telah lama mereka alami, dan menciptakan ketimpangan baru dalam pengelolaan sumber daya alam.
Penertiban seperti yang diamanatkan Perpres ini dapat menyebabkan penggusuran masyarakat adat tanpa penyelesaian konflik yang adil. Selain itu, proses tata batas sering kali tidak melibatkan masyarakat lokal secara partisipatif.
"Di Riau, banyak masyarakat yang telah lama mendiami kawasan hutan, tedtapi tidak memahami bahwa tanah yang mereka kelola dianggap sebagai kawasan hutan negara secara formal. Hal ini sering kali menjadi akar konflik tenurial yang berlarut-larut," sebutnya.
Jadi Perpres No. 5 Tahun 2025 itu, kata Ganda lagi, memperlihatkan ambisi besar pemerintah dalam menertibkan kawasan hutan, tetapi ia hadir dalam lanskap hukum dan sosial yang kompleks.
Proses tata batas kawasan yang minim partisipasi publik menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan hutan sering kali dilakukan tanpa memperhatikan masukan dan keterlibatan masyarakat lokal. Akibatnya, konflik tenurial terus meningkat, terutama di wilayah yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan.
"Pengabaian dialog transparan itu tidak hanya memperburuk hubungan antara pemerintah dan masyarakat, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum yang memicu sengketa agraria yang berlarut-larut. Di sisi lain, absennya perlindungan eksplisit terhadap hak Masyarakat Adat semakin menegaskan kurangnya keberpihakan kebijakan ini terhadap keadilan sosial," sebutnya.
Jadi Ganda Mora menyimpulkan, Indonesia membutuhkan kebijakan yang tidak hanya berorientasi pada penerimaan negara, tetapi juga memperhatikan keseimbangan antara ekonomi, ekologi, dan hak-hak Masyarakat Adat. Perpres itu harus menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola hutan secara inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan. (*)
Tags : kawasan hutan, perpres, One Map Policy, regulasi, ilegal, konflik, sanksi administrasi, transmigrasi, peta, lingkungan, alam, hutan riau,