"Ditengah pandemi ada indikasi pers kembali dibungkam bahkan ditengah era keterbukaan pers ingin dikotak-kotak"
PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Penilaian era keterbukaan seperti saat ini mengutip disebutkan Sekretaris Jenderal Jaringan Serikat Media Siber Indonesia (JMSI) Mahmud Marhaba menilai Pers tidak dapat dikooptasi oleh kepentingan dari pihak manapun untuk mengabarkan fakta dan kebenaran.
Akan menjadi sia-sia jika ada pihak-pihak yang ingin membungkam kebebasan pers, termasuk pemilik modal sekalipun. Dengan catatan, regulasi hingga kontrol dari meja redaksi berjalan dengan baik sesuai koridor dan kode etik jurnalistik.
"Sekali lagi, pers tidak bisa dikekang, ditekan, apalagi pers diancam untuk membungkam sebuah kebenaran. Ini tidak bisa dilakukan di zaman sekarang ini. Barangkali kita lebih memikirkan kedepan dengan regulasi yang lebih kuat lagi terkait dengan pemilik modal dan juga redaksi," kata Sekretaris Jenderal Jaringan Serikat Media Siber Indonesia (JMSI) Mahmud Marhaba, saat menjadi narasumber dalam doa serial DN-PIM bertajuk "Masihkah Pers Berkontribusi Bagi Perkembangan Demokrasi Di Indonesia", Selasa (1/9) kemarin.
Menurut Mahmud, apabila meja redaksi memiliki basic kuat dan melakukan kontrol terhadap pihak manapun untuk menghasilkan karya otentik jurnalistik maka ancaman dan intervensi dari pihak manapun tidak akan mempan. "Kalau regulasi kuat dilakukan tentunya apa yang kita pikirkan bersama, sehingga kontrol yang dilakukan oleh redaksi itu akan berjalan dengan baik. Dengan juga pihak pemodal tidak akan melakukan tekanan-tekanan intervensi yang begitu kuat kepada pihak redaksi," tegasnya.
JMSI mengimbau kepada seluruh insan pers untuk menjaga kualitas literasi dan etika jurnalistik agar meja-meja redaksi di seluruh pelosok negeri dapat menjaga integritas dan kualitas jurnalistiknya. "Itu sudah ditegaskan di dalam UU Pers, pemodal pun tidak akan mampu melakukan intervensi karena redaksi akan berekspresi terhadap hasil karya jurnalistiknya. Saya pikir itu yang perlu ditekankan," pungkasnya dalam diskusi secara virtual dihadiri anggota Dewan Kehormatan Dewan Pers Ihlam Bintang, Ketua DN-PIM yang juga Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin, anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera, jurnalis senior dan praktisi media serta dosen pakar komunikasi pun turut meramaikan diskusi tersebut.
Organisasi pers menolak pergub
Namun tak sejalan apa yang sudah dibahas dan didiskusikan tentang indikasi pers kembali dibungkam bahkan ditengah era keterbukaan pers yang ingin dikotak-kotak itu justru terjadi di Riau.
Sejumlah besar organsiasi Pers di Pekanbaru, Riau seperti Dewan Pimpinan Daerah Serikat Pers Republik Indonesia (DPD SPRI - Provinsi Riau), Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI), Perkumpulan Wartawan Republik Indonesia (PWRI), PJI Demokrasi, Aliansi Pewarta Pertanian Indonesia (APPI) dan Jurnalis Online Indonesia (JOIN) Solidaritas Pers Indonesia (SPI) sepakat menolak Peraturan Gubernur Riau Nomor 19 Tahun 2021 karena dinilai sarat dengan kejanggalan dan tidak sesuai dengan UU Pokok Pers, Kamis 17 Juni 2021.
Dalam sebuah pertemuan enam organisasi Pers di tingkat DPD Riau, di luar konstituen Dewan Pers ini, memperjuangkan Kemerdekaan Pers sebagaimana yang menjadi latar belakang pembentukan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Ini berawal dari adanya Peraturan Gubernur Riau Nomor 19/2021 yang kami nilai sangat bertentangan dengan nilai-nilai Kemerdekaan Pers, khususnya soal Perusahaan Pers dan Wartawan, yang oleh Pergub itu ada pasal dan ayat yang memberikan stikmanisasi negatif pada perusahaan Pers dan Wartawan, serta bertentangan dengan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni UU Pers," sebut Feri Sibarani STP, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Serikat Pers Republik Indonesia (DPD SPRI - Provinsi Riau) sepeti dirilis detakindonesia, Kamis.
Dia mengaku telah mencium adanya konspirasi pihak tertentu di balik Pergub tersebut, karena menurutnya pencantuman ketentuan kriteria Perusahaan Pers dan Wartawan dalam Pergub tersebut dinilai tanpa dasar hukum sebagai rujukan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Tiga poin dalam ayat (3) pasal 15 itu adalah poin siluman, apa yang menjadi dasar pijakannya? Kan tidak ada, artinya Gubernur Riau mengarang? Kan tidak mungkin juga, lantas dasar parameternya apa ? Siapa yang menitipkan poin-poin itu ? Bukan tidak mungkin ini konspirasi untuk praktik monopoli dana publikasi di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau," imbuhnya.
Ketua DPD Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) juga menilai peraturan Gubernur Riau yang sangat tidak pro dengan demokrasi itu sebenarnya sudah menciderai prinsip Kemerdekaan Pers, yang secara jelas diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU Pokok Pers. "Isi pasal 2 ayat (1) sangat jelas amanatnya, yaitu Kemerdekaan Pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip - prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi pers," ujarnya.
Begitupun Ketua PJI Demokrasi, Jetro Sibarani SH MH pada keterangan persnya kemarin di Pekanbaru mengatakan, bahwa Pergub tersebut sesungguhnya layak digugat karena mengindikasikan beberapa kejanggalan dalam prinsip pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Bagi saya yang terpenting di sini adalah soal unsur formal dan materiil dalam Pergub ini, dari sisi formalitas saja Pergub ini perlu dipertanyakan, sebab manakala Pergub tersebut menyinggung soal Dunia Pers, khususnya terkait penentuan kriteria Perusahaan Pers dan Kriteria Wartawan, maka Pergub ini masuk pada meteriil UU Pokok Pers Nomor 40/1999 tentang Pers, artinya, Pergub ini memasuki ranah lain, yang sudah memiliki payung hukum sendiri, yaitu UU Pokok Pers. Ini saja sudah polemik secara aturan hukum," sebut Jetro.
Sedangkan Ketua DPD Aliansi Pewarta Pertanian Indonesia (APPI) Riau, Romi, dengan tegas mengatakan Peraturan Gubernur Riau yang sudah terjebak ke dalam stikmanisasi pihak lain soal Perusahaan Pers dan Wartawan, maka Gubernur Riau menjadi tokoh sentral yang harus mempertanggungjawabkan isi Pergub itu, terkait poin (b) (c) dan (h) Pasal 15, yang disebutnya bertendensi melecehkan profesi wartawan.
"Dengan penentuan kriteria yang tidak sesuai dengan aturan dalam UU Pers terhadap Perusahaan Pers dan Wartawan, maka ini berkonotasi melecehkan perusahaan Pers dan Wartawan itu sendiri, sebab secara aturan Negara berdasarkan Undang-undang, Perusahaan Pers sudah sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam pasal 1 ayat (2) begitu pula dengan Wartawan telah dipersyaratkan dalam pasal 1 ayat (4) UU Pokok Pers," kata Romi.
Ketua Jurnalis Online Indonesia (JOIN), Riswan Nduru juga mengomentari soal Pergub yang bertujuan menyeleksi media dan wartawan untuk turut menyebarluaskan informasi di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau itu. Kebijakan Gubernur Riau itu sangat bertentangan dengan prinsip Demokrasi dan Kebebasan Pers, dan disebutkannya, Pergub tidak ada wewenangnya dalam menentukan kriteria Perusahaan Pers dan Wartawan, apalagi dasar penentuan itu tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
"Sejak kapan Peraturan Gubernur mengatur rumah tangga Pers dan Wartawan? Apakah Gubernur Riau Drs H Syamsuar MSi sudah benar-benar mengkaji Pergub tersebut dengan matang? Apa dasar penentuan itu? Bolehkah seorang Gubernur sembarangan melabelisasi perusahaan Pers dan Wartawan tanpa rujukan aturan yang jelas dan pasti?. Kita bersatu melawan kesewenang-wenangan ini," sebut Riswan.
Sedangkan dari Solidaritas Pers Indonesia (SPI), tak ketinggalan dengan pandangannya atas adanya poin-poin dalam Peraturan Gubernur Riau yang telah melemahkan peran dan keikut sertaan Pers dan Wartawan dalam tugas menyebarluaskan informasi Penyelenggaraan Pemerintahan di Lingkungan Pemprov Riau.
Praktisi hukum Riau, Dr Yudi Krismen SH MH atas gejolak sosial di kalangan Pers Riau ini, menyampaikan analisisnya dengan mengatakan harusnya Gubernur Riau tak ikut campur masalah internal Pers, karena sudah diatur oleh UU Pokok Pers No. 40/1999. Pasal 9 UU Pokok Pers Nomor 40/1999 menyebutkan bahwa setiap Warga Negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan Pers.
"Jadi ada kebebasan dalam penyampaian pendapat dalam negara demokrasi, dengan diberikan kebebasan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menyalurkan aspirasi mereka, berdasarkan Badan Hukum. Dalam ayat 2 di jelaskan bahwa Setiap perusahaan Pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Mengacu kepada Badan Hukum sudah ada UU Perseroan Terbatas," terangnya kepada media.
Terkait kewenangan Dewan Pers dalam pasal 15 huruf G UU No. 40/1999 tentang Pers, menjelaskan bahwa mendata perusahaan Pers dan bukan verifikasi perusahaan Pers sebagaimana yang dilakukan Dewan Pers sekarang ini. Kalau mau melakukan verifikasi, tentu seharusnya dilakukan perubahan terhadap pasal 15 huruf G dimaksud diatas.
Ada perbedaan penafsiran dari kata mendata dengan verifikasi. Menurut KBBI mendata itu adalah melakukan pendataan, sedangkan verifikasi di KBBI adalah pemeriksaan tentang kebenaran laporan, pernyataan, penghitungan uang, dan sebagainya. Penafsiran dengan hukum digunakan sebagai cara penemuan hukum.
"Yaitu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks Undang-Undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna Undang-Undang, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya.
Gubernur jangan ikut campur dalam urusan internal Pers dengan membuat Pergub, naifnya lagi Pergub dibuat hanya untuk mengurus masalah bagi bagi rezeki proyek Pers, ini sangat disayangkan," tutup Dr YK.
Apa kata Dewan Pers?
Menanggapi maraknya permintaan pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten dan kota se-Indonesia terkait verifikasi Dewan Pers sebagai syarat kerjasama dengan instansi tersebut, Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh menyatakan bahwa Dewan Pers tidak pernah meminta verifikasi media menjadi syarat kerjasama dengan Pemerintah Daerah.
Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh
Dewan Pers tidak pernah mempermasalahkan media yang belum terfaktual selama media tersebut telah berbadan hukum. Pernyataan Ketua Dewan Pers, Mohammad Nuh itu disampaikan kepada media dalam diskusi dengan beberapa Pimpinan Media Cetak, elektronik maupun siber di Hotel Ratna Inn, Banjarmasin, dalam rangkaian kegiatan Hari Pers Nasional (HPN) 2020.
Nuh menepis jika media melakukan kerjasama dengan Pemda harus yang terverifikasi oleh Dewan Pers.“Dewan Pers tidak pernah meminta pemerintah daerah (Pemda) untuk tidak bekerjasama dengan perusahaan media yang belum terfaktual oleh Dewan Pers,” tegas Nuh.
”Tidak menjadi masalah setiap media melakukan kerjasama dengan Pemda meski media tersebut belum terverifikasi Dewan Pers selama media tersebut telah berbadan hukum,” tambah Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Ch. Bangun.
Henry juga menyebutkan Dewan Pers tidak pernah “Mengeluarkan Surat” yang menyatakan bahwa media yang boleh bermitra dengan pemerintah itu harus terverifikasi. Tidak ada surat itu. Terpenting bagi Dewan Pers, perusahaan media itu harus sudah berbadan hukum sesuai Undang-Undang Pers. “Itu saja sebenarnya sudah cukup. Tidak perlu harus terverifikasi,” tandas Hendry.
Menanggapi pernyataan Ketua Dewan Pers tersebut secara terpisah, Ketua PWI Sulut Vocke Lontaan didamping Sekretarisnya Jemmy ‘Bugsy’ Saroinsong menyatakan dengan adanya pernyataan Ketua Dewan Pers, Muhammad Nuh, tidak perlu lagi menjadi kendala bagi media untuk bekerjasama secara profesional dengan Pemerintah Daerah di Sulut bahkan dengan Pemerintah Pusat.
Bahkan Ketua Dewan Kehormatan PWI Sulut Fanny Waworundeng pun menambahkan, hal yang penting media tersebut Berbadan Hukum. Namun demikian menurut Waworundeng kerjasama dengan Pemda tidak membuat daya kritis media untuk menyampaikan berita yang kritis, profesional dan konstruktif. (*)
Tags : Pergub Nomor 19/2021, Organisasi Pers Keberatan dengan Pergub Riau, Dewan Pers Mengaku Tak Pernah Minta Verifikasi Media,