"Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) bekas warisan PT Chevron Pasifik Indonesia (CPI) masih disesalkan, pasalnya untuk pengelolaan dan pemulihan dinilai tak transparan"
ihak PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) dipersalahkan oleh Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI) yang tak juga memberi keterangan atas Surat Elektronik Nomor 092/LPPHI-III/2022, termasuk lah itu perusahaan mana nantinya untuk mengelola dalam pemulihan limbah beracun.
Sebelumnya LPPHI telah menyampaikan pada 11 Maret 2022 lalu kepada VP SCM (Supply Chain Management) PHR perihal mohon konfirmasi dan informasi. Namun pada batas waktu 17 Maret 2022, tidak ada jawaban. Maka pada 18 Maret 2022, LPPHI merilis berita terkait pengelolaan limbah ini.
Masyarakat Riau terus dilanda kekhawatiran terhadap limbah beracun bekas warisan CPI yang pernah beroperasi dalam pengelolaan minyak dan gas selama puluhan tahun.
Limbah tercurah bahkan berimbas pada lahan-lahan pemukiman dan pertanian penduduk berujung dilaporkan ke pihak Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau terkait aktivitas penambangan minyak mentah yang dilakukan perusahaan pertambangan.
Kegiatan CPI disebutkan telah menyebabkan dampak lingkungan serius yakni merusak dan mencemari lingkungan sekitar yang bersempadan langsung dengan lahan masyarakat.
"Persoalan yang dilaporkan masyarakat itu sudah berlangsung lama, lebih dari 15 tahun. Namun ternyata sampai kini CPI belum punya itikad baik menyelesaikan tanggung jawabnya," kata Kepala DLHK Riau melalui Kepala Seksi Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa, Dwiyana, menyikapi berbagai aduan masyarakat tentang limbah B3 perusahaan di depan media belum lama ini.
Pihaknya membenarkan, memang sudah ditemukan sejumlah fakta dan bukti otentik terjadinya sengketa lingkungan antara CPI dan masyarakat yang terdampak.
"Akibat ketidaktaatan dan praktik pertambangan yang tidak baik dan sengaja dilakukan oleh pihak-pihak pelaksana di lapangan."
Aktivitas pengeboran minyak mentah CPI berdampak serius pada lahan warga seperti pada lokasi di salah satu kawasan di Kabupaten Siak. Lahan masyarakat yang tercemar berada di areal kebun sawit tampak tertutup cairan berwarna hitam pekat yang ditenggarai adalah tumpahan minyak mentah.
Ada banyak pengaduan masyarakat pada terhadap dampak aktivitas CPI yang diterima pihak DLHK Riau yang berakhir menjadi objek sengketa lingkungan hidup di tahun 2021 kemarin.
"Tetapi dari beberapa kesimpulan pokok itu bisa ditarik setelah dilakukan verifikasi menyeluruh baik dari hasil penjauan lapangan maupun dari konfirmasi dan verifikasi dengan banyak pihak di lapangan," kata Dwiyana menilai.
Dia menyimpulkan; pertama memang telah terjadi sengketa lingkungan hidup akibat terkontaminasi minyak bumi, kedua CPI belum menyelesaikan ganti rugi terhadap masyarakat yang mengalami kerugian, ketiga CPI belum menerapkan ganti rugi Lingkungan Hidup, dan keempat CPI sengaja tidak melaksanakan pemulihan fungsi lingkungan hidup dan atau tindakan tertentu di wilayah kerjanya dan atau pada kawasan hutan yang terkontaminasi minyak bumi.
Lebih dari 332 masyarakat lahannya tercemar akibat kegiatan CPI, "sudah dilaksanakan verfikasi administrasi dan sebagian besar sudah diverifikasi lapangan," ungkapnya.
Pihak DLHK Riau juga melontarkan pasal 87 dan pasal 85 UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, antara lain : bentuk dan besaran ganti rugi, tindakan pemulihan fungsi lingkungan hidup dan tindakan tertentu untuk mencegah terjadinya/terulangnya pencemaran lingkungan hidup.
Tetapi sebagian masyarakat sudah mendapatkan kompensasi, namun lahan yang tercemar limbah B3 belum dipulihkan, sehingga persoalan belum selesai.
"Pencemaran limbah B3 pada lahan masyarakat akan terus berlangsung dan berdampak negatif pada lingkungan kemudian berpotensi semakin meluas dan akan berdampak pada kesehatan manusia," terang Dwiyana.
Pihak DLHK Riau dalam menyikapi tentag pemulihan fungsi lingkungan hidup akibat terkontaminasi limbah B3 tetap berpedoman pada permen LHK No. P.101/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2018 tentang pedoman pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3, serta mempedomani PP 101 Tahun 2014 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (LB3).
Pengelolaan limbah belum transparan
Pertamina Hulu Rokan yang menerima pengalihan pengelolaan migas dari CPI juga dinilai LPPHI belum transparan memilih perusahaan untuk melakukan pengelolaan dan pemulihan limbah B3 ini.
Direksi PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) tak memberi keterangan atas Surat Elektronik Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI) Nomor 092/LPPHI-III/2022.
Melalui surat itu, LPPHI antara lain telah menyampaikan pada 11 Maret 2022 lalu kepada VP SCM (Supply Chain Management) PHR perihal mohon konfirmasi dan informasi. Namun pada batas waktu 17 Maret 2022, tidak ada jawaban. Maka pada 18 Maret 2022, LPPHI merilis berita terkait.
Kemudian, LPPHI mendapat informasi terbaru, bahwa SCM PHR pada 28 Januari 2022 telah mengundang 29 perusahan untuk mengisi RFI (Request for Information) terkait rencana PHR akan memilih perusahan untuk melaksanakan kegiatan pemulihan limbah TTM B3 yang merupakan warisan CPI di Blok Rokan. Direksi PHR tidak menjawab apakah informasi itu benar atau tidak.
LPPHI juga menanyakan mengapa banyak perusahan yang punya pengalaman pemulihan limbah TTM B3 tidak diundang. Hal ini juga tidak dijawab Direksi PHR.
Lebih lanjut dalam surat elektronik tersebut, LPPHI mempertanyakan adanya informasi bahwa dari 29 perusahan yang telah diundang, hanya 17 perusahaan yang merespon dengan mengisi 10 butir dari RFI, akan tetapi di antaranya hanya 12 perusahaan yang memenuhi syarat. Direksi PHR tidak memberikan keterangan lebih lanjut.
LPPHI juga menanyakan apakah benar 12 Perusahan tersebut adalah PT Adhi Karya, P. Andalas Karya Mulya, PT Geopatra Solusindo Energy Pratama, PT Hutama Karya, PT Nasional Hijau Lestari, PT Pembangunan Perumahan, PT PPLI, PT Rifansi Dwi Putra, PT Solusi Bangun Indonesia, PT Wastec International, PT Pertamina Patra Niaga dan PT Tenang Jaya Sejahtera? Sejauh ini Direksi PHR juga tidak memberikan jawaban.
LPPHI juga menanyakan kebenaran informasi yang mengatakan bahwa dari 12 perusahan yang memenuhi syarat RFI menurut PHR, mengapa hanya tiga perusahan saja yang pernah punya pengalaman pemulihan limbah TTM, yaitu PT PPLI dan PT Terang Jaya Sejahtera serta PT Solusi Bangun Indonesia?
Sebagian besar yang lulus justru adalah perusahan jasa konstruksi yang hanya memiliki peralatan alat berat tetapi tidak punya kemampuan mengolah limbah TTM B3. Direksi PHR juga tak menjawab mengenai hal ini.
LPPHI juga bertanya apakah hasil RFI terkait dengan kemampuan dasar perusahaan berdasarkan pengalaman sejenis pemulihan limbah TTM B3 sudah sesuai dengan PTK 007 Revisi 4 dan apakah terhadap semua limbah TTM di Blok Rokan akan dipulihkan hanya dengan metode bioremediasi saja?
Sehingga, pengaturan RFI patut diduga untuk menyingkirkan perusahaan yang memang tidak mau dipilih.
Selain itu, LPPHI juga menanyakan apakah metode pemulihan limbah TTM di blok Rokan—mengacu pada Permen LHK nomor 6 tahun 2020, sebab menurut LPPHI, jika membaca RFI Jasa Pemulihan Lahan Terkontaminasi Minyak tersebut, gambaran lingkup jasa pemulihan itu meliputi:
Manajemen Proyek, Delineasi, Pembebasan Lahan, Penyusunan Dokumen RPFLH (Rencana Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup), Rekayasa Engineering, Pengurusan Perijinan, Penyedian Borrow Pit, Pengelolaan Limbah B3 (penggalian, transportasi, dan pengolahan), penyediaan alat berat untuk operasi limbah B3, remediasi limbah B3 insitu, Pengambilan sampel dan Analisis laboratorium, penyusunan verifikasi lapangan KLHK dan pengelolaan dan pengolahan lanjutan paska dibuatnya SSPLT (Surat Selesai Pemulihan Lahan Terkontaminasi).
LPPHI juga menanyakan apakah selama ini jumlah limbah TTM belum pernah dilakukan deliniasi oleh CPI dan apakah dari hasil audit lingkungan yang sudah pernah dilakukan Kementerian LHK, jumlah limbah TTM tidak berdasarkan hasil delianiasi?
Sebab, dalam HoA antara CPI dengan SKK Migas disebut jumlah limbah TTM sekitar 6,1 juta metrik ton, dan atas dasar itulah kemudian CPI menyerahkan dana sebagai kewajibannya berdasarkan split bagi hasil antara CPI dengan Negara ke escrow account SKKMigas.
LPPHI juga mempertanyakan, penyusunan RPFLH menjadi tanggung jawab PHR yang juga harus meminta persetujuan KLHK tentang pengunaan metode pemulihan limbah TTM, dan bukankah setelah mendapat persetujuan RPFLH dari KLHK, baru kemudian PHR mengajukan persetujuan anggaran dari SKK Migas?
LPPHI juga menanyakan apakah benar informasi yang beredar bahwa adanya campur tangan oknum salah satu perusahan terhadap pembuatan RFI itu, oknum itu disebut berasal dari sebuah perusahan yang sejak awal akan ditunjuk sebagai pelaksana pemulihan limbah TTM ini? Direksi PHR juga tidak memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.
Dalam surat tersebut, LPPHI telah menyatakann bahwa jika pertanyaan informasi dan konfirmasi itu tidak dijawab pada batas waktu surat tersebut, maka LPPHI menganggap PHR membenarkan semua isi surat LPPHI tanggal 11 Maret 2022 dan surat tanggal 21 Maret 2021.
Chevron janji bersihkan limbah
Sejak tahun 2010, salah satu kewajiban CPI sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang memiliki dokumen lingkungan antara lain melaksanakan audit lingkungan hidup.
Paling tidak sejak tahun 2014 CPI seharusnya sudah melakukan audit lingkungan setiap 5 tahun, tapi masyarakat dan pihak-pihak terkait tidak pernah melihat atau mendengar ada pengumuman pelaksanaan audit lingkungan hidup ini.
Pada sebelumnya CPI menyatakan komit untuk melakukan pemulihan tanah sisa produksi berupa tanah terkontaminasi minyak, yang tergolong limbah bahan sebelum masa kontrak beroperasi berakhir di Blok Rokan, Provinsi Riau pada 2021 kemarin.
"Sebagai operator dari Kontrak Kerja Sama dengan satuan pemerintah Indonesia kami patuh sesuai kontrak bagi hasil. CPI juga berkomitmen untuk menjalankan operasi minyak dan gas yang selamat, andal dan bertanggung jawab terhadap lingkungan," kata Manager Corporate Communication CPI Sonitha Poernomo pada media kemarin.
Sonitha Poernomo menjelaskan CPI telah beroperasi sebagai kontraktor Pemerintah Indonesia melalui Kontrak Kerja Sama dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas.
Karenanya sebagai bagian dari kegiatan operasi migas sesuai KKS Rokan, CPI melakukan kegiatan pemulihan tanah terkontaminasi minyak bumi yang dilakukan sesuai arahan dan disetujui oleh SKK Migas dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK, sebagai perwakilan Pemerintah Indonesia.
Bahkan data CPI, untuk Riau telah mengeluarkan biaya pengelolaan tanah terkontaminasi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) sebesar 3.200.483 dolar AS.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM yang dihimpun Antara di Jakarta, Selasa, selain pengelolaan tanah terkontaminasi, CPI juga mengeluarkan biaya 1.436.817 dolar AS untuk limbah sisa operasi B3.
"Sebagai pembuat kebijakan program pemerintah, KLHK dan SKK Migas memberikan persetujuan pada lokasi-lokasi yang akan dibersihkan, kriteria keberhasilan, metodologi, dan teknologi yang akan digunakan, serta pengembalian biaya untuk program pemulihan," tutur dia.
Ia menambahkan CPI telah menjadikan pemulihan lahan karena operasi masa lalu sebagai bagian dari operasi. Juga telah merekomendasikan penggunaan praktik pemulihan terbaik di dunia.
"CPI telah mengajukan metode-metode dan teknologi tambahan guna meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya dan mempercepat upaya pembersihan," pungkasnya.
Tanah terkontaminasi minyak bumi merupakan lahan yang terkena tumpahan, ceceran atau kebocoran penimbunan limbah minyak bumi yang tidak sesuai dengan persyaratan dari kegiatan operasional sebelumnya, berdasarkan Kepmen LH N0.128/2003.
Pada tahun 2015 sampai 2018 menurut road map terdapat 125 lokasi yang terkontaminasi, 89 lokasi telah diselesaikan. Sedangkan lokasi di luar roadmap yang membutuhkan Rencana Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup (RPLFH) sebanyak 304 lokasi.
Sepanjang tahun 2018 terdapat limbah sisa produksi migas yang tergolong bahan berbahaya dan beracun (B3) sebanyak 33.128,7 ton.
Sorotan lembaga swadaya masyarakat
Masyarakat pun tak pernah mendengar peringkat CPI dalam Proper (Program Penilaian peringkat kinerja dalam pengelolaan lingkungan).
"Mungkin karena CPI tidak jelas mendapat peringkat nilainya alias abu-abu, apakah mendapat nilai abu-abu antara hitam dengan merah, atau abu-abu antara hijau dengan Emas," kata H Darmawi Wardhana Zalik Aris, Ketua Lembaga Melayu Riau (LMR) menyikapi perusahaan asing (AS) yang pernah berabad-abad bercokol di Riau itu.
Menurutnya, keabu-abuan peringkat proper CPI diduga karena saat periode penilaian, ada ketidaktaan CPI dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atau mungkin karena perusahaan itu sedang mendapat sanksi.
Sejak tahun 2010, salah satu kewajiban CPI sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang memiliki dokumen lingkungan antara lain melaksanakan audit lingkungan hidup. Paling tidak sejak tahun 2014 CPI seharusnya sudah melakukan audit lingkungan setiap 5 tahun, tapi masyarakat dan pihak-pihak terkait tidak pernah melihat atau mendengar ada pengumuman pelaksanaan audit LH tersebut.
"Audit lingkungan hidup setiap 5 tahun sekali diwajibkan terhadap usaha atau kegiatan pertambangan minyak Bumi dengan kriteria produksi 10.000 BOPD ke atas, karena usaha tersebut beresiko tinggi terhadap lingkungan hidup, dan atau kegiatan/usaha yang menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup," sebutnya.
Dia juga mempertanyakan peran SKK Migas, karena anggaran dan kegiatan KKKS selalu dan harus mendapatkan persetujuan SKK MIGAS.
Sejauh mana pengawasan yang dilakukan SKK Migas kepada KKKS?
Pelaksanaan audit lingkungan hidup CPI tahun 2020 juga dipertanyakan, kenapa baru dilaksanakan, tujuan audit nya apa, ruang lingkup dan batasan auditnya apa, metode pelaksanaan audit bagaimana, tidak pernah ada pengumuman dan pemberitahuan kepada stakeholder di daerah dan masyarakat yang terdampak kegiatan CPI ini.
"Audit LH CPI tersebut tidak meliputi lahan lahan masyarakat yang tercemar limbah B3. Sehingga apapun rekomendasi dari pelaksanaan audit LH tersebut tidak bisa dijadikan acuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup antara masyarakat dengan CPI.
Menurutnya, sejak 2017 CPI telah diperintahkan oleh KLHK untuk melaksanakan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 pada 132 lokasi. Namun di luar itu masih banyak lokasi lahan masyarakat yang tercemar limbah B3 CPI yang belum dipulihkan, "lebih dari 300 lokasi dan saya yakin 100% jumlah ini masih akan terus bertambah," katanya.
Kenapa PT CPI diperintahkan KLHK melakukan pemulihan lahan terkontaminasi minyak bumi?
"Ini sudah diketahui secara jelas dan akurat CPI lah pihak yang bertanggung jawab mutlak karena telah melakukan pencemaran limbah B3 pada lokasi-lokasi tersebut," jawab Darmawi.
UU No 4 tahun 1982 tentang ketentuan ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup, UU No 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. UU No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup juncto UU No 11 TAHUN 2020 tentang cipta kerja.
"Disini jelas dinyatakan barang siapa merusak atau mencemarkan lingkungan hidup, memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti rugi kerugian kepada penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dan wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup," terangnya.
Dalam Permen LHK 101/2018 tentang Pemulihan Lahan terkontaminasi Limbah B3, Pemerintah sesuai kewenangannya melakukan pemulihan lahan terkontaminasi Limbah B3 apabila tidak diketahui pihak yang melakukan pencemaran.
Namun apabila kemudian pihak yang bertanggung jawab diketahui, pemerintah sesuai kewenanganya membebankan penggantian atas setiap biaya yang dikeluarkan dalam pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 kepada pihak yang bertanggung jawab.
"Biaya pengelolaan lingkungan termasuk pemulihan lingkungan merupakan bagian dari biaya operasi dalam cost recovery itu benar. Tapi itu dalam kondisi normal, yaitu biaya pengelolaan lingkungan hidup dan pemulihan pada fasilitas produksi sampai dengan pengiriman minyak Bumi ke pelabuhan," kata dia.
Wilayah Kerja Blok Rokan adalah dalam kondisi abnormal dimana pencemaran limbah B3 terjadi di kawasan hutan, lahan masyarakat dan sempadan sungai. KKKS melakukan perbuatan melawan hukum, melanggar kewajiban, melakukan kesalahan, tentu KKKS punya tanggungjawab mutlak untuk mengganti kerugian masyarakat dan lingkungan hidup serta bertanggung jawab melakukan pemulihan.
Tetapi selama ini biaya pemulihan akibat pencemaran yang dilakukan CPI ditanggung oleh negara melalui pengembalian dana cost recovery yang disetujui oleh SKK Migas, "kondisi ini tentunya akan mengurangi nilai DBH Migasyang diterima provinsi Riau dan kabupaten/kota," sebutnya.
Overlay wilayah kerja Blok Rokan dengan peta kawasan hutan Riau.
"Pencemaran yang dilakukan CPI bukan hanya karena minyak bumi kategori limbah B3 atau bukan limbah B3, tapi juga liat kandungan logam beratnya pada limbah yang dihasilkan dan konsentrasi minyak dan lemak dalam air terproduksinya, yang telah menimbulkan dampak negatif terhadap media lingkungan yang tercemar."
"Pencemaran tersebut jelas memberikan dampak terhadap biota perairan. Sedikitnya jumlah jenis plankton yang hidup di perairan menunjukkan bahwa perairan tersebut kurang mendukung bagi kehidupan biota di dalamnya. Tingginya kadar minyak dan lemak yang tersuspensi dalam air akan mengakibatkan terpengaruhnya permukaan "epithelial" insang ikan sehingga respirasi terganggu," jelas Darmawi.
Darmawi berkata; dengan konsentrasi minyak bumi di perairan sebesar 1,0 mg/l dapat menyebabkan tainting (aroma minyak) pada ikan walaupun pada konsentrasi tersebut ikan belum mengalami keracunan. Jika ikan dan air yang mengandung logam berat dikonsumsi atau digunakan dalam rantai makanan sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Menurutnya, kandungan logam berat pada tanah atau air yang tercemar limbah B3 CPI jelas memiliki bahaya bahan beracun sangat tinggi, sehingga risiko muncul penyakit degeneratif baik kanker maupun non kanker akan dialami masyarakat yang cukup luas.
"CPI dan SKK Migas agar bisa membaca kembali dokumen lingkungan kegiatan operasi WK Blok Rokan dari masa lalu, jelas kewajiban CPI mengangkut lumpur bor dari pengeboran ke pusat pengolahan lumpur bor, untuk dilakukan pengelolaan sebelum dibuang ke media lingkungan, demikian juga limbah yang berasal dari gathering station harus dikelola," kata dia.
Faktanya sekarang jutaan limbah heavy/crude oil berserakan di kawasan hutan, dilahan masyarakat, dan mengalir di sungai sampai jauuuuh.
"Siapa yang menikmati biaya pengangkutan lumpur bor dari lokasi pengeboran minyak bumi ke pusat pengolahan lumpur bor, kemana biaya pengolahan limbah (lumpur bor) karena faktanya lumpur bor tersebut sengaja dibuang sembarangan, bukan dikelola, Itu jelas bukti perbuatan melawan hukum."
"Saya rasa tak ada di dunia ini yang menerapkan teknik pertambangan migas yang membolehkan limbah lumpur bor dibuang di hutan, lahan masyarakat dan sungai atau laut."
Dokumen lingkungan mana yang menjadi acuan CPI dalam melakukan kegiatan?. Apakah itu yang dinamakan kaidah-kaidah keteknikan dan lingkungan yang baik?
"Kalau CPI sejak dulu taat, tidak melakukan perbuatan melawan hukum dan melakukan kesalahan, saat ini tidak akan mengakibatkan pencemaran dan menyebabkan lahan masyarakat tercemar dan terkontaminasi minyak bumi yang menimbulkan kerugian lingkungan hidup dan kerugian masyarakat," sebutnya mengingatkan.
Menurutnya, kalau CPI aktif melakukan proses verifikasi yang menjadi aduan masyarakat tidaklah sampai sebagian besar masyarakat hingga mengadu ke DLHK.
Kemudian CPI tidak mau menerima lagi pengaduan masyarakat yang lahannya tercemar limbah B3. Bahkan mengarahkan agar masyarakat menyampaikan pengaduan langsung ke Dinas LHK Provinsi Riau, "ini maksudnya agar nantinya ditangani oleh PHR. Bukankah ini jelas mau lepas tanggung jawab," tanya Darmawi.
Pemprov Riau dan beberapa kabupaten sudah sejak lama aktif memfasilitasi penyelesaian sengketa lingkungan hidup ratusan masyarakat dengan CPI, yang saat ini ada lebih 300 lokasi.
Tetapi yang terjadi CPI tidak efektif dan mengulur waktu dengan alasan keterbatasan tim dan segala sesuatunya harus mendapat persetujuan SKK Migas.
"Situasi ini membuktikan kegiatan migas di Blok Rokan oleh CPI tidak memenuhi kelayakan lingkungan karena CPI terbukti tidak mampu menanggulangi dampak negatif yang timbul dari usahanya."
"Kalau CPI akftif dan jujur menyelesaikan pengaduan masyarakat, dan melakukan pengelolaan limbah B3 dan pemulihan lingkungan hidup sesuai regulasi, harusnya 10 tahun yang lalu permasalahan ini sudah selesai dan tidak menimbulkan masalah hukum dimasa lalu maupun di masa yang akan datang," kata Darmawi menilai.
Terancam warisan limbah beracun
Sementara Direktur Eksekutif Ceri Yuri Usman menilai penyerahan alih kelola Blok Rokan dari CPI ke Pertamina Hulu Rokan pada 8 Agustus 2021 lalu masih menimbulkan beberapa kontra.
"Rakyat Riau terkena warisan limbah B3 berupa Tanah Terkontaminasi Minyak (TTM) pasca operasi CPI."
“Rakyat Riau sudah mendengar informasi yang beredar mengenai penyerahan alih kelola blok Rokan, namun ternyata hingga sekarang masih tersisa sekitar tujuh jutaan metrik ton limbah TTM yang berada di area operasi CPI,” ungkap Yusri.
Area yang tercemar TTM termasuk di dalam Tahura dan Pusat Pelatihan Gajah Minas.
Menurut Yusri CPI tidak mungkin dapat menyelesaikan limbah beracun tersebut dalam kurun waktu tiga bulan.
"Kelalaian pengelolaan limbah TTM juga disebabkan oleh SKK Migas yang membatasi anggaran cost recovery yang diminta oleh pihak CPI untuk memulihkan TTM, sehingga banyak titik yang tidak bisa dipulihkan," kata Yusri.
Informasi nya sejak awal 2020 anggaran cost recovery untuk pemulihan limbah TTM sejumlah US$400 juta atau setara Rp5,7 triliun namun dipertengahan 2020 tidak ada kegiatan pemulihan TTM yang dilanjutkan.
Dia juga mendapatkan informasi mengenai adanya sebuah perusahaan yang menawarkan teknologi untuk mengolah limbah B3 TTM di sekitar Blok Rokan dengan biaya yang lebih efisien. Akan tetapi, teknologi tersebut tidak diaplikasikan oleh CPI.
Menurutnya, biaya pengangkutan limbah TTM dari Blok Rokan ke lokasi pemusnahan di PPLI Cibinong atau pabrik semen di Pulau Jawa bisa mencapai Rp900 ribu per metrik ton, belum termasuk biaya pemusnahannya. (*)
Tags : Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Limbah Minyak dan Gas di Riau, Limbah Warisan PT Chevron Pasifik Indonesia, Pertamina Hulu Rokan Belum Menetapkan Pengelola Limbah B3,