PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Pemerintah berencana membatasi pembelian BBM bersubsidi jenis Pertalite dalam waktu dekat, menunggu hasil revisi Perpres nomor 191 Tahun 2014 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran BBM.
"Kita tunggu, nanti kalau sudah terbit dari revisi Perpres-nya, kita baru bisa melakukan pengaturan untuk pembatasan pertalite," kata Kepala BPH Migas, Erika Retnowati pada media, Sabtu (13/1/2024).
Erika menuturkan, perlu ada pengaturan lebih rinci terkait klasifikasi konsumen pengguna pertalite.
Saat ini, regulasi yang berlaku adalah Perpres 191 tahun 2014 untuk konsumen pengguna bio solar.
BPH Migas telah mengusulkan revisi Perpres 191 tahun 2024 agar memiliki landasan hukum untuk ketentuan pengguna pertalite.
"Jadikan pengaturan untuk BBM bersubsidi itu akan diatur dalam Perpres, siapa konsumen penggunanya," tukasnya.
Pengauan revisi Perpres 191 tahun 2014 itu sudah diajukan sejak pertengahan 2022 lalu.
Menteri ESDM, Arifin Tasrif juga buka suara soal usulan dari PT Pertamina (Persero) mengenai rencana penggantian Bahan Bakar Minyak (BBM) RON 90 atau Pertalite dengan Pertamax Green 92.
Pertamina saat ini sedang melakukan evaluasi teknis terkait rencana tersebut.
Kami sedang mencoba menilai apakah dari segi teknis ini dapat berjalan lancar dan bagaimana dampaknya terhadap emisi," ujar Menteri Arifin dalam konferensi pers.
Selain pertimbangan teknis, pemerintah juga mempertimbangkan ketersediaan etanol dalam rencana ini. Pertamax Green 92 adalah hasil pencampuran Pertalite dengan etanol sebanyak 7% (E7).
Dalam konteks ini, penting untuk mencatat bahwa Indonesia masih mengimpor gula, yang menjadi sumber etanol. Oleh karena itu, ketersediaan etanol di dalam negeri juga menjadi perhatian utama.
"Kita masih mengimpor gula saat ini, sehingga kita harus memperluas produksi tebu di dalam negeri dan meningkatkan produksi gula," jelas Menteri Arifin.
Lebih lanjut, Menteri Arifin menyebut bahwa apabila konsep ini terus berkembang, maka akan ada peluang untuk memproduksi etanol di dalam negeri atau bahkan menciptakan area khusus untuk industri etanol. "Indonesia memiliki potensi besar di bidang ini," tambahnya.
Menteri Arifin menekankan bahwa rencana ini masih dalam tahap uji coba awal, dan kami juga sedang menghitung aspek komersialnya dengan cermat setelah Presiden membuka pabrik di Mojokerto, seperti yang dilansir dari okezone.
Tetapi rencana PT Pertamina menghapus Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis pertalite dan menggantinya dengan Pertamax Green 92 dinilai DPRD Riau punya plus minus juga ditanggapi pihak legislatif.
"Kita sebenarnya tidak ada masalah (Pertalite dihapuskan), karena semakin baik oktannya maka semakin baik pula untuk kualitas bahan bakarnya dan berakibat baik ke kendaraan yang mengkonsumsi BBM tersebut," kata Wakil Ketua DPRD Riau, Hardianto.
Menurutnya, plusnya, untuk mengganti BBM dengan jenis oktan lebih baik dinilai dapat mengurangi emisi karbon.
Namun, Hardianto mengatakan penghapusan BBM jenis Pertalite yang saat ini paling murah di pasaran tentu akan mendapat penolakan dari masyarakat.
"Yang jadi persoalan itu adalah kebanyakan masyarakat tidak menilai berapa oktannya. Mereka hanya mengkaji bisa digunakan dan harganya berapa?" pungkasnya.
Maka itu Hardianto berharap pemerintah dapat menyesuaikan harga BBM pengganti Pertalite dengan kebutuhan masyarakat.
"Kita berharapnya pengganti pertalite ini bisa dibuat dengan oktan yang sama atau bahkan lebih baik dan juga untuk harganya berpihak kepada kemampuan masyarakat," ujarnya.
Hardianto mengingatkan bahwa jika harga BBM naik akan mempengaruhi mobilitas masyarakat pula dan ujung-ujungnya akan berdampak pada kenaikan harga bahan-bahan pokok.
"Jadi silahkan saja pemerintah merubah dan menciptakan produk baru terhadap BBM, tapi tetap perhatikan harganya tidak membebani dan bisa dijangkau masyarakat," tutupnya. (*)
Tags : bahan bakar minyak, bbm, pertamina hapuskan bbm jenis pertalite, bbm oktan baik akan kurangi emisi karbon, News,