"Perubahan iklim yang mulai dirasakan dan gelombang panas ekstrem serta kebakaran hutan sungguh sangat mencemaskan dan menakutkan baik untuk masa depan"
elombang panas ekstrem serta kebakaran hutan, yang melanda Provinsi Riau akhir-akhir ini sungguh sangat mencemaskan baik untuk masa depan, kata Ir Ganda Mora, MS.i, Aktivis Yayasana Sahabat Alam Rimba [Salamba] dalam penilaiannya soal titik hotspot yang terakhir mulai menunjukkan eksistensinya di wilayah Pulau Sumatera.
"Yang saya rasakan adalah kekhawatiran kebakaran hutan dan lahan [karhutla] di Riau akan terulang kembali."
"Kebakaran hutan membuat saya sangat cemas tentang masa depan seperti apa yang akan saya jalani," kata Ganda Mora.
Jadi menurutnya, masalah kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Riau selalu terulang setiap tahunnya.
Beberapa hari terakhir, kabut asap pekat kembali melanda Pekanbaru, Riau. Bahkan, ada imbauan agar anak-anak dan orangtua tak keluar rumah. Akibat kabut asap yang pekat di Riau, jarak pandang bahkan hanya berkisar 800 meter.
Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera, Amral Fery, menyebutkan, pencemaran udara di delapan wilayah Riau sudah berada di atas angka 300 atau level berbahaya bagi manusia pada Jumat 13 September 2019 lalu.
Angka ini didapatkan berdasarkan pengamatan peralatan pemantau cuaca yang telah dianalisis dalam angka ISPU.
Peristiwa tahunan Kabut asap dan kebakaran hutan dan lahan di Riau bukan terjadi kali ini saja. Peristiwa ini selalu berulang setiap tahunnya.
Kilas balik, pada 2015, hutan di kawasan Riau pernah mengalami kebakaran yang cukup parah yang juga mengakibatkan terjadinya kabut asap.
Saat itu, kebakaran yang terjadi mengakibatkan 5.595 hektar lahan dan hutan terbakar. Dampaknya, perekonomian Riau lumpuh, sekolah diliburkan, bandara tutup, dan ribuan warga terjangkit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Tetapi Ganda Mora mengingatkan kembali pada 2015 lalu kabut asap mengakibatkan lebih dari 600.000 orang menderita ISPA, dan 9 orang anak di Riau serta Sumatera Selatan dilaporkan meninggal dunia.
Begitupun peristiwa kebakaran hutan dan lahan kembali terjadi pada 2016. Luasan lahan yang terbakar bahkan mencapai 2.348 hektar.
"Sementara, pada 2017, luasan lahan yang terbakar lebih rendah dari 2016."
"Tetapi pada saat ini [2023] seiring perhelatan perhelatan politik kembali kabut asap muncul lagi, yang sama saja mengganggu kualitas hidup masyarakat Riau," ungkapnya.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menyebutkan, sedikitnya 1.052 hektar lahan dan hutan di Provinsi Riau terbakar.
Pada 2018, berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau medio Januari-April 2018, kebakaran mencapai 1.647,36 hektar.
Sementara, hingga November 2018, kebakaran yang terjadi di Riau mencapai 5.776,46 hektar. Adapun, selama 2019, BPBD Riau mengatakan, selama 12 hari, area hutan dan lahan di Riau yang terbakar seluas 108,5 hektar.
Secara keseluruhan, tahun 2019 menjadi kebakaran paling parah. Data 1 Januari-9 September 2019 menunjukkan, kebakaran hutan dan lahan di Riau luasnya mencapai total 6.464 hektar.
Kebakaran hutan dan lahan terjadi di lima kabupaten dan kota. Kebakaran paling luas terjadi di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) yakni 82 hektar.
Wilayah lain yakni Kabupaten Bengkalis, Kota Dumai, Kampar, dan Kota Pekanbaru Hingga hari ini, pada Jumat 13 September 2019, upaya pemadaman karhutla terus dilakukan oleh tim satgas darat yakni TNI, Polri, BPBD, Manggala Agni, Masyarakat Peduli Api (MPA) dan dibantu perusahaan swasta. Jumlah personel yang dikerahkan mencapai ribuan.
Sudah 22 tahun karhutla dan kabut asap menghantui Riau
Personel Satgas Karhutla Riau memadamkan kebakaran lahan gambut di Pelalawan,Riau.
Provinsi Riau membara lagi karena tahun ini kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) terjadi di setiap kabupaten dan kota.
Di masa menjelang perhelatan politik hospot jadi meningkat, mengakibatkan pencemaran udara berupa asap sehingga kualitas udara jelek.
Bahkan dipenghujung jabatan gubernur, dan para bupati mengakibatkan koordinasi akan terganggu sehingga pihak kepolisian dan DLHk harus ekstra untuk memadamkan api.
"Tentu ini menjadi permasalahan tahunan, yang sebelumnya 9 tahun pemerintahan Jokowi. Masalah ini sudah hilang, namun muncul kembali, maka presiden harus tegas kepada seluruh aparat di propinsi dengan memberikan sanksi yang berat."
Kabut asap yang sudah dua tahun tak bertamu kembali menyelimuti sejumlah daerah. Pekanbaru termasuk kawasan paling parah kena imbas Karhutla Riau karena angin bertiup ke Kota Madani Bertuah ini.
Sudah hampir dua bulan. Paling parah awal September ini karena kabut asap melumpuhkan aktivitas pendidikan dan mulai mengganggu penerbangan di Bandara Sultan Syarif Kasim II.
Masyarakat berjatuhan menjadi korban. Bahkan bayi baru berumur 3 hari tak bisa menikmati udara segar sehingga meninggal dunia. Belum lagi bocah-bocah ataupun orang dewasa yang sesak napas karena menghirup partikel hasil Karhutla Riau ini.
Sebagai catatan, kabut asap dan Karhutla bukan hal baru di Riau. Sejak 1997, masyarakat Bumi Lancang Kuning selalu kedatangan 'tamu' imbas ulah oknum tak bertanggungjawab ini. Mereka membuka lahan dengan jalan pintas agar biaya murah, membakar lahan.
Dalam rentan 1997, Riau pernah bebas Karhutla dan kabut asap, yaitu 2007, 2008, 2016, 2017 dan 2018. Paling parah adalah tahun 2014 dan 2015 karena ditetapkan bencana nasional dengan status tanggap darurat kabut asap.
Menurut Ganda Mora, Aktivis Salamba, ada beberapa faktor Karhutla dan kabut asap berulang.
Terutama kondisi tahun ini yang hampir menyamai kabut asap tahun 2015.
Faktor utama, sebut Ganda, alih fungsi hutan yang mulai marak di Riau pada 1997, khususnya tanah gambut. Hal ini menjadi dasar dan belum terselesaikan hingga kini oleh pemerintah.
"Seharusnya, perusahaan yang beroperasi di areal gambut betul-betul dievaluasi dan diresotasi, bukan ditanam lagi untuk hutan tanaman industri (HTI) atau perkebunan sawit," kata Ganda Mora Selasa (3/10/2023).
Ganda pun mencontohkan, pada tahun 2015 ada sebuah perusahaan diveluasi pemerintah karena menggarap gambut. Korporasi ini lalu dicabut izinnya di Sungai Tohor, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau dan diserahkan ke masyarakat dalam bentuk hutan desa.
"PT LUM namanya. Sejak itu, Sungai Tohor yang kebakaran hebat pada tahun 2014, sudah bebas titik api, tidak menyumbang kabut asap lagi. Masyarakat menggarapnya dan ditanam sagu," jelas Ganda.
Pemerintah buyarkan semangat restorasi gambut
Sejak bencana kabut asap tahun 2015, pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo punya semangat untuk merestorasi gambut terbakar, termasuk di konsesi perusahaan.
Kabut asap makin pekat di Pekanbaru, Riau, dengan jarang pandang sekitar 300 meter, Jumat (13/9/2019).
Riau diselimuti kabut asap dan hotspot di Sumatera sempat terdeteksi sejumlah 1.031 titik. Jumlah hotspot di Pulau Sumatera kembali naik menjadi 1.031 titik, Minggu (1/10/2023) pagi. Sementara Provinsi Riau hanya ada tujuh titik saja.
"Total titik panas atau hotspot wilayah sumatera ada 1.031 titik, terbanyak masih Sumsel 824 titik. Kemudian jambi 81 titik, lampung 72 titik dan Babel 35 titik," sebut M Ibnu, Prakirawan BMKG stasiun Pekanbaru.
"Kemudian, bengkulu delapan titik, riau tujuh titik dan Sumbar empat titik. Untuk tujuh titik di riau ada di kabupaten Rohil lima titik dan kampar dua titik," tukasnya.
Seperti diketahui, Pemprov Riau bersama pemerintah daerah 12 kabupaten/kota mengantisipasi Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) sejak lama. Tetapi terjadi Karhutla di wilayah Rohil, Pelalawan, Bengkalis, Indragiri Hulu, dan Dumai.
Pemprov Riau telah mendapat bantuan helikopter bantuan patroli dan water bombing. Karena sudah mulai teratasi, dua helikopter WB dialihkan ke provinsi lainnya.
Lalu operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk mengantisipasi bencana Karhutla di Provinsi Riau dengan menyemai garam sudah dihentikan. Sebelumnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta seluruh Kapolda se-Indonesia mengeluarkan maklumat larangan membakar hutan dan lahan.
Pekanbaru dikepung kabut asap kiriman. Kabut asap 'mengepung' Kota Pekanbaru sejak Sabtu 30 September 2023.
Tetapi data BMKG dan BPBD menyebut asap di Riau turut dipengaruhi dari Karhutla di Sumatera Selatan (Sumsel) dan Jambi.
Ketua DPD Association of the Indonesian Tours & Travel Agencies (Asita) Riau, Dede Firmansyah meminta hal ini segera diatasi. Mengingat sektor pariwisata sangat rawan jika bencana kabut asap terjadi.
"Pak Gubernur Riau Syamsuar, Kapolda, dan Pak Danrem agar segera menyikapi ini. Mengingat kabut asap bukan hanya sumbernya dari Riau, tetapi juga provinsi tetangga. Perlu sinergi antar pimpinan masing-masing daerah. Jangan sampai ada ego sektoral," harap Dede Firmansyah.
"Jangan tunggu kabut asap semakin parah dan menganggu penerbangan. Aparat harus tegas segera menindak siapa ini pelaku pembakaran ini. Jangan anggap santai, jangan tunggu jatuh korban. Kalau memang daerah lain kesulitan memadamkan Karhutla agar bisa dibantu," katanya.
Apalagi Presiden Jokowi masih belum mencabut "ancamannya". Presiden Jokowi pernah menyatakan tak segan mencopot para Kapolda, Kapolres, Danrem, hingga Pangdam yang tak bisa mengatasi karhutla.
"Intruksi Presiden Jokowi jelas dan tegas. Bagi Kapolda dan Pangdam yang tak bisa atasi Karhutla ada sanksi tegas. Karena bencana asap ini merugikan banyak sektor, terutama bagi pelaku bisnis. Intinya kita percaya Kapolda dan Pangdam serta Gubernur Riau bisa antisipasi Karhutla, jangan ada kesalahan. Pokoknya no asap," harapnya.
Seperti diberitakan sebelumnya Provinsi Riau masih terjadi Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) disejumlah wilayah. Namun kabut asap yang melanda turut dipengaruhi dari Karhutla di provinsi tetangga.
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Sultan Syarif Kasim (BMKG) Ramlan Djambak membenarkan, Kota Pekanbaru dan sejumlah wilayah lain di Provinsi Riau diselimuti kabut asap. Asap yang menyelimuti akibat dari Karhutla.
"Beberapa hari ini Riau memang terjadi kabut asap akibat kebakaran yang terjadi di beberapa wilayah di Pelalawan dan Inhu. Di samping itu banyak juga kabut asap yang terjadi di sekitar Jambi dan Palembang, sehingga menambah akumulasi kabut asap di Riau. Karena arah angin dari provinsi tetangga mengarah ke Riau," ungkapnya, Sabtu (30/9/2023).
Sementara itu Kepala Pelaksana Badan Penanggung Bencana Daerah (BPBD) Riau, M Edy Afrizal membenarkan terjadi Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di sejumlah kabupaten. Hanya saja Karhutla di Riau sudah terkendali.
Terkait Karhutla di provinsi tetangga tersebut, helikopter water bombing yang sebelumnya berada di Riau juga sudah dikirimkan. Termasuk personel dari Manggala Agni juga sudah dikirim untuk membantu pemadaman di sana.
Sementara Badan Penanggung Bencana Daerah (BPBD) Riau membenarkan terjadi Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di sejumlah kabupaten.
Hanya saja Karhutla di Riau sudah terkendali.
Itu disampaikan Kepala Pelaksana BPBD Riau M Edy Afrizal. Ia menyebut, kabut asap yang tampak di Kota Pekanbaru kiriman dari provinsi tetangga yakni Jambi dan Sumatera Selatan (Sumsel).
"Karena di dua provinsi tersebut masih terus terjadi Karhutla."
Kebakaran di gambut sebagai biang kabut asap yang diduga menjadi konsesi perusahaan di Kabupaten Pelalawan, Riau.
"Kabut asap kiriman, di Jambi dan Sumsel masih terjadi Karhutla. Sementara arah angin mengarah ke Riau," katanya.
Terkait Karhutla di provinsi tetangga tersebut, helikopter water bombing yang sebelumnya berada di Riau juga sudah dikirimkan. Termasuk personel dari Manggala Agni juga sudah dikirim untuk membantu pemadaman di sana.
"Helikopter water bombing yang sebelumnya di Riau juga sudah dikirim ke Sumsel. Termasuk juga personel dari Manggala Agni," sebutnya.
Meski Karhutla di Riau terkendali, namun pihaknya tetap mengimbau masyarakat untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar. Kemudian jika melihat ada Karhutla, untuk dapat segera melaporkan kepada petugas.
Beberapa hari terkahir kabut menyelimuti sejumlah wilayah di Provinsi Riau. Terutama wilayah Kota Pekanbaru.
Bahkan kabut terpantau sudah mulai menyebar di beberapa wilayah.
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Sultan Syarif Kasim (BMKG) Ramlan Djambak mengatakan, kabut yang menyelimuti Kota Pekanbaru dan sejumlah wilayah lain di Provinsi Riau memang merupakan kabut asap. Asap yang menyelimuti akibat dari Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla).
"Beberapa hari ini Riau memang terjadi kabut asap akibat kebakaran yang terjadi di beberapa wilayah di Pelalawan dan Inhu," ungkapnya, Sabtu (30/9/2023).
"Di samping itu banyak juga kabut asap yang terjadi di sekitar Jambi dan Palembang, sehingga menambah akumulasi kabut asap di Riau. Karena arah angin dari provinsi tetangga mengarah ke Riau," jelasnya.
Dia menyebutkan bahwa pihaknya tidak mengetahui pasti berapa luasan lahan yang terbakar di Provinsi Riau. "Untuk luas lahan yang terbakar silahkan konfirmasi ke BPBD," pungkasnya.
Tetapi kembali seperti disebutkan Ganda Mora bahwa, beberapa Peraturan Pemerintah diterbitkan, yang intinya menghentikan atau moratorium izin di gambut.
Hanya saja pengawasannya kurang dan belakangan ditemukan dan kenyataan berbeda di lapangan karena lahan bekas terbakar kembali ditanam HTI ataupun sawit.
"Ada revisi PP 71 sampai penerbitan PP 57, kemudian peraturan menteri LHK nomor 15. Namun semua itu dibuyarkan ketika ada Permen LHK Nomor 10 Tahun 2019," jelas Ganda.
Menurut Ganda, Permen itu diterbitkan jelang pemilihan presiden dan pemilihan legislatif tahun 2019. Peraturan ini membolehkan perusahaan menggarap lahan gambut kembali untuk dibangun HTI atau perkebunan sawit.
"Artinya, semangat untuk merestorasi gambut buyar lagi sehingga kebakaran hutan dan lahan terjadi lagi tahun ini. Kalaulah semangat itu dijaga, tentu tidak terjadi kebakaran lagi, seperti yang diterapkan di Desa Sungai Tohor," ucap Ganda.
Kemudian, tambah Okto, faktor lainnya adalah lemahnya penegakan hukum, khususnya korporasi. Dulu tahun 2007 dan 2008, Riau pernah punya Kapolda bernama Brigjen Polisi Suciptati yang sangar terhadap koporasi.
Tindakan Suciptadi ini membuat Riau akhirnya bebas Karhutla ditahun tersebut. Hanya saja, semangat ini tidak dilanjutkan Kapolda berikutnya sampai sekarang hingga akhirnya Riau kembali membara dan berkabut asap lagi.
"Penegakan hukum, khususnya koporasi sangat menentukan apakah Karhutla itu berulang atau tidak," kata Ganda.
Untuk Karhutla Riau tahun ini, berdasarkan investigasi Jikalahari, titik api paling banyak terdapat di konsesi perusahaan. Dari ribuan titik api hingga September, 2.000 hektare lebih di antaranya berada di HTI.
Jadi tidak menutup mata adanya kebakaran di lahan masyarakat yang berbatasan dengan konsesi. Namun hal itu tak lepas dari ulah perusahaan yang mengeringkan lahan gambut dengan membuat kanal di hulunya.
Ketika musim kemarau tiba, perusahaan menutup kanal ini sehingga lahan masyarakat di hilir menjadi kering. Kekeringan ini memicu lahan milik masyarakat mudah terbakar.
"Kami ada pendampingan di Bukitbatu dan Pulau Rupat, situasi yang ditemukan ya begitu. Lahan masyarakat kering dimusim kemarau, karena perusahaan membendung kanal," terang Ganda.
Kanal buatan perusahaan dengan masyarakat tentu saja berbeda. Masyarakat biasanya membuat kanal ukuran 3 meter, sementara kanal inti perusahaan sampai 12 meter dan kanal berikutnya 7 meter.
Keadaan ini membuat kebakaran di lahan masyarakat cepat meluas. Perusahaan terselamatkan dari penegakan hukum meski awal keringan lahan masyarakat disebabkan kanal korporasi.
"Dulu 1997 masyarakat ada membakar, tapi karena gambut basah sebelum ada kanal perusahaan, apinya tidak meluas," jelas Ganda.
Karhutla tahun ini sudah terlanjur karena kabut asap sudah datang. Semestinya ada beberapa hal yang dilakukan pemerintah pusat ataupun daerah agar korban tidak berjatuhan lagi.
Pertama, terang Ganda, memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat secara maksimal. Masyarakat harus diberikan hak asasi manusianya mendapatkan udara segar.
"Tidak hanya memadamkan tapi bagaimana pelayanan kesehatan, warga Pekanbaru sudah sesak," ucap Ganda.
Langkah kedua tentu saja penegakan hukum. Baik itu Polri ataupun Gakkum KLHK harus tegas tanpa tebang pilih, terutama kepada perusahaan. Perusahaan yang terbakar atau tidak mampu mengelola gambut dengan baik dicabut izinnya.
"Lahan itu lalu diserahkan ke masyarakat, bukan cukong atau pemodal. Sama saja tidak ada artinya karena cukong menjadi bagian pembakar lahan," terang Ganda.
Selanjutnya, tambah Ganda, harus ada penyelesaian ketimpangan lahan antara masyarakat dengan perusahaan. Hak masyarakat mengelola lahan harus diutamakan agar tidak memicu konflik.
Terakhir, Aktivis Salamba juga mendesak pemerintah pusat mencabut Permen LHK Nomor 10 Tahun 2019 tentang pengelolaan gambut.
"Jika masih diberlakukan sama saja pemerintah menghalangi semangatnya memulihkan lahan gambut," tegas Ganda.
Jadi menurut Ganda, para aktivis juga mengeklaim hak dasar mereka - termasuk hak untuk hidup, privasi, kelangsungan hidup keluarganya dan hak untuk bebas dari diskriminasi - dilanggar karena keengganan pemerintah untuk melawan perubahan iklim.
"Mereka mengatakan bahwa mereka telah merasakan dampak yang signifikan, terutama karena suhu ekstrem yang memaksa mereka menghabiskan waktu di dalam rumah dan membatasi kemampuan mereka untuk tidur, berkonsentrasi, atau berolahraga."
Bocah 2 tahun mendapat perawatan khusus karena sesak napas menghirup kabut asap hasil Karhutla Riau.
"Beberapa juga menderita kecemasan terkait lingkungan, alergi dan gangguan pernafasan termasuk asma. Akan tetapi, tak satu pun para aktivis mencari kompensasi finansial," sebutnya.
"Menurut saya maunya dunia hijau tanpa polusi. Saya mau sehat," kata Ganda.
"Saya terlibat dalam kasus ini karena saya sangat khawatir dengan masa depan. Saya takut akan seperti apa tempat tinggal kita [Riau] nantinya."
Jadi Ia juga sangat mengkhawatirkan atas dampak karhutla dan semua orang perlu memikirkan hal-hal ini atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang diterapkan saat ini akan membawa Riau juga ikut terdampak menuju pemanasan global sebesar 3C pada akhir abad ini. "Ini adalah bencana pemanasan," kata Ganda. (*)
Tags : polusi, perubahan iklim, polusi udara, kebakaran hutan dan lahan, karhutla di riau, anak-anak, kesehatan, lingkungan, sahabat alam rimba, salamba khawatir lingkungan sehat di riau ,