News   2024/12/11 12:55 WIB

Perusahaan Migas BUMD Masih di Nilai Miring atas 'Kebijakan Publiknya' di Riau, Relawan Prabowo Gibran: 'Bila Lengah bisa Jadi Bom Waktu'

Perusahaan Migas BUMD Masih di Nilai Miring atas 'Kebijakan Publiknya' di Riau, Relawan Prabowo Gibran: 'Bila Lengah bisa Jadi Bom Waktu'

PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Relawan Gabungan Rakyat Prabowo Gibran masih meragukan perusahaan minyak dan gas (Migas) yang dikelola BUMD bercokol di Riau terhadap kelestarian alam dilingkungan operasional tambangnya.

"Perusahaan migas di Riau diragukan atas komitmenya mengelola lingkungan yang asri di bekas eksplorasi yang sewaktu-waktu bila lengah bisa jadi bom waktu."

"Perusahaan migas di Riau setelah dibentuknya holding BUMD hanya akan menciptakan bom waktu atau berpotensi menciptakan permasalahan yang tertunda," kata Larshen Yunus, Ketua Umum (Ketum) Dewan Pimpinan Pusat (DPD) Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GIBRAN) itu dalam konfrensi persnya, Rabu (11/12).

Dia menjelaskan saat ini undang-Undang BUMN sedang di gugat di Mahkamah Konstitusi (MK) dan telah masuk masa persidangan.

Menurut informasi yang diperoleh, sejak Presiden Joko Widodo mempimpin RI menyadari ada banyak pro dan kontra holding BUMD Migas yang membuatnya ragu untuk merestui pembentukannya.

Meskipun Peraturan Pemerintah (PP) mengenai pelaksanaan inbreng saham pemerintah di PGN ke Pertamina sebagai bentuk penambahan penyertaan modal pemerintah di Pertamina, serta penegasan perubahan status PGN yang semula BUMN dengan Persero menjadi Perseroan Terbatas (PT) sudah final.

"PP tersebut sudah ditandatangani tetapi masih menunggu untuk diumumkan ke publik karena masih banyak permasalahan terkait holding BUMD Migas yang belum terselesaikan. Tetapi Presiden Prabowo Subianto sendiri minta supaya masalah hukum antara Pertamina dan PGN harus diselesaikan terlebih dahulu," kata Larshen Yunus, yang juga sebagai Ketua DPD Tingkat I Komite Nasional Pemuda (KNPI) Riau ini.

"Beberapa masalah yang masih mengganjal," kata Larshen Yunus yang juga sebagai Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) KNPI pusat yang membidangi migas ini antara lain dari aspek hukum pembentukan holding BUMD Migas.

Ia mencatat, analisis yang dihasilkan oleh akademisi dari Fakultas Hukum (FH) dan Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan bahwa mekanisme pembentukan holding BUMD Migas dengan mekanisme inbreng saham pemerintah dan hilangnya BUMD di sektor gas menjadi suatu langkah yang inkonstitusional.

"Jika memungkinkan malah sudah timbul wacana penghapusan BUMD di sektor penting bagi negara dan juga sebagai menguasai hajat hidup orang banyak ini. Seperti PGN yang semula adalah BUMN di sektor gas berubah menjadi PT akan menghilangkan penguasaan negara dengan tidak adanya kepemilikan secara langsung," kata dia.

Aspek lain menurut Larshen adalah adanya potensi konfilik kepentingan dalam tubuh holding Migas BUMD itu sendiri.

Menurutnya, perusahaan migas daerah (BUMD) yang selama ini merupakan perusahaan yang bisnis utamanya bergerak di sektor minyak masih menggantungkan 60 persen kebutuhan dalam negeri dari impor.

Sedangkan gas bumi yang menjadi inti bisnis, sangat banyak dimiliki oleh bumi Indonesia namun belum dimanfaatkan optimum untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

"Dengan penggabungan pengelolaannya di satu tempat, maka tidak akan optimum karena penambahan pemanfaatan gas bumi berarti pengurangan pemanfaatan minyak bumi, pengurangan market share dan penurunan kinerja pengelolaan minyak," sebutnya.

Ia juga menyoroti masih adanya perbedaan konsep holding BUMD Migas dengan Konsep kelembagaan yang sedang di finalisasi dalam Revisi UU Minyak dan Gas Bumi oleh DPR akan berpotensi menimbulkan konflik.

Karena dalam konsep kelembagaan dalam RUU Migas, struktur yang dibentuk jauh berbeda dengan adanya Badan Usaha Khusus (BUK) di bidang hulu minyak dan gas, hilir minyak dan hilir gas bumi.

"Dengan pembentukan holding BUMD Migas saat ini tanpa menunggu arah dari revisi UU Migas tersebut, dapat menyebabkan inefisiensi nasional karena diperlukan penyesuaian kelembagaan yang cukup rumit," katanya.

Hal terakhir yang menurut Larshen juga perlu menjadi pertimbangan Prabowo Subianto dalam menentukan nasib holdingisasi Migas di BUMD adalah, belum adanya Konsensus Nasional atas urgensi dari pembentukan holding migas ini. (*)

Tags : perusahaan minyakdan gas, migas, kebijakan publik perusahaan migas, riau, perusahaan migas lengah perhatikan kelestarian lingkugan, News ,