Industri sawit masih berpotensi besar serap tenaga kerja.
PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Relawan Prabowo Gibran menilai, sawit masih menyumbang penyerapan tenaga kerja lebih besar dibandingkan komoditas lain. Tetapi satu sisinya disayangkan, perusahaan industri sawit terus didemo oleh sekelompok lembaga swadaya masyarakat (lsm).
"Potensi penyerapan tenaga kerja oleh industri sawit masih terbuka lebar, terutama dari sisi hilir."
Benarkah perusahaan perkebunan sawit penyumbang penyerapan tenaga kerja lebih besar dibandingkan komoditas lain?
"Di sektor hulu sawit belum bisa dilakukan full mekanisasi, sehingga masih banyak nembutuhkan tenaga kerja,” kata Larsehn Yunus, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN) dalam menyikapi maraknya unjuk rasa (demo) akhir-akhir ini yang menyasar pada PT Surya Dumai Group (First Resource).
Dalam bincang-bincangnya dan ngopi bersama dibilangan komplek Damai Langgeng Kamis 19 Desember 2024, Ia menilai penyerapan tenaga kerja terbagi luas dari hulu hingga ke hilir.
"Di sisi hulu, sebesar 59% sektor ini dikelola perusahaan dan sisanya 41% dikelola masyarakat," sebutnya.
Meski kini sektor ekonomi dibayangi inflasi dan krisis, potensi penyerapan tenaga kerja di industri ini masih cukup besar kata Larshen lagi.
Ia memperkirakan, total penyerapan tenaga kerja kini mencapai sekitar 5 juta orang yang tersebar di berbagai sentra sawit. Adapun total luas perkebunan mencapai 16,3 juta hektare.
Larshen mengakui untuk di sektor hulu, serapan tenaga kerja tidak akan terus meningkat selama tidak ada pengembangan kebun.
Peningkatan tenaga kerja menurutnya berpeluang terjadi di sektor hilir.
“Tetapi apabila terus ada pengembangan di sektor hilir, kemungkinan akan meningkat di hilirnya,” imbuhnya.
Larshen menilai tenaga kerja di sektor hulu punya peran yang jauh lebih krusial dalan keberlangsungan industri kelapa sawit.
Jikalau investasi ini terus mengalami hambatan, maka seluruh proses juga akan terhambat, "ini tentu memengaruhi industri dalam bisnis yang bisa berakhir mengusik pemasukan PAD di daerah," sebutnya.
Terlepas dari sektor hulu dan hilir, tenaga kerja di industri kelapa sawit pun dapat bekerja baik yang terbagi atas tenaga kerja langsung, yakni pekerja di pabrik kelapa sawit, serta tenaga kerja pendukung, mulai dari angkutan baik darat ataupun laut.
Jadi Larshen Yunus menyikapi penyerapan tenaga kerja sawit di Indonesia masih memiliki potensi untuk meningkat.
“Angkanya besar karena mayoritas di Sumatera Utara, Riau, kemudian di beberapa tempat di Kalimantan itu kan kebun kelapa sawit cukup besar,” ujarnya.
Bahkan, menurut Larshen, jumlah 16 juta masih dirasa belum maksimal. Ia menaksir penyerapan tenaga kerja sawit Indonesia bisa mencapai 20 hingga 25 juta tenaga kerja.
“Di beberapa daerah, masih banyak yang sulit mencari tenaga kerja sawit,” imbuhnya.
Ia memproyeksikan ke depan permintaan tenaga kerja sawit masih bisa meningkat pesat.
“Data yang resmi menyebutkan ada sekitar 2,7 juta petani dan 4,4 juta pekerja di bidang perkebunan kelapa sawit. Data tersebut tahun 2019/2020. Tentu jumlahnya bisa jadi bertambah mengingat biasanya permintaan tenaga kerja akan meningkat pesat ketika harga kelapa sawit naik,” ujar Larshen Yunus yang juga sebagai Ketua DPD I KNPI Riau ini.
Salah satu contoh perusahaan kelapa sawit yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar adalah Surya Dumai Group (First Resource) ini.
Besarnya jumlah tenaga kerja karena perusahaan tersebut bergerak dari hulu dan hilir. Untuk Perkebunan saja, Surya Dumai Group (First Resource) tercatat telah menyerap tenaga kerja berkisar 10 ribu karyawan. Begitupun karyawan untuk hilir.
Jika ditambah dengan dampak berganda (multiplier-effect), diperkirakan mencapai dua hingga tiga kali lipatnya.
Dengan harga yang sekarang relatif tinggi, Larshen optimistis masih ada ceruk untuk pekerja kelapa sawit ini. Terlebih, karakteristik pekerja kelapa sawit bukanlah tenaga kerja terdidik, sehingga tidak terlalu sulit mencari tenaga kerja yang tersedia.
Larshen menjelaskan keterkaitan harga TBS dengan penyerapan tenaga kerja sawit. Menurutnya, jika harga TBS sedang bagus, maka penyerapan tenaga kerja sawit tinggi karena pengusaha atau pekebun butuh memanen kelapa sawit dengan cepat.
"Panen harus dilakukan dalam dua minggu sekali."
“Pada waktu harga TBS Rp1.000 per kg, orang tidak mau panen kelapa sawit, berarti penyerapan tenaga kerjanya rendah. Harga sawit yang tidak menentu di dunia internasional turun naik turun naik, itu menyebabkan penyerapan tenaga kerjanya juga turun naik turun naik, tidak continue atau berkelanjutan. Jadi tergantung harga TBS,” terangnya.
Sementara pada saat harga TBS Rp3.500 per kg, misalnya, penyerapan tenaga kerjanya akan besar dan justru bisa kekurangan tenaga kerja terutama untuk musim panen.
“Bahkan anak-anak muda yang ada di pedesaan sekitar kelapa sawit itu tidak mau cari kerja di luar karena upahnya tinggi. Bekerja 2-3 jam mereka bisa mendapat Rp200-300 ribu. Kebetulan saya pernah meninjau langsung di pabrik-pabrik sekitar di Riau. Mereka mengeluh banyak tenaga kerja minta berhenti dan pulang ke daerah masing-masing karena upah di perkebunan kelapa sawit tinggi,” pungkas Larshen. (*)
Tags : perkebunan sawit, riau, perusahaan perkebunan sering diserang, perkebunan sawit penyumbang penyerapan tenaga kerja besar, Industri Sawit, tenaga kerja, News,