LINGKUNGAN - Apa itu kekerasan? Dalam maknanya yang paling umum, kekerasan adalah saat peluru ditembakkan ke tubuh seseorang, lutut yang dipatahkan ke arah leher, atau amuk massa di gedung parlemen Amerika Serikat.
Dalam kaca mata hukum, maknanya adalah perbuatan kriminal, serangan seksual, kekerasan dalam rumah tangga maupun aksi yang dipicu konsumsi alkohol berlebihan. Di medan perang, kekerasan merupakan hal yang direstui negara. Kekerasan acap kali dipahami melalui kata sifat yang dilekatkan kepadanya. Bagi sebagian kelompok, kekerasan merupakan hal penting atau yang memberikan timbal balik setimpal.
Namun bagi kelompok lainnya, kekerasan tidak masuk akal, brutal, dan tidak akan pernah bisa dibenarkan. Namun, ada bentuk kekerasan lain yang sama sekali berbeda dengan apa yang secara mendalam muncul dalam pemberitaan dan ruang sidang. Disebut "kekerasan lambat", ini adalah bahaya dan kerusakan yang terjadi selama bertahun-tahun. Pelakunya mungkin tidak jelas, tapi korbannya terlihat. Bagaimana, di mana, dan kepada siapa jenis kekerasan ini terjadi?
Gagasan tentang kekerasan lambat dapat ditelusuri kembali ke dekade 1960-an, meskipun terminologi ini tidak dibicarakan pada saat itu. Pada 1969, sosiolog asal Norwegia, Johan Galtung, yang dikenal sebagai "bapak studi perdamaian", menilai bahwa kekerasan dapat dilakukan lebih dari sekedar tinju atau senjata. Menurut Galtung, kekerasan lambat terjadi saat masyarakat menyakiti sekelompok orang dan menyebabkan kerugian harta benda mereka.
Yang seringkali tidak terlihat, kekerasan lambat ini terjadi melalui ketidaksetaraan sosial atau hak atas kesehatan, rasisme, seksisme, atau cara sistemik lainnya. Kehidupan para korbannya berakhir akibat kejahatan lambat ini. Mereka juga menderita secara fisik dan psikologis. Namun, meski dampaknya nyata, kesalahan yang semestinya ditanggung salah satu pihak sulit dijabarkan. "Pertunjukan kekerasan pribadi," tulis Galtung.
"Hal itu mewakili perubahan dan dinamisme, tidak hanya riak gelombang, tapi gelombang pada perairan yang tenang. Kekerasan struktural terjadi diam-diam, tidak terlihat. Kekerasan seperti ini dasarnya bersifat statis dan tampak seperti perairan yang tenang. Dalam masyarakat statis, kekerasan pribadi akan terlihat, sedangkan kekerasan struktural dianggap hal natural seperti udara di sekitar kita," kata Galtung dirilis BBC.
Lantas bagaimana kekerasan lambat ini tetap tidak disadari? Salah satu alasan utamanya adalah kecepatannya. Tahun ini menandai satu dekade sejak pakar lingkungan dan sastra dari Universitas Princeton, Rob Nixon, menciptakan istilah "kekerasan lambat". Seperti Galtung, Nixon menggambarkannya sebagai kekerasan yang bersifat struktural. Tapi Nixon adalah orang pertama yang menunjukkan bahwa kekerasan seperti ini juga bisa terjadi selama bertahun-tahun, bahkan mungkin beberapa generasi. "Kekerasan ini terjadi secara bertahap dan luput dari perhatian. Ini adalah sebuah penghancuran yang tertunda serta terjadi di mana pun dan kapan pun, sebuah kekerasan bertahap yang biasanya tidak dipandang sebagai kekerasan sama sekali," tulis Nixon.
Menurut Nixon, kekerasan lambat lekat dengan bencana lingkungan yang berlangsung perlahan, seperti polusi jangka panjang, perubahan iklim, atau dampak nuklir. Di sisi lain, kekerasan lambat ini menyebabkan kerugian individu dan masyarakat. Tapi karena terjadi secara perlahan, para korbannya terlambat mengatasinya. Sama halnya dengan yang berlangsung cepat, kekerasan ini menyebabkan korbannya menderita atau bahkan mati. Perbedaannya, dalang kekerasan lambat lebih dari satu orang dan seringkali tidak terjangkau hukum.
Sebagian tanggung jawab mungkin semestinya dibebankan kepada pelaku industri yang dengan cerdik dan kolektif mencemari ekosistem secara sah. Namun kekerasan lambat ini mungkin juga disebabkan kebijakan pemerintah, yang diputuskan di ibu kota beberapa tahun sebelumnya. Pada intinya, tidak ada pelaku yang kentara dalam kekerasan lambat. "Kekerasan lambat mendorong kami memperluas pemahaman tentang hal-hal yang membahayakan," kata ahli geografi dari Universitas Nottingham, Inggris, Thom Davies.
"Ini juga menegaskan bahwa kami perlu menganggap serius bentuk kekerasan yang, seiring berjalannya waktu, tercerabut dari penyebab aslinya," kata Davies.
Davies mempelajari apa yang dia gambarkan sebagai "kawasan beracun" di mana dampak kekerasan lambat itu jelas terlihat. Tempat-tempat ini bisa berupa kamp pengungsi, permukiman di tempat pembuangan sampah, atau wilayah di sekitar Chernobyl. Pada 2019, Davies secara khusus melihat kasus "gang kanker" di sepanjang Sungai Mississippi di Louisiana. Ini adalah salah satu daerah paling tercemar di Amerika Serikat.
Di sana, Davies menyadari bahwa konsep kekerasan lambat memberikan perspektif baru untuk menjelaskan apa terjadi di gang kanker. "Saat Anda berkendara di sepanjang jalan beton antarnegara bagian, yang menjulang di atas rawa dan teluk di selatan Louisiana, kumpulan residu bekas perengkahan minyak bumi, sisa proses pengubahan mutu dan kekentalan bensin, serta kolom fraksionasi memenuhi cakrawala."
Pemaparan itu ditulis Davies dalam artikel jurnal ilmiah terkait studi etnografinya di Louisiana. "Hilir Sungai Mississippi menjadi penampungan senyawa kimia paling padat di belahan barat bumi," kata Davies.
Di pedesaan dekat di Freetown, Davies mewawancarai warga setempat tentang pengalaman mereka hidup sangat dekat dengan industri perminyakan. Daives menggambarkan bagaimana seorang penduduk, sebut saja namanya Daisy, selama bertahun-tahun telah mengamati perubahan di permukimannya. "Selama tujuh dekade dia menyaksikan akumulasi polusi yang secara perlahan dan bertahap berdampak negatif pada lingkungannya, dari bau kimiawi, desas desus potensi kanker yang meningkat, dan vegetasi layu di tanah yang dulunya subur," kata Davies.
"Beberapa kali dia juga berkata bahwa, 'udara begitu penuh dengan gas sehingga Anda hampir tidak bisa bernapas'," ujar Davies.
Kebanyakan penduduk "gang kanker" adalah orang Amerika kulit hitam berpenghasilan rendah. Dulu Freetown adalah bagian dari perkebunan gula Pedescleaux-Landry. Kawasan ini dibentuk oleh para mantan budak. Keluarga Daisy membeli tanah di Freetown pada akhir tahun 1800-an. "Tinggal di sini dulu sangat menyenangkan, sebelum mereka mulai mendirikan tangki dan alat-alat itu," kata Daisy kepada Davies.
"Sungguh. Dulu ini benar-benar tempat yang menyenangkan untuk ditinggali. Semuanya sehat," ujar Daisy.
Di komunitas masyarakat lainnya di Louisiana, Davies menyebut kekerasan lambat terjadi dengan cara yang berbeda. Penduduk di punggung bukit yang sempit bernama Isle de Jean Charles melihat dampak perubahan iklim yang semakin nyata setiap tahun. "Tanggul di Mississippi sedang dibangun dan pemukim di sana menyaksikan air semakin sering masuk ke rumah mereka dan menyebabkan banjir," kata Davies.
"Tidak akan ada orang yang tenggelam, tapi ini terjadi perlahan dan secara psikologis sangat berdampak," ujarnya.
Kekerasan yang lambat, menurut Davies, dapat merusak mental maupun fisik. Penyebab utama kekerasan lambat ini berakar pada ketidaksetaraan. Pada tahun 1960-an, Galtung menunjukkan bahwa kekerasan jenis ini membatasi berbagai kemungkinan. Artinya, seseorang dihalangi meraih kehidupan yang lebih baik. Intinya adalah kekerasan ini memengaruhi beberapa orang, tapi tidak seluruh komunitas. Mereka yang memiliki lebih banyak hak istimewa dapat menghindarinya dampaknya.
Sifat kekerasan lambat juga cenderung memperburuk situasi yang ada. Satu kekerasan lambat memicu kekerasan lainnya. Salah satu contohnya mungkin adalah "efek John Henryism" yang telah ditulis BBC Future pada awal seri artikel ini. Efek John Henryism adalah teori yang menyebut bahwa ketidaksetaraan dan rasisme yang dialami sekelompok masyarakat dapat memicu persoalan kesehatan kardiovaskular.
Mereka lebih besar berpeluang terlilit penyakit itu ketimbang orang yang tak terjerat isu ketimpangan dan rasisme. Davies berkata, banyak penduduk berpenghasilan rendah di daerah Baton Rouge, Louisiana juga secara tidak proporsional terdampak pandemi Covid-19. Proses bertahap terjadinya kekerasan lambat mungkin tidak menarik menjadi berita utama atau memicu kemarahan orang-orang.
Namun Davies berkata, sebenarnya ada beberapa pihak yang menyadari kekerasan ini. Nixon menggambarkannya sebagai "tontonan yang tidak berkualitas" dan "tidak sinematik". Pandangan itu yang memang benar. Tapi apakah kekerasan lambat ini sama sekali tidak terlihat? Tergantung siapa yang melihat. "Jika Anda melihat pengalaman hidup orang-orang yang mengalami kekerasan perlahan, mereka dapat melihat perubahan bertahap yang terjadi pada ekosistem dan lingkungan mereka," kata Nixon.
Meskipun terjadi selama beberapa dekade atau generasi, orang-orang yang terdampakdapat menggambarkan kekerasan lambat ini dengan cukup baik. Jadi walau kekerasan lambat mungkin tidak memiliki pelaku yang jelas dan proses terjadinya menyulitkan pencatatan, hukuman, atau tuntutan, yang penting diperhatikan adalah apa yang dirasakan akibat kekerasan itu. (*)
Tags : Perusakan Lingkungan, Kerusakan Kerap Tidak Disadari,